
2.a
Timur Kaimana
Nirma membaca sekali lagi tanda pengenal yang terpasang pada lanyard milik Timur. Lelaki itu baru saja mengalungkannya di leher. Nama yang unik dan bagus, mengingatkan Nirma pada salah satu kabupaten di Papua bernama Kaimana.
Namun, Nirma agak meragukan keberasalan Timur, karena tidak terlihat sama sekali jejak orang timur di wajahnya. Mungkin saja dia memang bukan asli orang Papua. Seperti halnya kebanyakan orang tua di Indonesia memberi nama-nama asing pada anaknya, meskipun tidak dihasilkan dari persilangan negara lain.
Timur tadi sempat menjelaskan kalau dia yang akan menggantikan Jerri. Ternyata Timur sudah hampir sebulan bekerja di kantor ini, tapi Nirma merasa tidak pernah melihat sosoknya. Walaupun berbeda divisi, semestinya Nirma pernah sekali dua kali melihat Timur.
Selain mereka berdua, ada empat orang lainnya yang juga ikut ke rumah Amanda. Satu orang asisten fotografer, dua orang makeup artist, dan satu orang lagi yang bertanggung jawab dengan urusan wardrobe.
Mereka hanya tinggal menunggu Joli dari bagian wardrobe yang belum juga muncul ujung batang hidungnya. Joli sudah mengabarkan pada Nirma kalau dia akan sedikit terlambat, karena harus mengambil beberapa baju dulu dari butik salah satu desainer. Baju tersebut yang akan dipakai Amanda dalam sesi pemotretan nanti.
Rifat si asisten fotografer yang akan membantu Timur, sedang memasukkan peralatan fotografi lainnya seperti strobo dan tripod ke bagasi. Rani dan Hilda memilih menunggu di dalam mobil dan memeriksa kembali alat-alat makeup yang dibawa.
Timur melirik ke arah jam tangannya dan aktivitas itu tak luput dari mata Nirma. Bukan jam tangan murah. Nirma bisa memastikan kalau semua yang melekat di tubuh Timur berharga mahal.
"Kenapa?" Timur bertanya dengan senyumnya yang memukau. Nirma tidak sedang bermajas, tapi memang senyum Timur itu seperti bisa mencairkan es di Kutub Utara.
"Nggak apa-apa." Nirma tersenyum tipis. Dia menyelipkan helaian rambut yang tak terikat ke belakang telinga, sambil berpikir mencari bahan obrolan yang pas dengan Timur.
"Sebelumnya kamu di mana?" tanya Nirma sedikit berbasa-basi.
"Maksudnya?"
"Maksud aku itu sebelum kamu kerja di sini, kamu kerja di mana?"
"Nggak di mana-mana. Hanya kerja untuk diri sendiri." Timur memberikan jawaban yang membuat Nirma harus berpikir lagi.
"Hei, hei, tolong akika!"
Tiba-tiba perhatian mereka semua teralih oleh suara nyaring nan melengking. Suara itu terdengar dari arah pintu samping gedung yang menghubungkan gedung dengan area parkir basement. Di sana seorang lelaki tampak kerepotan membawa tas berukuran besar dan empat buah pakaian yang berada di dalam cloth dust cover.
"Aduh ... tolong aku Mas Timur .... Joli yang lemah ini kerepotan ...." Joli berjalan terseok-seok seraya setengah merajuk meminta bantuan. Timur pun dengan sigap menghampiri Joli dan ikut membawakan salah satu tasnya sampai ke mobil.
"Ah, kebiasaan si Joli. Modus banget pilih yang ganteng," cibir Rani yang mengeluarkan kepalanya melewati kaca jendela mobil. "Lain kali nggak usah dibantuin lagi, Tim. Lelaki nggak boleh lemah, kan."
"Halah, sirik aja dese," balas Joli. Bibirnya yang bergincu merah bata itu dikerucutkan, tapi langsung tersenyum semringah begitu berhadapan dengan Timur. "Thanks, ya, Mas Timur. Baik banget kamu sama wanita lemah kayak aku ini."
Timur dibuat takjub dan bingung dengan kelakuan ajaib Joli yang punya nama asli Joko itu. Nirma menahan tawa melihat ke-absurd-an Joli yang membuat Timur keheranan.
Keempat pakaian yang dibawa Joli tidak bisa diletakkan di bagasi, karena merupakan pakaian desainer yang harus diperlakukan khusus. Sehingga memakan banyak tempat di bagian belakang mobil, yang membuat kursi penumpang mau tak mau harus dilipat.
Rani dan Hilda menempati bagian tengah kursi bersama Joli. Rifat duduk di sebelah sopir. Menyisakan Nirma dan Timur yang tidak kebagian tempat.
"Kalau gitu saya bawa mobil sendiri aja. Nirma biar ikut sama saya," tukas Timur yang melirik ke arah Nirma.
"Eh, aku aja yang ikut mobilnya Mas Timur, ya!" Joli hendak keluar lagi dari dalam mobil, tapi langsung ditahan Rani. Didukung oleh Rifat, yang segera meminta lelaki paruh baya di belakang kemudi untuk segera menjalankan mobilnya.
Timur sudah berjalan menuju mobilnya. Namun, Nirma masih belum bergerak dari tempatnya.
"Ayo," ajak Timur begitu melihat Nirma belum mengikutinya.
Nirma pun segera mengekori Timur dan beberapa detik kemudian sudah duduk di sebelah lelaki yang masih sempat-sempatnya memakaikannya safety belt. Tak pelak, hal itu membuat Nirma canggung. Apalagi wajahnya hanya berjarak sekian inchi dengan lelaki yang aroma tubuhnya serupa morfin itu.
"Bisa sendiri, kok," ucap Nirma yang merasa kurang nyaman dengan tindakan spontan Timur.
"Saya sudah terbiasa memperlakukan wanita dengan baik," cetus Timur enteng.
Kening Nirma mengernyit. "Selalu begini?"
"Nggak suka, ya?" Timur balik bertanya. Mobilnya sudah berjalan keluar dari area parkir.
"Bukan nggak suka, tapi hanya pasang safety belt aja sepertinya terlalu berlebihan kalau dibantuin juga." Nirma menjelaskan.
"Bukannya perempuan itu biasanya suka diperhatikan?"
"Suka, tapi kalau berlebihan juga nggak bagus."
"Padahal maksud saya baik, lho." Timur berdecak pelan seakan menyesal, dan setelahnya tidak ada obrolan lagi di antara mereka.
Sebenarnya bukan maksud Nirma membuat Timur merasa tak enak, yang menghentikan percakapan mereka seketika. Namun, Nirma memilih memusatkan perhatiannya pada ponsel. Membaca kembali daftar pertanyaan yang akan diajukan pada Amanda. Itu lebih baik daripada melewati kecanggungan dengan orang yang belum ada satu jam dikenalnya.
Meski tidak ada lagi obrolan yang tercipta sepanjang perjalanan, tapi aroma Timur yang terhirup olehnya berhasil membuat betah sekaligus meresahkan. Tanpa sadar, mata Nirma terpejam. Mungkin aroma Timur sudah benar-benar membiusnya.
•••♡•••
Jangan lupa untuk VOTE dan tinggalkan komentar kamu ya ❤
Terima kasih ❤
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro