Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 11


Cila menahan napas mendengar pertanyaan sang mama. Ia mengamati gaunnya yang kusut masai dengan rambut berantakan. Menyadari lupa memeriksa wajah untuk memastikan kalau make-upnya juga berantakan. Berusaha untuk tidak mengendus bau tubuhnya yang beraroma parfum laki-laki. Apakah Adiar memakai parfum yang sama dengan sang papa? Kenapa mamanya tahu soal ini? Cila diserang beragam dugaan yang membuat jantungnya berdebar tak menentu. Jangan sampai terlihat panik atau sang mama akan curiga.

Apa yang dicurigai sang mama dari penampilannya? Akankah mengira dirinya habis bercinta dengan liar bersama laki-laki? Tidak seharusnya itu menjadi dugaan hanya karena gaun dan rambut kusut bukan? Cila memikirkan berbagai alasan untuk menangkis tuduhan sang mama.

“Penampilanmu sekarang seperti pelacur yang baru selesai menjajakan diri! Coba lihat di cermin! Memalukan!”

“Ma—”

“Apa? Jangan membantah kalau orang tua bicara!”

Makian sang mama memang kasar dan menyakitkan tapi Cila yang sudah terbiasa mendengarnya hanya diam saja. Takut kalau banyak bicara maka rahasianya akan terbongkar. Terserah sang mama mau bicara apa, ia siap mendengar sampai selesai tanpa mencela. Yang membuatnya terganggu adalah cara Cahyani yang berdiri sambil berkacak pinggang dan menunjuk dengan bengis. Seolah Cila sudah melakukan kesalahan besar seperti menghilangkan nyawa orang atau membuat bangkrut keluarga.

“Kamu ini sudah tua, adikmu saja nggak sabar pingin sarjana karena ingin cepat kerja. Kamu yang sarjana lebih dulu malah nggak tahu diri. Bukannya cari uang malah senang-senang terus. Okelah, kamu hari ini ada pesta di tempat Mika. Pesta anak perempuan kecil itu tapi kenapa pulang dalam keadaan kusut begini?”

Cila mendesah. “Nggak cukup soal pekerjaan apa sekarang penampilanku harus dikritik juga, Ma?”

“Mama bicara jujur! Kamu harus berubah! Mau sampai kapan begini? Punya pekerjaan tapi gaji pas-pasan. Punya teman hanya dua, nggak bisa bantu kamu apa-apa. Padahal Mika menikah dengan orang kaya, Baskara sendiri juga keluarganya nggak miskin.”

“Memangnya apa yang Mama harepin dari mereka? Membantu soal apa?”

Cahyani mengangkat bahu. “Entahlah, mungkin suami Mika bisa mengenalkan cowok kaya untukmu atau apa, Baskara bisa—"

“Stop! Mama jangan ngomong apa-apa lagi.” Cila mulai kesal sekarang. Merasa sang mama terlalu ngelantur. “Gaunku kusut karena main sama anak-anak. Bau parfum laki-laki? Mama lupa yang jemput aku Baskara? Dari pada bau rokok, dia semprot parfum ke mobil. Soal bantuan, aku bisa mandiri dan apa-apa sendiri. Nggak butuh orang lain untuk menolongku!”

Setelah melontarkan serangkaian kebohongan, Cila bergegas pergi meninggalkan sang mama. Awalnya ia mencoba bertahan tapi lama kelamaan tidak bisa lagi memendam emosi.

“Cilaa! Kenapa kamu kabur gitu aja. Mama belum selesai bicara!”

Tidak pernah ada pembicaraan dua arah antara sang mama dan Cila. Dirinya dipaksa untuk mendengar, tanpa membantah, tanpa amarah, tidak boleh ada rasa tidak puas. Satu-satunya orang yang waras di rumah ini hanya Cila dan sang papa. Setidaknya dari sudut pandanganya.

Cila bahkan tidak pernah menangis lagi meski mendapat pedas dari sang mama. Sudah terbiasa meski rasa sakit mencengkeramnya. Ia tidak boleh kalah oleh makian dan umpatan, tidak boleh menyerah pada keadaan dan belajar lapang dada.

Mengambil design dan membuka di meja kerja, Cila mulai mengerjakan apa yang sudah dilakukannya. Design yang akan ditunjukkan untuk Marta kalau dirinya diberi kesempatan untuk memperlihatkannya. Entah kapan waktunya tiba, ia akan menunggu. Ia meraba bahan yang dibeli tadi, menyiapkan peralatan dan mulai mengerjakan. Bahan warna hijau daun di tangannya diharapkan bisa menjadi gaun yang indah. Saat berkutat dengan desgin, bahan, dan alat-alat, Cila lupa dengan kesedihannya.

Hari-hari selanjutnya, pekerjaan Cila menjadi lebih sibuk karena membantu Marta. Perempuan itu menguji kesabaran melebihi Flavia dan teman-temannya, menguras tenaganya dengan amat sangat besar di sisi lain juga membagi banyak pengalaman yang membuat Cila banyak mendapatkan pelajaran.

Saat makan siang, Cila yang duduk sendiri di kantin kecil samping kantor, menerima beragam sindirian dari Flavia dan yang lain. Mereka tidak bisa menyimpan rasa iri karena Cila dekat dengan Marta.

“Gue yakin kalau malam itu ada yang tidur dengan Antoius. Cuma nggak tahu siapa.” Rayi itu laki-laki tapi mulutnya pedas melebihi perempuan.

“Panjat sosial pakai tubuh. Gue yakin itu!” Nilam mengompori.

Flavia hanya diam mendengar cibiran teman-temannya, menyimpan rasa iri dan cemburu . Sejujurnya ia ingin lebih dekat dengan Antonius tapi Cila yang justru disukai. Dengan beragam alasan seperti Cila lebih cantik, kulit sehat, dan tubuh sexy. Padahal kulit  Flavia sangat putih dan halus. Ia tidak terima dengan kekalahan ini dan berusaha menjebak Cila demi mendapatkan perhatian Antonius, sayangnya gagal.

“Lihat, belagu banget mentang-mentang kerja di tempat Bu Marta.”

“Entah apa bagusnya dia, hah!”

Cila menandaskan makan siangnya, melayangkan tatapan sekilas pada mereka   sebelum  bangkit dan berlalu. Ia tidak punya waktu untuk bicara dan mendengarkan omong kosong mereka. Biarkan mereka iri, ia tidak peduli. Banyak kesibukan semenjak bekerja di ruangan Marta dan itu menguras tenaga serta pikirannya.

Sekian lama ia menunggu untuk diberi kepercayaan yang lebih tinggi dari Marta. Rela menjadi pesuruh satu ruangan, orang lain libur ia masuk untuk lembur meski tanpa hitungan upah. Membantu Flavia dan yang lain menyiapkan pakaian untuk setiap season. Tidak jarang mereka menggunakan idenya untuk kepentingan pribadi. Bagi Cila tidak masalah asalkan dirinya bisa tetap bekerja di rumah mode ini. Menanggung kesengsaraan yang tidak terhitung jumlahnya. Namun, tidak ingin terus menerus dijajah untuk hal di luar pekerjaan.

“Cila! Tunggu! Gue mau ngomong!”

Flavia menghentikan langkah Cila di tengah jalan. Cila sengaja melewati bagian belakang ruko karena cukup sepi, siapa sangka Flavia akan menyusulnya. Ia tergoda untuk terus berjalan dan berpura-pura tidak mendengar. Nyatanya rencananya tidak berhasil karena Flavia memotong langkah tepat di depannya.

“Lain kali jangan berhenti mendadak. Lo nggak mau gue  tabrak’kan?”

“Lo diteriakin bukannya berhenti malah makin kenceng. Sengaja lo nggak mau ngomong sama gue?”

Cila mengangguk cepat. “Memang. Lagian kita nggak ada urusan apa pun. Minggir!”

Flavia mengembangkan lengan, menahan Cila agar tidak meneruskan langkah. Menarik tangan Cila dan membawanya ke pinggiran ruko yang teduh. Siang seperti ini, matahari seolah berada di atas kepala. Tidak akan bagus untuk kulit kalau gosong karena terbakar. Belum lagi keringat yang mengucur di tubuh. Flavia menghindari itu.

“Apa-apaan, sih, lo. Maksa-maksa orang!” Cila menepiskan cengkeraman Flavia di sikunya.

“Eh, gue nggak kayak lo. Kena nggak kena matahari, lo dasarnya udah hitam. Kulit gue gampang gosong, anjir!”

Cila berdecak keras, menatap Flavia dari atas ke bawah. “Ckckck, si paling merasa cantik dan putih. Ya, yaa, di dunia ini cuma lo yang putih. Makanya Antonius nggak ngajak tidur lo karena lo putih? Dia suka sama kulit gue yang eksotis. Hahaha, omong kosong! Buruan mau ngomong apa? Gue sibuk!”

Flavia mengepalkan tangan, belum sempat melontarkan makian sudah dicibir lebih dulu. Geram karena apa yang dikatakan Cila benar adanya. Antonius memang tidak menyukainya, tidak peduli dengan tubuh sexy dan wajah cantik serta kulit putih. Justru tergila-gila dengan Cila yang dianggap sangat rupawan. Benar-benar menjengkelkan.

“Gue pingin tahu, kenapa Bu Marta mendadak baik sama lo? Kenapa dia angkat lo jadi asistennya?”

Cila mengernyit. “Apanya yang salah coba? Gue kerja di rumah mode ini nggak sebentar. Selama ini juga gue jadi asisten kalian. Ups, bukan asisten tapi pesuruh. Jadi, apa salahnya kalau gue kerja sama Bu Marta?”

“Pasti karena Antonius! Bu Marta tahu kalau Antonius naksir lo. Makanya sengaja bikin lo ada di ruangannya. Biar dilihat sama Antonius kalau datang nanti. Cila, Cila, jangan lo pikir lo hebat. Begitu aja langsung belagu!”

Menahan panas di hati karena marah dan panas di tubuh karena sengatan matahari, Cila menyipit ke arah Flavia. Mengamati dari atas ke bawah dengan pandangan bingung. Ternyata di dunia ini beneran ada perempuan yang suka iri dan dengki dengan pencapaian orang lain. Contoh nyata adalah Flavia ini. Bukan hanya itu, seseorang yang merasa lebih tinggi dari yang lain dan menolak untuk kalah, sifat seperti itu nyata adanya.

“Gue rasa obrolan kita nggak nyambung sama sekali. Lo cuma mau marah sama gue karena lo iri.”

Flavia melotot sambil berteriak. “Apaa? Gue iri sama lo? Apa yang bikin gue irii, anjir!”

“Ckckck, dari tadi makiannya bawa-bawa anjir. Gue mana tahu lo iri soal apa, seperti kata lo tadi gue cuma pesuruh. Gue cuma bingung satu hal, Flavia. Di mana lo beli obat perangsang buat gue itu?”

“Ma-maksud lo apa? Mana ada obat perangsang?” Flavia menjawab gugup.

Cila mendorong Flavia ke dinding, tidak peduli dengan teriakannya. Ia menepuk permukaan dinding tepat di wajah  Flavia lalu mendesiskan ancaman.

“Jangan pura-pura nggak tahu apa-apa, eneg gue lihatnya Flavia. Kita berdua jelas tahu apa isi dari minuman gue. Kalau malam itu gue nggak kabur, bisa-bisa saat itu juga langsung diperkosa sama Antonius di depan kalian semua!”

“Lo ngomong apa?”

“Lo masih mau bantah? Tubuh gue bisa ngerasain ada yang salah. Untuk sekarang ini gue nggak ada bukti. Kalau suatu saat nanti bukti berhasil gue temuin, orang pertama yang gue datangin adalah lo!”

Flavia menggeleng cepat. Niatnya bicara dengan Cila adalah untuk memberi peringatan dan menggertak. Kenyataannya justru dirinnya yang terpojok. Saat ini Cila terlihat marah dan kesal. Menuduh langsung meskipun tanpa bukti.

Flavia mengangkat wajah, tersenyum kecil yang tidak mencapai matanya. “Gue nggak takut sama lo karena emang nggak salah. Lagian, sebelum lo nuduh gue macam-macam, mending lo tahu diri dikit. Lo siapa? Berani macam-macam sama gue, rasakan akibatnya!”

Setelah melontarkan ancaman terakhir, Flavia bergegas pergi. Cila mendesah panjang, sedikit bingung dengan percakapan barusan. Sebenarnya, apa yang diinginkan Flavia darinya? Kenapa seorang perancang malah iri dengan pesuruh biasa. Sangat aneh!

**
Di Karyakarsa update bab 65.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro