Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 10

Cila tidak pernah terpikir akan melakukan tindakan liar dengan bercumbu di dalam mobil dengan resiko akan dipergoki orang. Dari awalnya ciuman biasa, berkembang menjadi sentuhan dan akhirnya menggila oleh gairah. Bukan hanya dirinya yang terpicu, Adiar pun sama bergairah dengan dirinya. Tidak ada yang peduli kalau ada yang melihat, nafsu membutakan bukan hanya otak tapi juga mata mereka.

Cila terbeliak dengan napas tersengal seiring dengan sentuhan jari Adiar di bagian sensitif tubuhnya. Ia nyaris memekik saat Adiar menyentuh klitorisnya. Membungkuk lalu menggigit bahu Adiar untuk menahan pekikan.

"Basah sekali kamu, Cila. Siap untuk bercinta?" tanya Adiar dengan suara serak. Mengecupi bibir Cila tanpa henti. Gadis dengan kulit eksotis ini makin cantik karena kulit yang berkeringat akibat gairah. "Aku ingin bercinta denganmu sekarang."

"Kak, kita di luar. Aaah ...."

Cila menjawab pelan, meski berusaha menunjukkan logikanya masih jalan tapi reaksi tubuhnya berkhianat. Semakin dalam Adiar menyentuhnya, semakin lengket dan basah area intimnya oleh cairan gairah yang tidak tertahankan. Rasanya ia menjadi binal karena Adiar.

"Memangnya kenapa kalau di luar. Nggak akan ada yang lihat," jawab Adiar sambil mengamati lingkungan sekilas. "Parkiran ruko udah sepi. Apa kamu mau Cila?"

Cila ingin menolak tapi justru mengangguk dengan tubuh bergerak karena sentuhan Adiar yang makin menggila. Pinggulnya seakan tidak singkron dengan perintah dari isi kepalanya. Ia menngerang panjang, kala celana dalamnya dilepas.

"Kita ke belakang," ucap Adiar dengan suara parau karena hasrat tak tertahan.

Cila bergerak lebih dulu, disusul oleh Adiar. Dengan gaun masih tersangkut di pinggang, Adiar membuka paha dan membelainya sekali lagi. Bra dan celana dalam tertinggal di bangku depan tapi tidak ada yang peduli.

"Aaah ...."

Cila mendesah panjang saat Adiar kembali meremas dada dan merebahkannya ke kursi. Jarinya terangkat untuk membuka kancing kemeja Adiar dan membelai kulit yang putih serta bahu yang kokoh.

Cila mengusap-usap puting Adiar yang menegang, ingin sekali mengisapnya tapi tidak punya kesempatan melakukan itu karena Adiar membuka celana dan memosisikan diri di tengah tubuhnya.

"Ini akan sedikit sulit tapi setidaknya bisa membuat hasrat kita terpenuhi," bisik Adiar dengan jemari membelai vagina Cila yang basah.

Cila melenguh, mengulurkan tangan untuk menyentuh kejantanan yang menegang. Tersenyum melihat Adiar menggigit bibir menahan desisan gairah. Adiar yang terbiasa tenang, menjadi laki-laki yang tidak sabaran karena gairah. Satu sentuhan di area intim dan membuat wajahnya mengeras dan bibir mengatup.

"Ah, sial! Jarimu makin lihai. Belajar dari mana, hah?"

Cila tersenyum bangga. "Nggak belajar, inting aja."

"Hebat, aku suka instingmu. Yaa, terus memijat seperti itu."

Sementara Cila terus mengusap dan memijat kejantanan Adiar yang sudah menebal dan memanjang, dadanya diremas dengan kuat. Tidak ingin membuang waktu lebih lama karena takut kepergok, Adiar menekuk lutut Cila dan mulai melakukan penetrasi.

"Aaah!"

Cila dan Adiar mendesah bersamaan saat hujaman pertama dilakukan. Pinggul Cila bergerak, mengimbangi Adiar yang keluar masuk dari tubuhnya. Area yang sempit dan tidak leluasa serta situasi yang membuat mereka bisa sewaktu-waktu terpergok, membuat percintaan menjadi semakin intens dan menggairahkan.

"Tubuhmu candu, Cila. Gimana ini?" tanya Adiar seiring dengan setiap gerakannya. Ia tidak butuh jawaban Cila, karena memang pertanyaannya diajukan untuk dirinya sendiri. Bagaimana ia kelak menjalani hidup kalau pikirannya selalu kotor? Hanya ingin mencium, menyentuh, dan juga bercinta dengan Cila. "Sial! Aku bisa gila!"

Semua kata-kata Adiar membuat Cila mendesah makin keras. Ia sendiri dibuat tidak berdaya oleh Adiar. Sensasi hangat memabukkan yang membuat tubuhnya meleleh karena gairah, diakibatkan oleh kejantanan Adiar yang keluar masuk dari vaginannya. Ia memeluk bahu Adiar dan mencengkeram lengan dengan kuat. Tanpa sadar mencakar sambil menggigit keras bahu Adiar saat mencapai puncak. Cila menegang sesaat lalu kembali melemas dan bergerak lagi.

"Ooh, Cila, Cila. Tetap bertahan demi aku."

Permintaan Adiar membuat Cila membuka paha makin lebar. Menjepit pinggul Adiar dan membiarkan tubuhnya dipuaskan. Tidak perlu terburu-buru, selama tidak ada orang memergoki sepertinya mereka sanggup bercinta berkali-kali.

Tidak ada yang bicara untuk sesaat, terlalu fokus dengan bagian intim keduanya yang sedang menyatu. Sesekali berciuman dengan Adiar membisikan kata-kata mesra penuh pemujaan akan tubuh Cila.

"Cila, dikit lagi. Ya, benar. Gerak gitu, aah, enaknya!"

Cila melakukan yang diminta Adiar, menggerakan pinggulnya untuk mengimbangi percintaan yang panas dan sarat nafsu. Tidak akan ada yang akan bicara soal moral saat sex dilakukan di luar rumah. Cila terlalu menikmati percintaan sampai-sampai tidak peduli apa pun juga. Saat Adiar mencapai puncak, dengan mata terbeliak serta napas tersengal, ia menerima dengan pasrah. Hingga akhirnya Adiar melemas di atas tubuhnya.

"Terima kasih Cila," bisiknya lembut.

"Terima kasih untuk apa?" Cila membelai rambut dan bahu Adiar yang basah oleh keringat. Terlalu lemas untuk bergerak membuat keduanya hanya saling memeluk dalam diam untuk menetralkan napas. "Jangan bilang terima kasih untuk sex. Aku marah nanti."

"Kenapa marah?"

"Karena kesannya aku murahan."

Adiar mengangkat kepala dari dada Cila. Membantu Cila untuk duduk tegak. Mengambil kotak tisu dan membantu membersihkan keringat di wajah, bahu, lengan, serta cairan cinta di selangkangan. Ia melakukan semuanya dengan tekun, rapi, dan tanpa suara. Selesai semua, Adiar mengecup lembut bibir Cila.

"Aku nggak akan terima kasih untuk sex. Tapi untuk kasih sayangmu. Cila, bukan hanya tubuh dan bibirmu yang luar biasa. Semua yang ada padamu sangat hebat."

Pujian Adiar terdengar sangat aneh, tapi Cila menyukainya. Setidaknya membuatnya senang karena dipuji hebat dalam bercinta.

"Padahal ini percintaan kedua kita tapi kamu memujaku seolah kita sering melakukannya."

Adiar menarik gaun Cila yang kusut. Membantu mengambil bra serta celana dalam dari bawah kursi dan membiarkan Cila memakainya. Ia sendiri sibuk merapikan pakaian. Saat Cila selesai, ia membantu agar kembali duduk di jok depan.

"Bagaimana kalau kita sering-sering melakukannya? Apa kamu mau?"

Cila melongo, menatap Adiar dengan bingung. "Kamu mau sering-sering bercinta denganku?"

Adiar mengangguk. "Tentu saja, itu pun kalau kamu mau. Asalkan waktu dan tempat cocok, aku ingin menghabiskan waktu berdua denganmu. Seperti makan, menonton, dilanjutkan dengan saling bermesraan layaknya pasangan."

"Eh, itu mah kayak orang pacaran." Cila menoleh heran bercampur tawa. Ajakan Adiar sedikit menggelikan untuknya karena terkesan untuk pasangan meski tanpa kata-kata romantis. "Nggak salah dengar aku?"

"Bukannya kamu sedang cari pacar? Sebelum nemu orang yang cocok bagaimana kalau kamu magang dulu sama aku. Kita bisa coba semuanya, bila perlu tiap kali bercinta kita ganti posisi. Biar kamu makin mahir soal sex."

Diucapkan dengan nada serius, kata-kata Adiar membuat Cila tidak dapat menahan gelak. Sangat tidak singkron antara wajah serta sikap serius tapi mengajak orang berhubungan sex, hanya Adiar yang sanggup bersikap konyol begini.

"Kamu ingin jadi pacar magangku?" goda Cila.

"Well, kalau tarifnya cocok, sepertinya bukan hal sulit untuk dilakukan, Cila."

"Memangnya kamu mau dibayar berapa?"

"Bukan dibayar berapa tapi dibayar pakai apa. Cila, bisa kamu ubah pertanyaanmu?"

Cila belum sempat mencerna kata-kata Adiar karena kendaraan mulai melaju perlahan meninggalkan tempat parkir yang sunyi dan sedikit gelap. Ia mengusap dada yang berdebar layaknya perempuan yang sedang jatuh cinta. Padahal Adiar bukan sedang menembaknya melainkan mengajak untuk menjadi frend with benefit. Istilah lokalnya adalah hubungan tanpa status tapi bercumbu dan bercinta layaknya pasangan.

"Kenapa diam, Cila? Sulitkan pertanyaanku?" tanya Adiar dengan mata menatap Cila yang terdiam. "Aku nggak akan maksa, kalau kamu nggak mau atau kurang nyaman. Nggak masalah, Cila."

Menghela napas panjang, Cila memberikan petunjuk jalan menuju rumahnya. Ia belum bisa memberikan jawaban karena sepertinya memang bukan pertanyaan mudah untuk dijawab. Cila mulai mempertimbangkan tentang pertemuan rutin antara dirinya dan Adiar disusul dengan percintaan serta cumbuan panas. Sepertinya menjadi pasangan magang bukan hal sulit. Justru menguntungkan bagi Cila karena ada orang untuk diajak bersenang-senang. Selama ini ia tertekan di kantor dan juga di rumah, berada dalam pelukan Adiar akan sangat membahagiakan.

"Baiklah, Kak. Aku mau."

Jawaban Cila yang diucapkan dengan lirih membuat Adiar terkejut. "Kamu yakin mau sama aku, Cila?"

Cila memutar bola mata. "Mau sama kamu yang kayak gimana, Kak? Aneh amat pertanyaannya."

Adiar tergelak, wajahnya menyiratkan rasa bahagia. "Benar juga. Emang sedikit cupu pertanyaanku. Cila, karena kita sudah sepakat, mulai sekarang kalau kamu ingin pergi ke suatu tempat dan ingin melakukan sesuatu serta membutuhkan teman, jangan segan menghubungiku."

"Nomor hapemu?"

"Nanti aku akan misscall kamu."

"Hah, emangnya punya nomorku?"

"Punya. Dulu aku pernah minta. Kamu lupa? Atas perintah Pak Haven sih. Tapi aku masih menyimpan nomormu dengan baik."

Tiba di depan rumah, Cila turun dengan hati berbunga-bunga. Tidak menyangka kalau Adiar bersedia menjadi pacar paruh waktunya. Masuk ke rumah sambil bersenandung, Cila memutar-mutar tas di tangan. Tiba di ruang tamu, ia dibuat tertegun saat sang mama muncul dan menghadang langkahnya.

"Dari mana kamu?"

"Pesta ulang tahun anak Mika."

Cahyani menyipit menatap Cila dari atas ke bawah dan mengedus-endus. "Kamu pakai parfum laki-laki? Terus, gaunmu kenapa kusut begitu? Kamu habis ngapain, Cila?"

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro