Bab 15
Keesokan harinya, Cila keluar dari apartemen Adiar dengan tubuh pegal-pegal tapi merasa sangat cantik dan puas. Bagaimana tidak, Adiar memberinya beragam pengalaman tidak terlupakan tentang sex. Bukan hanya memperlakukannya seperti princess tapi juga mengerti apa yang disukai dan apa yang tidak disukainya. Setelah sepanjang malam bergerak dengan tubuh saling membeli, saat pagi bibir Adiar tidak bergerak dari atas dadanya.
"Aku sanggup menghisap putingmu hingga berjam-jam."
"Idih, kayak bayi."
"Memang, aku ini bayimu, Cila."
Selesai sarapan pun, dalam keadaan perut kenyang Cila diangkat ke atas meja dan ditelentangkan lalu dimasuki sekali lagi. Cila hanya bisa pasrah, mengerang serta mendesah penuh damba. Tidak peduli kalau tubuhnya terkesan murahan, asalkan bersama Adiar ia rela sepenuhnya.
Cila tidak bisa menghitung berapa kali mencapai orgasme, dengan suara serak karena teriakan. Tubuhnya menggelinjang dengan sekali sentuhan dan gairah membakar setiap kali Adiar melumat bibirnya.
"Di ruang tamu udah, kamar udah, kamar mandi juga udah, balkon doang yang belum kita coba, Kak."
Cila berujar sambil lalu di sampingAdiar yang menyetir. Kakinya lurus di bawah dashboard, mengingat pengalaman sexnya yang gila.
"Boleh kita coba kalau kamu mau, Cila."
Cila memutar bola mata. "Kak, kita harusnya nggak segila itu sampai bercinta di balkon. Itu area terbuka loh."
"Memang, tapi bisa dicoba kalau kamu penasaran."
"Nggak! Aku nggak penasaran jadi jangan coba-coba, ya, Kak."
Adiar tergelak, mendengar penolakan Cila yang menggemaskan. Padahal ia hanya berniat menggoda tapi sepertinya Cila menanggapi dengan serius. Balkon apartemennya menghadap langsung ke jalan raya, meskipun memikirkan tentang sex yang menantang di tempat umum. Tetap saja itu bukan ide yang bagus.
"Minggu depan kita nonton, mau nggak?"
"Boleh, Kak. Tapi, belum tentu aku bisa nginap, ya. Sulit cari alasan buat nginap soalnya."
"Cila, kita bisa coba dari pagi sampai malam. Gimana?"
Cila mengangguk, menganggap ajakan Adiar cukup masuk akal. Kalau memang tidak bisa menginap, bercinta satu hari penuh harusnya cukup. Cila memukul dahi, merasa gila karena terus memikirkan sex.
"Kenapa kamu mukul-mukul dahi?"
"Kak, biar setan di otakku hilang. Soalnya aku mikirin sex terus."
Adiar terbahak-bahak, mencubit kecil pipi Cila yang menggemaskan. "Aduh, aku suka kamu yang kayak gini, Cila. Ternyata bukan hanya aku yang mesum bukan?"
"Iya, aku ketularan mesum emang."
"Nggak apa-apa, mesum itu baik untuk kesehatan."
"Haah, ungkapan dari mana itu?"
"Dari aku, Cila. Siapa lagi?"
Cila tersenyum saat melihat Adiar kembali tertawa. Adiar yang biasanya bersikap sangat angkuh dan dingin ternyata menyimpan kehangatan dalam dirinya. Sebuah sisi hangat yang selama ini tersembunyi oleh sikap serius.
"Ngomong-ngomong, pertemuan selanjutnya kamu yang milih tempat untuk makan."
"Boleh di mana aja?"
"Tentu saja. Boleh di mana aja yang kamu mau, Cila."
"Kalau tempatnya mahal dan aku makannya banyak, kamu bangkrut loh, Kak."
"Cilaa, justru kamu harus makan yang banyak dan bergizi. Biar punya tenaga untuk melayaniku di ranjang. Kalau kamu lemas, gimana kita bercinta?"
"Astaga mesumnya."
"Hei, udah berapa kali kamu ngatain aku mesum? Kalau nggak ingat mau ke rumah Pak Haven, aku turunin kamu di pinggir jalan!"
Cila terkikik geli. "Aku bisa naik taxi."
Adiar menggeleng. "Bukan nyuruh kamu naik taxi, Cila. Tapi mau telanjangin kamu di mobil lalu hajar kamu sekali lagi biar diam."
"Ya ampun, tolong ini orang tua Adiar. Suruh datang jemput anaknya. Kayaknya jadi nafsuan gini, salah siapa?"
Keduanya saling bertatapan lalu tertawa bersama-sama. Cila mengakui sangat suka dengan kebersamaan ini. Bersama Adiar ia bisa tertawa lepas, sama seperti saat bersama dua sahabatnya. Adiar adalah pengalih perhatian dari orang-orang kantor yang kurang ajar, serta keluarga yang tidak menyayanginya.
Adiar menurunkan Cila di gang depan setelah itu kembali ke apartemennya. Cila meminta tolong pada satpam yang bebas untuk mengantarnya ke rumah Mika. Para satpam yang sudah mengenalinya, membantu dengan senang hati.
"Tantee!"
Alika menyambut dengan gembira kedatangannya. "Anakku, Sayaang. Kapan-kapan kita main, ya. Mau nggak kalau naik gunung?"
"Mau, Kakak!"
"Ide bagus, tuh. Nyewa vila jadi bisa jalan-jalan di sekitarnya." Baskara muncul dan perhatian Alika teralihkan.
Cila tersenyum melihat Alika bergelantungan pada tubuh Baskara. Dalam sekejap, beragam permen dan cokelat dari dalam tas Baskara berpindah ke tangan Alika. Selesai bercakap-cakap, mereka berpamitan pada Haven yang sedang menggendong bayi.
"Ingat pulang dalam keadaan utuh," pesan Haven pada istrinya. "Kalau sampai kamu lecet, aku akan membuat perhitungan dengan Iyana."
"Tenang saja, Sayang. Ada Cila dan Baskara, mereka udah biasa ngadepin Tante Iyana. Tolong rahasiakan ini dari Mama, ya."
Haven mengangguk, melambai pada istrinya yang masuk ke mobil Baskara. Merasa heran dengan dirinya sendiri karena memberi ijin pada istrinya untuk bertengkar. Ia memang tidak memberitahu Sundari masalah Iyana tapi sudah mengatakan pada Naturahman.
"Biar saja Mika menegurnya, Pak. Memang Iyana nggak tahu malu. Sudah sewajarnya kalau Mika marah."
Ijin dari Naturahman membuat Haven tidak berdaya. Mau tidak mau mengijinkan istrinya untuk melabrak mantan ibu tiri itu. Kalau Naturahman sendiri sudah lepas tangan, biarkan saja Mika melampiaskan amarahnya. Lagipula ada Baskara dan Cila, ia yakin mereka akan menjaga istrinya dengan baik.
Di dalam mobil, Mika yang duduk di jok tengah mendengarkan beragam saran dan ide dari dua sahabatnya. Kemarahannya pada Iyana tidak tertahankan lagi.
"Kita harusnya ngumpul buat senang-senang. Makan, nonton, atau karaoke. Ini malah mau ngelabrak Iyana," gumam Cila dari jok depan. "Sepertinya emang kita berjodoh dengan Iyana."
Mika tergelak mendengar perkataan Cila, sedangkan Baskara menggerutu. "Jangan bilang hal yang menjijikan gitu, Cila."
"Lah, gimana? Kenyataannya gitu. Perempuan aneh! Nggak punya duit bukannya minta sama anak dan mantan suami malah ngeribetin Mika."
"Kalau nggak aneh bukan Iyana namanya." Mika menimpali.
"Benar juga, ya." Cila mengalihkan pandangan ke depan, mulai mempersiapkan mental umtuk memaki Iyana. "Rumahnya nggak jauh lagi kayaknya."
"Emang, tuh, di gang depan." Baskara menjawab sambil menatap map di ponsel.
Jalanan yang kecil dan sempit tidak memungkinkan mereka untuk menaiki mobil ke dalam. Mau tidak mau menitip mobil di halaman minimarket lalu berjalan beriringan ke dalam gang. Melewati got yang kotor dan penuh sampah serta jentik-jentik nyamuk, juga sangat bau. Mika menelan ludah, begitu pula Cila yang tanpa sadar bergidik.
"Semiskin-miskinnya gue nggak pernah tinggal di tempat kayak gini," ucap Mika sambil menggandeng tangan Cila.
"Karena lo sama Tante rajin kerja. Biarpun kos atau ngontrak kecil-kecilan tapi di tempat yang cukup layak."
"Hooh, dibantu uang dari Papa juga, sih."
"Iyana bukannya dibantu sama Nola juga?"
"Nggak tahu soal itu."
"Pintar manfaatin uang juga." Baskara menimpali. Berjalan di belakang dua sahabatnya untuk berjaga-jaga kalau ada sesuatu. "Coba lo sama Tante Sundari boros. Pasti lain urusannya."
Ketiganya berdiri ternganga di depan deretan rumah kontrakan tanpa pagar. Dengan bangunan yang menempel satu sama lain. Kontrakan berdinding biru yang catnya sudah mengelupas dengan permukaan pintu dan jendela yang udah boncel serta berlubang. Halaman tidak rata, menimbulkan beberapa lubang serta genangan. Ada banyak sampah berserakan, seolah tidak pernah disapu sebelumnya.
"Lo yakin dia tinggal di sini?" tanya Cila.
Baskara mengangguk. "Yakin, tadi warga juga bilang kalau kontrakannya ini."
"Busyet, dari rumah gedung dan luas jadi kontrakan lusuh begini," bisik Mika sambil bergidik.
"Mungkin ini yang dibilang karma sama orang-orang," jawab Cila. "Baskara, lo aja yang ngetuk pintu."
Baskara maju, ingin mengetuk pintu nomor lima saat terdengar teriakan dan perdebatan keras dari dalam.
"Brengsek! Kalau bukan karena lo! Gue nggak bakalan miskin begini!" Suara Puji terdengar menggelegar.
Cila dengan panik menarik lengan Baskara. "Jangan deket-deket. Takut mereka lagi gila."
Baskara mundur, berdiri sejajar dengan Cila dan Mika, mendengarkan pertengkaran yang makin lama makin terdengar sangat kasar.
"Lo yang bangsat!" Suara Iyana kali ini terdengar marah. "Gara-gara lo yang selalu bujuk gue buat ninggalin Naturahman. Sekarang lo lihat gue jadi gimana. Kehilangan suami dan anak. Lebih-lebih kehilangan uaang!"
"Eh, napa jadi gue yang salah. Lo aja yang bego! Punya suami nggak bisa bikin lo puas, malah larinya ke gue. Iyana, lo harus ingat kalau lo yang selalu cari gue. Mohon-mohon buat diajak tidur. Kenapa marah lo!"
Terdengar suara benda pecah, sepertinya Iyana melempari dinding dengan sesuatu. Dilanjutkan dengan sumpah serapah Puji.
"Sialan lo! Kena gue pecahan piringnya!"
"Biarin aja. Biar lo mati sekalian! Laki-laki brengsek nggak gunaa! Lo yang bikin gue kayak gini. Mati aja aja lo!"
"Sialan!"
Kali ini terdengar jeritan panjang dari Iyana. Entah apa yang terjadi. Cila berbisik pada dua temannya.,
"Kayaknya mereka saling pukul."
Mika mengangguk. "Hooh, kayaknya ribut beneran."
Baskara mengawasi pintu para tetangga kontrakan yang tertutup rapat, seakan tidak terganggu dengan suara pertengkaran. Hanya beberapa warga yang melintas menoleh ingin tahu tapi tetap melanjtkan langkah mereka.
"Kayaknya mereka udah biasa ribut. Nggak ada yang peduli."
Pintu mendadak terbuka, Puji muncul dalam keadaan pakaian robek, rambut awut-awutan serta memegang kening yang berdarah. Terbelalak saat menyadari siapa yang datang.
"Wah-waah, Tuan Putri datang menjenguk rakyat jelata. Apa kabar, Mika?"
Mika tidak menjawab, mengawasi Puji yang menyeringai. Sosok laki-laki paruh baya yang tampan seperti yang pernah dilihatnya di rumah kontrakan dulu, memudar. Menjadi laki-laki tua yang kumal dengan kulit kusam seperti tidak pernah mandi.
"IYANA! KELUAR LO! ADA TAMU ISTIMEWA!"
Teriakan Puji membuat Iyana bergegas keluar. Kali ini bukan hanya Mika yang terkejut, Cila dan Baskara pun ternganga melihat penampilan Iyana. Rambut dicat pirang, memakai kaos ketat yang robek di bagian dada. Wajah bermake-up tebal dengan rokok menyala di selipan bibir. Iyana yang anggun dan cantik, berubah menjadi perempuan paruh baya dengan penampilan awut-awutan.
"Waah, selamat datang Tuan Putri dan dua sahabatnya yang setia!" ledek Iyana sambil meludah.
.
.
Cerita ini mulai PO, jangan lupa hubungi olshop langganan kalau mau beli.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro