Bab 9b
Saat Dakota selesai dengan pekerjaannya, mendapati Havana sudah pergi. Tidak ada yang tahu kemana karena laki-laki itu tidak mengatakan apa-apa. Dakota tidak mempermasalahkannya, karena Havana punya kehidupan sendiri yang lebih bebas.
Ia mendekati Leonard dan tersenyum. "Anaknya, tante. Mau jalan-jalan?"
Leonard tersenyum lebar. Membuat Dakota merasa gemas. Tapi, tidak berani mendekat karena kotor.
"Tante mandi dulu dan kita jalan-jalan, okee?"
Minggu sore, Dakota mengajak Leonard ke mall terdekat. Membawa serta satu pelayan ia mendorong kereta bayi dan berkeliling untuk mencari pakaian buat Leonard. Dakota tak henti-hentinya tersenyum saat banyak pengunjung memuji Leonard. Mereka memuji wajah tampan dan senyum manis si bayi. Tidak masalah orang-orang itu mendekat asalkan tidak memegang. Ia tidak suka orang asing sembarang meraba pipi Leonard.
Dakota hendak membawa Leonard ke kafe saat terdengar sapaan laki-laki dengan suara yang dalam. "Dakota, kamu di sini juga?"
Dakota menoleh, menatap Arion. Teman sekampusnya itu tersenyum, dengan mata memandang bergantian antara dirinya dan si bayi. Dakota tersenyum kecil. "Hai."
"Hai, juga. Siapa bayi itu?"
"Oh, ponakan."
"Kamu bawa dia jalan-jalan, baik banget."
"Minggu siang, dari pada bengong."
Arion menatap kafe yang menjual makanan khas Jepang. "Dakota, kamu mau makan di sini?"
Dakota mengangguk. "Niatnya begitu."
"Oke, kita masuk. Aku yang traktir."
"Eh, jangan. Nggak enak. Kami orangnya banyak."
Arion menunjuk Dakota dan pengasuh. "Kamu hanya berdua. Bayi ini nggak dihitung. Ayo, masuk. Enak ada teman makan."
Dakota tidak bisa mengelak, saat Arion menyambar kereta bayi dan mendorong masuk ke kafe. Mau tidak mau ia mengikuti pemuda itu. Mereka memang mengenal satu sama lain, tapi bukan dalam tingkatan yang sangat akrab. Arion selalu dikelilingi gadis-gadis dan pergaulannya pun luas dengan banyak teman, berbeda dengan dirinya yang cenderung sibuk dengan dunianya sendiri. Sampai sekarang, ia bahkan tidak percaya Arion mengenalinya.
"Bebas milih menu apa saja, aku yang bayar."
Dakota tersenyum. "Apa kamu ulang tahun?"
Arion terbelalak. "Kok kamu tahu?"
"Hah, serius?"
Pemuda itu tertawa terbahak-bahak. Menggeleng sambil menatap Dakota dengan jenaka. "Nggak, cuma pingin traktir kamu aja. Lagi pula, nggak enak makan sendirian. Bokap sama Nyokap lagi keluar kota, bawa adik. Rumah sepi."
Dakota menelengkan kepala. Menatap Arion dengan heran. Merasa ada yang salah dengan pemuda itu. Arion menyadari pandangannya dan bertanya. "Kenapa mandangnya gitu?"
"Aneh."
"Karena?"
"Kamu biasanya nggak pernah sendiri, Selalu ada temen, apalagi, uhuk, cewek. Aneh aja ngrasa sendiri."
Arion tersenyum, menyugar rambut. "Yah, sesekali menjauh dari mereka itu bagus. Berisik."
Mereka memesan nasi dengan daging sapi tumis saos teriyaki. Makan sambil mengobrol. Sesekali Dakota menghentikan suapannya untuk menggendong Leonard yang merengek. Pandangan Arion tidak lepas dari cara Dakota yang bertutur lembut pada bayi dalam gendongan. Senyum mengembang di bibir, saat menyadari sifat keibuan Dakota.
**
Pub itu ramai oleh pengunjung. Meja-meja billiard di letakkan di dekat dinding dengan bangku-bangku tinggi untuk pengunjung menikmati minuman. Selain menyediakan minuman beralkohol dan non alkohol, ada pula beragam makanan yang ditawarkan. Asap rokok membumbung di ruangan, berbaur dengan aroma masakan dan parfum.
Havana bersama empat temannya, membungkuk di atas meja billiard. Sudah lama ia tidak bermain dan sesekali melakukan ini bagus untuk membuatnya bersantai. Ia memesan bir dingin dan kentang goreng. Melakukan taruhan kecil-kecilan dengan teman-temannya.
"Lo pindah ke mana, sekarang? Jarang lihat lo di lobi." Salah seorang teman yang satu apartemen dengannya bertanya.
Havana melirik, meneguk bir. "Tinggal di rumah bokap."
"Hah, kesambet apaan, lo. Dulu bokap lo masih hidup nggak mau ke sana. Sekarang malah pindah."
"Jagaian adik gue," jawab Havana.
Terdengar dengkusan tawa, Havana menatap teman-temannya yang nyengir aneh. "Kenapa? Kalian nggak percaya?"
Bahunya ditepuk, hampir saja ia memuntahkan bir. "Bro, kita semua kenal lo. Kayak aneh aja lo mau ikut campur ngurus adik lo yang masih bayi itu. Seingat kita, lo dulu benci sama nyokap tiri lo yang baru."
"Memang, tapi kasihan bayinya."
Havana terdiam, saat teman-temannya mulai berseloroh ramai menggodanya. Ia bisa menahan apa pun godaan mereka. Tidak masalah kalau mereka menertawakannya, yang dilakukannya memang untuk si bayi. Ia tidak akan mengatakan pada mereka tentang pernikahannya dengan Dakota dan juga warisan.
Meneguk bir, otaknya memikirkan Dakota. Ia tidak dapat menahan senyum saat mengingat tangannya yang tanpa sengaja menyentuh dada gadis itu. . Ia berdehem, merasa tenggorokannya kering dan menandaskan bir.
Baru kali ini ia memikirkan tentang seorang gadis dengan penampilan sangat sederhana. Dakota tidak pernah bersolek. Dirinya punya dugaan, jangan-jangan gadis itu tidak tahu cara memakai lipstick. Setiap kali mereka berkencan, yang dilakukannya hanya mengganti kacamata dengan softlens dan juga menggerai rambut, itu sudah mengubah setengah penampilannya. Havana yakin, dengan penanganan pada penampilannya yang tepat, gadis itu terhitung cantik.
"Udah tahu kabar terbaru?"
Pertanyaan salah satu temannya membuyarkan lamunan Havana. "Kabar apaan?"
"Pacar lo sama aktor itu."
Havana mendengkus. "Bukan pacar lagi. Kami sudah putus."
"Tetap saja, Jeni masih mengakui ke orang-orang kalau lo pacarnya dia. Tapi, banyak yang bilang juga kalau dia sering jalan sama aktor itu. Aneh memang."
Havana mengibaskan tangan. "Nggak usah dipikirin."
"Mending sama Ivona. Lo tahu'kan dia siapa? Teman sekelas kita dulu. Sekarang udah jadi cewek karir. Kerja jadi penerjemah. Minggu lalu nggak sengaja ketemu dia dan tebak, dia nanyain lo."
Havana mengernyit. "Ivona? Sekelas di SMU?"
"Benar, bunga kelas. Makin cantik, maan! Ngomong-ngomong, dia sebentar lagi datang. Barusan gue kirim pesan."
Tidak ada yang keberatan saat kelompok mereka bertambah orang. Ivona datang tidak sendiri melainkan dengan satu teman perempuannya. Mereka berbaur dan saling bertanya kabar. Berdiri di depan Havana, perempuan itu menyapa ramah.
"Havana, kamu nggak berubah," ucapnya.
Havana tersenyum. "Ivona, apa kabar."
"Kabar baik, Havana. Ya Tuhan, long time no see and i really miss you."
Havana tidak sempat berkelit saat Ivona mendekat dan memeluknya hangat. Aroma parfum yang dipakainya menyelusup dalam indra penciumannya. Parfum yang sama seperti yang dulu sering dipakainya. Ingatan Havana melayang pada masa lalu, dan cinta pertamanya yang kandas. Ivona adalah perempuan pemilik cinta pertama itu.
**
Obrolan hati
Arion: Aku suka bayi.
Dakota: Bayi apa? Manusia atau beruang?
Arion: Manusialah, apalagi bayi yang kamu gendong itu.
Dakota: Terima kasih, dia memang bayi manis.
Arion: Kamu lebih manis.
Havana menyipitkan mata: Siapa manusia perayu itu?
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro