Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 16

Cila tidak pernah melihat Iyana seperti sekarang semenjak saling mengenal. Ia ingat hari pertama bertemu Iyana di halaman sekolah, saat itu Mika sedang tertekan karena dimarahi. Menunduk menahan tangis dan malu, Mika mengepalkan tangan menghadapi cacian Iyana. Kala itu penampilan mantan istri Naturahman sangat cetar, memakai perhiasan gemerlap, kalung, gelang, dan cincin berlian serta gaun mengembang. Mengamuk pada Mika yang dianggap melukai Nola. Padahal tidak begitu kenyataan. Namun Iyana tidak mau menerima penjelasan. Makian, cacian, dan juga hinaan meluncur keluar dari bibir yang dipoles lipstik merah.

Tidak ada yang menyangka kalau sepuluh tahun kemudian keadaan berubah drastis. Tidak ada lagi perempuan angkuh, congkak, serta semena-mena dengan gaun glamour. Berganti menjadi perempuan paruh baya yang kusut masai dan merokok. Meskipun kata-kata yang keluar dari bibirnya masih sama kasarnya seperti dulu.

Cila merasa dejavu melihat situasi sekarang. Dulu Iyana dan Nola yang datang untuk melabrak dan mengamuk dengan Mika serta Sundari. Sekarang posisinya diubah, Mika yang datang melabrak. Cila merasa geli sendiri karena roda kehibungan berputar itu nyata. Siapa yang menduga kalau dirinya akan menemani Mika melabrak Iyana.

"Apa dia merokok dari dulu?" bisik Cila pada Mika. Mengamati Iyana yang merokok tanpa henti.

"Nggak tahu, nggak pernah lihat gue," jawab Mika.

"Kayaknya emang dia perokok. Bibirnya hitam. Mungkin selama ini nggak kelihatan karena pakai lipstik merah." Baskara mengutarakan pendapatnya.

Cila mengangguk. "Masuk akal."

Iyana membuang rokok tepat di depan Mika. Mencibir dengan tatapan bengis. Puji yang sebelumnya ingin pergi, kini mundur dan berada di samping Iyana. Keduanya mengamati para tamu yang datang dengan pandangan penuh ejekan tapi ada setitik harapan di mata itu. Binar dari Iyana adalah keinginan untuk memiliki cincin berlian yang melekat di jari Mika serta ponsel keluaran terbaru di tangan Baskara dan juga gelang cantik di pergelangan Cila. Hatinya merasa iri setengah mati melihat kemewahan mereka.

Puji justru berpikiran lain, kedatangan tiga orang ini diharapkan mampu membawa uang untuknya. Entah banyak atau sedikit, berharap dirinya mendapatkan suntikan uang. Sekian lama hidup miskin dengan Iyana mulai menjemukan. Terlebih tidak ada lagi pasokan uang dari Naturahman. Untuk makan setiap harinya pun sulit.

"Ngapain lo kemari, hah? Mau ngasih duit?" bentak Iyana melotot pada Mika. "Kalau mau ngasih duit, buruan sini!"

Mika menatap Iyana yang mengacungkan tangan dengan tidak tahu malu. Sedari dulu Iyana memang tidak punya otak, tapi kali ini ternyata sangat bodoh dan sepertinya kepalanya memang terantuk sesuatu. Kemana perginya rasa malu yang semestinya ada dalam diri perempuan itu? Mika tersadar dari rasa heran saat merasaka Cila mencubit lengannya.

"Tante Iyana, aku datang untuk ngasih tahu soal suamiku. Kita udah nggak ada urusan lagi, sebaiknya mulai sekarang stop datang ke kantor suamiku!"

Kata-kata Mika ditanggapi dengan tawa lebar serta garing dari Iyana. Entah apa yang lucu, perempuan itu terbahak-bahak lalu terbatuk karena tersedak ludah sendiri. Menepuk-nepuk pundak Puji, Iyana berujar terbata.

"Lo dengar nggak? Ka-tanya nggak boleh datang lagi ke kantor Haven! Hahaha! Lucu nggak?"

Puji mengangguk lalu ikut terbahak-bahak menertawakan Mika. "Padahal kita minta uang dari suaminya, bukan dari dia."

"Nah iya, yang kaya suaminya bukan dia. Kenapa dia yang sombong?"

Mika menghela napas panjang, memendam kemarahan yang memuncak. Belum sempat bicara, Cila maju satu langkah dan berkacak pinggang. Sudah sedari tadi Cila menahan amarah melihat kelakuan Iyana. Tidak tahan lagi untuk bersuara.

"Tante Iyana yang cantik jelita, kemana perginya harga dirimu? Padahal dulu Tante biasa memanggil Mika dengan sebutan gadis kampung yang miskin. Kenapa malah kebalikannya? Ngemis-ngemis ke suami Mika? Udah miskin sekarang? Nggak punya uang sampai harga diri aja diinjak-injak?"

Iyana melotot pada Cila dengan wajah memerah. "Diam lo! Ini nggak ada hubungannya sama lo?"

"Ooh, berubah juga panggilan? Bukannya kita dulu pakai kamu dan aku, sangat sopan santun, bermartabat dan menjaga wibawa. Kenapa sikap Tante Iyana seperti orang kampungan. Harap dicatat, bukan orang kampung tapi kampungan!"

"Apaa? Berani lo ngatain gue kampungan?"

"Beranilah. Kenyataannya gitu. Perempuan mana yang berani datang ke kantor orang hanya untuk minta uang. Alasannya apa? Mika berutang budi? Mana adaa. Setahuku dulu malah uang jatah Mika dan Tante Sundari disunat sama kamu! Perempuan nggak malu!"

Cemooh Cila membuat Iyana makin meradang. Ingin menghampiri dan menampar pipi Cila tapi diurungkan saat melihat Baskara maju selangkah. Ia mungkin bisa menang melawan Cila, tapi kalau dikeroyok sama Mika, sudah pasti kalah. Sedangkan Puji yang hanya bisa cengar-cengir di sampingnya, sangat tidak berguna. Tidak mungkin menang melawan Baskara yang tubuhnya kekar berotot. Sekali pukul Puji bisa terkapar. Iyana memutar otak untuk menang dari pertengkaran ini, terutama bisa mendapatkan uang dari Mika.

Iyana mengakat bahu tidak peduli, berdecak keras dan menunjuk Mika. "Nggak apa-apa kalau gue dilarang ke kantor Haven. Asalkan gue dikasih uang. Anggap saja sebagai uang tutup mulut, Mika. Gue lihat pakaian, cincin, sama tas yang lo bawa harganya ratusan juta. Gue yakin kalau lo sekarang bawa uang, yah, minimal lima puluh juta."

Puji tergelak dan bertepuk tangan gembira, melupakan wajahnya yang berdarah. "Betul itu, lima puluh juta saja cukup!"

"Nggak cukup sebenarnya, tapi bisalah untuk sementara ini. Gimana, Mika?"

Mika menghela napas panjang lalu memutar bola mata. Bertukar pandang dengan Cila yang sama bingung dengan dirinya. Baskara yang sedari tadi diam mulai kehilangan kesabaran.

"Tante, gue tahu lo jadi miskin sekarang. Itu bukan salah Mika atau Pak Haven kalau lo jadi miskin. Kenapa minta konpensasi sama Mika?" Suara Baskara terdengar keras dan mengintimidasi. "Lagian ya, lo masih punya anak. Kenapa nggak minta sama Nola?"

Iyana mencebik sata nama anaknya disebut. "Nola blokir nomor gue. Tiap kali ke kantor selalu diusir satpam. Gue nggak tahu juga di mana mereka tinggal sekarang."

"Syukurin! Jadi orang tua nggak ada rasa syukur lo. Udah dapat suami baik dan kaya, malah selingkuh sama lutung ini!"

Puji melotot pada Baskara. "Siapa yang lo bilang lutung?"

Baskara balas melotot. "Lo itu yang lutung. Napa? Nggak terima? Lutung cuma plonga-plongo, nunggu dikasih makan. Persis kayak lo sekarang, nunggu orang ngasih duit buat makan!"

Dua laki-laki saling berhadapan penuh dendam. Baskara yang bertubuh tinggi dan gempal menjulang di depan Puji yang kurus kering. Bagaikan bumi dan langit, keduanya berhadapan dengan tidak berimbang. Dalam sekali pandang orang-orang tahu siapa yang lebih kuat.

"Sialan lo!" maki Puji. "Minggat sana! Kalau datang cuma mau maki-maki kami!"

Mika meraih lengan Baskara dan menepuk perlahan. Memberikan tanda pada sahabatnya untuk sabar.

"Gue ngomong dulu sama mereka. Kalau mereka masih nyolot, lo boleh mukul yang laki-laki," bisik Mika.

Baskara mengangguk, meninju tangan dengan keras dan sikap mengancam. "Oke, jangan sampai emosi gue naik. Bakalan gue habisin laki-laki sialan ini!"

Mika menatap Iyana dari atas ke bawah, miris melihat keadaannya yang tidak terawat. Namun, apa pun yang terjadi dengan perempuan ini bukanlah urusannya.

"Tante, setahuku Papa ngasih kamu uang. Kamu kemanakan?"

"Habislah!" jawab Iyana dengan nada tinggi. "Lo pikir yang dikasih Naturahman gede? Kagaak! Kecil banget malah. Buat hidup beberapa bulan juga habis!"

"Mana mungkin? Papa ngasih uang ratusan juta. Setahuku juga, Tante Iyana bawa kabur perhiasan. Ini yang bilang Nilo. Masa, iya, dalam waktu dua tahun semua habis? Ngapain aja kalian?"

Iyana enggan menjawab, tidak ingin nasib sial dan keburukannya diketahui oleh Mika. Sayangnya Puji justru tidak bisa mengontrol mulutnya.

"Lo tanya uang dari Naturahman? Habislah! Iyana doyan judi. Hahaha!"

Iyana memukul sisi kepala Puji dengan keras. "Diam lo! Mulut ngocor aja kagak bisa direm!"

Puji melotot marah sambil mengusap sisi kepalanya. "Emang kenyataannya gitu! Lo aja yang nutupin? Napa? Malu kalau ketahuan lo suka judi dan hambur-hamburin duit dari anak dan mantan laki lo?"

"Dieem! Laki-laki mulut lemes!"

"Mulut lemes juga biarin!"

"Nyesel gue mau sama lo dulu!"

"Halah, kalau bukan karena gue yang nyariin lo kerjaan di bar. Nggak bakalan lo kenal Naturahman!"

"Laki-laki anjing!"

"Lo yang anjing!"

"Brengsek nggak tahu diri lo! Kalau nggak gue pungut, udah mati lo di jalanan!"

"Halah, lo mungut gue karena butuh sex!"

Cila dan dua sahabatnya tercengang melihat pertengkaran sepasang manusia di hadapannya. Tadinya mereka mengira akan mendapatkan perlawanan keras, penuh amarah, dan caci maki. Mengingat dulu Iyana juga bersikap sangat agresif pada Mika serta ibunya. Ternyata jauh di luar perkiaraan mereka. Memang penuh caci maki tapi bukan pada Mika melainkan Iyana dan Puji saling bertarung.

"Apa-apaan mereka ini?" bisik Cila pada Mika yang tertegun. "Kenapa mereka yang berantem?"

Mika menggeleng. "Gue juga bingung. Kayaknya otak mereka udah kena makanya jadi konslate."

Di antara teriakan Puji serta Iyana, Baskara diam-diam merekam pertengkaran itu. Penuh caci maki kasar dan vulgar sampai tidak bisa didengarkan oleh telinga orang normal.

"Mending kita pergi sekarang. Mumpung mereka nggak lihat," ajak Baskara pada Mika dan Cila. "Percuma lama-lama di sini. Malah bikin kesel sendiri."

Cila mengangguk, meraih tangan Mika. "Yuk, ah. Kita pergi sekarang!"

Ketiganya diam-diam menyingkir, tepat saat Iyana memukul Puji dan balas digampar. Tidak ada yang melerai, Mika, Cila, dan Baskara berjalan cepat meninggalkan rumah kontrakan itu. Tiba di dalam mobil, Baskara mengulurkan ponselnya pada Mika.

"Mending lo bilang sama Pak Haven buat pakai cara Nola. Kasih foto dan video Iyana ke satpam. Biar diusir kalau datang."

Mika menerima ponsel dan mengangguk. "Oke, gue bilang laki gue."

Cila menoleh dari jok depan. "Jangan lupa ke satpam rumah lo juga. Tante Iyana sekarang ini lagi mode miskin dan nggak tahu malu. Bisa aja dia datang ke rumah lo buat cari keributan."

"Benar juga. Apalagi Nilo juga sering datang ke rumah."

Cila mengamati jalanan padat dengan kendaraan berlalu lalang. Merasa kalau misi hari ini tidak berhasil, tapi setidaknya mereka menemukan satu fakta yang mencengangkan. Nola memblokir Iyana dan tidak mengijinkannya datang.

"Sekarang gue paham kenapa Nola nggak mau urusan lagi sama mamanya. Bukan nggak berbakti atau gimana, namanya juga orang tua kandung. Sudah pasti Nola merasa sangat sayang sama papa mamanya. Tapi kalau uang dihabiskan buat selingkuhan dan juga judi, semua anak memilih buat nggak punya ibu lagi."

Mika dan Baskara sepakat dengan kata-kata Cila. Bukan hanya anak yang bisa durhaka tapi orang tua juga bisa. Terutama karena menyiksa anak bukan hanya secara fisik tapi juga mental. Iyana yang berubah menjadi perempuan penjudi, bersikap di luar kendali.
.
.
Cerita ini sedang PO

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro