Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 12

Cila mengeluh dalam hati saat melihat ada tamu datang. Pulang kerja dalam keadaan lelah, yang diinginkannya hanya berada di dalam kamar, merebahkan diri di ranjang dan menikmati waktu sendiri yang menyenangkan. Sepertinya itu mudah diwujudkan saat melihat adiknya sedang berbincang dengan Jairo. Pemuda berambut kecoklatan dengan wajah tirus dan tuguh kurus itu sedang tertawa bersama Casey. Keduanya terlihat bahagia layaknya pasangan muda pada umumnya. Di samping mereka ada Cahyani yang sibuk menawarkan makanan. Cila berniat menyelinap sayangnya kepergok sang mama.

"Cila! Mau kemana kamu? Sini sebentar, ngobrol sama Jairo."

Cila menghela napas panjang, melambai pada Jairo. "Hai, Jairo."

Sapaan ramahnya hanya ditanggapi dengan anggukan kecil oleh pemuda itu. Sikap tidak sopan yang sangat menjengkelkan. Itulah kenapa Cila tidak suka dengannya. Anehnya sang mama selalu memintanya beramah tamah dengan Jairo. Hal yang sangat menjemukan baginya.

Jairo memakai kemeja kotak-kotak berlengan pendek dengan celana denim hitam, tidak melepas sepatu kulitnya padahal sedang ada di dalam rumah. Jam bermerek dengan harga kisaran puluhan juta melingkar di pergelangan kiri. Belum lagi tas kulit cokelat di sampingnya, ponsel keluaran terbaru serta kunci mobil Fortuner hitam ada di atas meja. Segala sesuatu yang melekat pada pemuda itu adalah ciri anak orang kaya.

Casey bersikap sangat memuja, dengan gaun putih selutut menyandarkan kepala di bahu Jairo dengan sikap manja. Cila tidak tahan melihatnya.

"Kemari, Cila. Nggak sopan berdiri di anak tangga gitu!" tegur Cahyani sekali lagi.

"Nggak apa-apa, Tante. Saya udah biasa kok sama sikap, Cila!" sela Jairo dengan senyum lebar.Meraih jemari Casey dan meremas dengan lembut. "Iya, nggak, Sayang?"

Casey mencebik, wajah cantiknya seketika muram. Melotot pada Cila dengan sikap penuh permusuhan.

"Lo ada masalah apa, sih, Cila? Nggak suka sama gue nggak apa-apa. Masa, iya, sama Jairo lo harus jutek gitu! Nggak ada sopan santun!"

"Jangan marah, Sayang. Biar mama yang bicara sama kakakmu. Memang Cila ini sikapnya makin lama makin aneh!"

"Nggak aneh, Tante. Emang Cila aja yang kurang suka sama saya." Jairo menambah panas suasana dengan menimpali percakapan ibu dan anak.

Cahyani tertawa lirih. Menunjuk Cila yang masih berdiri kaku di anak tangga paling bawah. "Kenapa nggak suka? Kamu tampan dan baik. Mana bisa Cila dapetin cowok kayak kamu, Jairo."

Casey menyahut cepat ucapan sang mama. "Jairo itu level pergaulannya udah beda, Mama. Jangankan dapat pacar macam Jairo. Teman aja Cila cuma dua. Mika sama Baskara. Syukur-syukur kalau ada cowok yang mau sama dia!"

Cila tertegun, tidak tahu di mana letak kesalahannya sampai-sampai mama dan adiknya sendiri mencelanya habis-habisan. Memang harus diakui kalau dirinya tidak suka bertemu Jairo karena pasti seperti ini ujungnya. Dianggap tidak sopan? Bukankah tadi dirinya sudah menyapa?

Pandangannya tertuju pada sang mama yang sekarang tertawa lebar bersama Jairo. Bertanya-tanya apakah benar perempuan itu yang dulu melahirkannya? Kenapa tidak ada perasaan sayang sama sekali dalam Cahyani untuknya? Kenapa selalu menganggapnya salah?

Casey adalah saudara kandungnya, banyak orang mengatakan kalau wajah mereka mirip. Yang membedakan hanya kulit Casey mengikuti sang mama yang putih. Sedangkan kulit Cila lebih mirip sang papa yang cokelat eksotis. Lalu salahnya di mana? Apakah karena perbedaan warna kulit membuat perasaan orang tua juga berbeda?

"Jairo, apa kesibukanmu sekarang?" tanya Cahyani.

"Saya sedang bantu-bantu papa, Tante. Rencana mau ngembangin satu pabrik lagi. Sedang nego dengan bank investasi."

"Waah, hebatnya. Pabrik apa?"

"Pabrik kain, Tante."

Cila membalikkan tubuh, bersiap meneruskan langkah saat Cahyani kembali memanggil.

"Cila, kamu dengar nggak? Jairo mau buka pabrik kain. Rumah modemu bisa ambil kain dari Jairo!"

Casey menyela. "Maa, rumah mode tempat Cila kerja kecil tahu. Pabrik Jairo hanya menerima orderan besar. Mana mampu mereka?"

"Oh ya juga."

"Benar Tante, pabrik kami untuk orderan besar macam konveksi. Bukan butik kecil seperti tempat Cila!" sahut Jairo dengan bangga.

"Tante salah, maafkan tante yang nggat tahu apa apa ini."

Tanpa mengatakan apa pun, Cila menaiki anak tangga dengan dada berdentum sakit. Tidak cukup hanya mengoloknya saat hanya berdua saja, Cahyani dan Casey juga mengoloknya saat ada Jairo. Apa mau mereka sebenarnya? Menginginkan dirinya punya pacar? Lalu apa? Menikah dan keluar dari rumah ini? Cila pun ingin keluar kalau saja sang papa tidak menentang.

Masuk ke kamar dan mengunci pintu, Cila meletakkan tas di atas meja. Menarik kursi lalu duduk sambil menghela napas panjang. Terdengar tawa samar-samar dari ruang tengah, sebuah pembicaraan yang sepertinya sangat menyenangkan meski tanpa melibatkannya.

Jairo memang anak orang kaya, pakaian dan barang yang melekat dalam dirinya adalah barang bermerek. Mungkin tidak sekaya Haven, tapi cukup untuk membuat Cahyani dan Casey bangga. Keduanya bangga dengan harta milik orang lain. Sungguh lucu kalau dipikir.

Kondisi keluarga mereka terbilang bagus dengan kedudukan sang papa sebagai manajer perusahaan bonafit. Cila tidak pernah kekurangan apa pun dari kecil, sang mama memberikan yang diinginkan meskipun bukan sesuatu yang mewah tapi berharga untuknya. Satu hal yang diingat adalah semua barang dimiliknya harus lebih murah dari milik Casey.

"Sebagai kakak kamu harus mengalah, Cila!"

"Casey mau ikut modeling, wajar kalau perawatan dan gaunnya bagus-bagus. Kamu di rumah aja, ngapain beli gaun bagus. Kecuali kalau mau pesta, lain cerita."

"Cila, jangan ganggu adikmu. Dia lagi diet. Bisa nggak kalau mau makan nunggu Casey nggak ada?"

Dalam benak sang mama hanya ada Casey. Semua orang di rumah ini harus mempertimbangkan perasaan Casey, tanpa peduli gimana pun keadaannya. Terlebih kalau Casey mengeluh sakit, satu rumah akan dibuat kerepotan termasuk Cila.

"Cila, contohlah adikmu. Sikapnya sopan, santun, rajin belajar, berprestasi pula. Kamu tahu adikmu masuk juara favorite untuk sampul majalah? Nggak sembarang orang bisa!"

Cahyani menutup mata kalau Cila juga punya bakat. Menggunting, menggambar pola, dan membuat gaun sendiri. Bakat Cila selalu dianggap pemborosan karena banyak membutuhkan uang untuk membeli bahan dan pernak-pernik. Sedangkan Casey yang les musik, make-up, serta beragam les lain justru dianggap prestasi.

Cila beruntung punya seorang papa yang sangat adil. Panji selalu memberikan uang untuk semua kegiatan. Mendukung penuh segala hal yang dilakukannya. Mobil yang sekarang dinaikinya juga pembelian sang papa, yang ditentang oleh mamanya. Itulah kenapa Cila tidak berani membantah saat sang papa melarangnya pindah dari rumah ini. Padahal ia sudah tidak betah ada di sini.

Satu pesan muncul di layar ponsel. Cila membaca dengan bibir mengulum senyum. "Bagaimana kalau malam Minggu ini kita kencan, princess?"

Adiar selalu bisa membuat Cila tergelak. "Pangeran, apakah hamba harus menginap?"

"Disarankan seperti itu, akan baik untuk kita berdua. Kalau Princess punya lingere sexy, aku siap melihatnya."

"Wow, pangeran mesum ternyata."

"Biasalah, pangeran yang ini suka nggak bisa nahan nafsu kalau lihat Princess cantik dan sexy."

"Baiklah, dipikirkan soal lingere sexy itu."

Setelah membuat janji dengan Adiar, sekarang Cila harus memikirkan alasan untuk menginap di luar. Ia memutar otak bagaimana agar orang tuanya memperbolehkannya keluar tanpa banyak larangan.

Tidak mungkin mengatakan ada pesta atau meeting kantor karena terlalu sering digunakan. Cila memutuskan untuk mandi sambil menjernihkan pikiran. Barang kali kalau menyiram kepala ide di otaknya akan muncul. Selesai membersihkan diri ia mengeringkan rambut. Dari jendela terlihat mobil Jairo meninggalkan garasi. Cila merasa lega, tidak perlu takut harus ke bawah lagi untuk menemani makan malam. Jairo yang datang harus dilayani dan ditemani seperti anak raja. Benar-benar membuat kesal.

Permasalahan Cila dipecahkan oleh Mika yang mengeluh di grup tentang kelakuan Iyana.

"Kesal banget gue. Iyana berani datang ke kantor laki gue."

Baskara menjawab cepat. "Lo nggak boleh diam aja. Samperin dan omelin dia!"

Cila terbelalak lalu mengetik cepat. "Setuju gue. Ayo, gue temenin lo. Kapan mau ketemu Iyana. Nggak bisa didiemin emang orang itu. Minggu gimana? Gue longgar."

Mika membalas tak lama kemudian. "Minggu boleh. Suami di rumah, bisa jaga anak-anak. Biar gue yang pergi ngelabrak Iyana. Kalian berdua bisa ikut gue?"

"Bisalah! Jaga toko melulu agak bosan gue. Sesekali ikut keributan!"

Cila membalas tidak kalah semangat dari Baskara. "Gue pastiin bakalan datang hari Minggu ke rumah lo. Kita hajar, Iyanaa!"

"Hajaaar!"

Ketiganya saling membalas pesan dengan penuh semangat. Mengingat lawan mereka adalah Iyana yang memang mengesalkan. Masalah ini membuat membuat Cila menggebu-gebu, kemungkinan untuk kencan dengan Adiar ditambah akan berkelahi dengan Iyana. Tidak ada yang lebih menyenangkan dari dua hal itu. Sudah lama ia menyimpan rasa marah, saatnya untuk dikeluarkan semua unek-unek.

Merebahkan diri di ranjang, Cila membuka foto profile Adiar. Hanya ruangan kosong tanpa orang. Ia mengingat ruangan Haven yang pernah didatanginya, sedikit berbeda tapi penataannya sama. Sepertinya Adira punya ruangan sendiri. Tidak mungkin seorang wakil direktur kerja bersama pegawai lain.

Cila mendesah, berpikir seandainya Adiar adalah kekasihnya tentu akan membantunya dari kesulitan ini. Mamanya akan bungkam saat tahu pacarnya adalah wakil direktur. Sayangnya ini hanya keinginan Cila saja yang tidak mungkin menjadi nyata.

"Pacar magang, bukan kekasih kesayangan apalagi calon istri. Aku harus tetap realistis." Cila menegur dirinya sendiri.
.

Di Karyakarsa sudah ending. Tim playbook siapkan pulsa. Tim buku, akan PO segera.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro