Bab 9a
Ia berbohong, sebenarnya dada Dakota cukup berisi. Ia yakin, kalau tanpa baju dan bra yang menghalangi, akan pas di tangannya
**
Minggu pagi, Otis yang terbiasa kerja lembur, hari ini menyempatkan diri untuk berolah raga di stadiun kota. Bukan tanpa alasan ia kemari, selain karena luas juga karena dekat dengan kantor. Tadi malam ia lembur dan sebelum pulang, menyempatkan diri untuk lari keliling lapangan.
Halaman stadiun yang luas dipenuhi banyak orang yang sedang berolah raga, belum lagi para pedagang yang ramai menjajakan sarapan. Otis melihat kalau tempat ini lebih mirip pasar pagi dari pada ruang untuk olah raga. Ia mengelap keringat, dan berdiri sambil membungkuk. Lari sebanyak tujuh kali putaran sudah cukup membuatnya lelah. Rupanya, usia yang tidak lagi muda juga berpengaruh. Menegakkan tubuh, Otis meringis saat lambungnya perih.
"Pak Otis?"
Sapaan seorang gadis membuatnya kaget. Ia menoleh, menatap Ulfa yang berdiri keheranan menatapnya.,
"Kaaan' benar Pak Otis. Kita berjodoh ternyata, ketemu di sini."
Otis tersenyum, pada gadis berpakaian olah raga dengan celana super pendek dan kaos tanpa lengan. Menunjukkan kulitnya yang putih. Ulfa tidak sendiri, ada empat teman lainnya yang kesemuanya menatapnya ingin tahu.
"Ulfa, kamu olah raga di sini juga," sapanya basa-basi.
Ulfa mengangguk riang. "Iya, Pak. Padahal, saat datang kemari, aku hanya pura-pura berdoa, kali aja Pak Otis tersesat dan bisa ketemu di sini. Ternyata, Tuhan yang maha baik mengabulkan doaku." Ia tergelak.
Perkataan Ulfa yang blak-blakan membuat Otis tercengang. Ia belum sempat bereaksi saat gadis itu melanjutkan perkataannya.
"Gaes, kenalin Pak Otis. Orang yang lagi gue taksir. Lo semua nggak boleh naksir dia, dan inget, ye. Doain gue."
"Doin lo apaan?" tanya salah seorang teman Ulfa.
"Gue jadian sama Pak Otis. Kalian semua gue traktir makan."
Otis memegang kepalanya yang mendadak pening saat mendengar sorak sorai para ABG di depannya. Baru kali ini ada seorang gadis yang berani berterus terang kalau sedang suka padanya. Tanpa sadar ia mundur saat Ulfa mendekat.
"Pak, keluar keringat dingin? Kenapa? Sakit?"
Otis mengangguk. "Lambung."
"Ah, pasti telat makan. Ayo, Pak. Mana mobilnya, aku antar."
"Nggak usah, bisa sendiri."
Ulfa adalah gadis keras kepala, tidak peduli kalau Otis menolak bantuannya. I berpamitan pada teman-temannya untuk mengantar Otis. Saat mencapai kendaraan sang pengacara, gadis itu berucap serius.
"Jangan jalan dulu, Pak. Tunggu sebentar."
Otis menyeka keringatnya yang bercucuran, sedikit meringis karena lambungnya makin perih. Saat begini, ia menginginkan kasur untuk berbaring tapi pesan dari Ulfa, membuatnya tetap duduk dan menunggu gadis itu.
"Pak, ini teh hangat."
Ulfa datang dengan nampan kecil yang entah didapat dari mana. "Minum obat maag dulu. Baru makan bubur."
Mobil dipenuhi aroma bubur yang semerbak. Otis menatap gadis itu saat tangannya meraih gelas teh hangat dan meminumnya. "Harus minum obat?"
Ulfa mengangguk. "Harus, Pak. Kalau nggak lambungnya makin perih."
Tanpa banyak bantahan, Otis menuruti saran Ulfa. Minum teh, obat pereda sakit lambung, lalu makan bubur. Sementara ia makan, Ulfa duduk di jok sampingnya. Gadis itu tanpa sungkan memutar radio dan menggoyangkan tubuh.
Otis merasa paginya sangat aneh. Duduk bersama seorang gadis yang mengurusnya tanpa diminta. Ia tidak pernah selemah ini sebelumnya, sampai membutuhkan orang lain. Ulfa dan keceriaannya, sangat sulit untuk ditolak. Diam-diam ia melirik gadis itu dan menyadari kalau Ulfa yang sedang bernyanyi sambil menggoyankan kepala, terlihat sangat imut. Detik itu juga ia memaki dalam hati, dan mengatakan dengan tegas kalau umurnya bukan lagi pas untuk memuji para gadis.
"Berapa semua?" Otis mengeluarkan dompet saat Ulfa merapikan bekas makan dan minumnya. Gadis itu tersenyum, mengedipkan sebelah mata. "Sarapan ini aku yang traktir, Pak. Lain kali, Pak Otis harus traktir aku nonton atau makan malam, daaah. Hati-hati di jalan, Pak Pengacara, Sayang."
Sebelum Otis sempat membantah, Ulfa sudah melesat pergi. Sosok gadis itu menghilang di antara keramaian. Otis menghela napas, menggelengkan kepala karena tidak mengerti saat menghadapi seorang gadis. Namun, satu yang disadarinya adalah, lambungnya tidak lagi perih.
**
Havana bangun kesiangan. Saat membuka mata, ia mengernyit menatap cahaya matahari yang menyelusup masuk melalui celah gorden. Menggeliat, ia merasakan ototnya kaku dan tegang. Pekerjaan yang begitu banyak dan menumpuk, memaksanya untuk tetap duduk hingga berjam-jam dan tanpa sadar membuat tulangnya kaku.
Ia memiringkan tubuh, lamat-lamat mendengar suara tawa bayi disertai musik. Sepertinya Leonard sedang menonton televisi di ruang tengah. Jarak antara kamarnya dan ruang tengah tidak jauh, pamtas saja kalau suara tawa terdengar menembus pintu dan dinding.
Bangkit perlahan, ia menuju gorden dan membukanya. Menyipit karena silau. Pandangan tertuju pada seseorang yang sedang berkutat dengan pot dan bunga. Ia mengerjap dan menyadari kalau itu adalah Dakota. Gadis itu bercelana pendek dengan kaos hitam. Memakai sarung tangan dan mengaduk tanah. Sepertinya sedang mnemindahkan tanaman. Dilihat dari kamarnya, Dakota sangat serius dalam bekerja.
Masuk ke kamar mandi untuk membersihkan diri, Havana memikirkan tentang berapa lama ia akan terbiasa dengan situasi di rumah ini. Misalnya, suara tawa bayi saat pagi, Dakota yang ternyata sangat cerewet saat bersama Leonard, dan mendadak kaku saat bersamanya. Makanan yang tersedia tiga kali sehari, sedangkan dirinya selalu melewatkan sarapan. Benar-benar seperti kehidupan keluarga pada umumnya dan ia sudah lama tidak menikmati ini.
Ia mengganti pakaian dengan celana khaki dan kaos polo cokelat lalu ke taman samping. Berdiri di belakang Dakota.
"Kamu ngapain?"
Gadis itu berjengit kaget dan terjengkang. "Ya ampun. Bisa nggak permisi dulu sebelum menegur? Huh, bikin kaget."
"Aku barusan negur kamu."
"Iya, tanpa aba-aba. Untung jantungku nggak copot."
Havana memperhatikan Dakota yang kembali sibuk dengan tanah kompos dan tanama kecil-kecil. "Bunga apa itu? Kok cuma daun?"
"Oh, bunga kamboja jepang. Belum berbunga memang. Aku lagi pindahin ke pot yang gede. Kamu udah makan siang?"
"Belum."
"Kenapa kesini. Setahuku pelayan sudah menyiapkan makan siang untukmu."
Havana tidak menjawab perkataanb Dakota, mengedarkan pandangan pada sekeliling taman yang dipenuhi bunga. Ada air mancur, dan tidak kolam jernih di sampingnya. "Bunga-bunga di sini. Kamu yang menanam?"
Dakota mengangguk, masih duduk di tempatnya. "Sebagian besar."
"Kenapa nggak cari tukang kebun."
"Hadeuh, hal kecil gini. Lagian, yang nyiram juga bukan aku, tapi pelayan." Dakota menoleh ke kana kiri untuk mencari pupuk dan menemukannya di dekat kaki Havana. "Tolong, dong. Bawain pupuk itu ke sini."
Havana menunduk, menatap seplastik tanah. Ia mengggeleng. "Nggak, ah. Kotor."
"Hei, Tuan Muda Havana. Itu hanya tanah biasa dan ada platiknya! Manja amat, kayak gituan dibilang kotor!"
Havana menatap Dakota lalu dengan enggan mengangkat plastik dan memberikan pada gadis itu. "Lihat, tanganku kotor," ucapnya kesal.
Dakota meraih selang air dan menyalakan kran. "Sini, cuci tangan." Ia mengucurkan air untuk membasuh tangan Havana, menggumamkan sesuatu tentang laki-laki kaya yang tidak pernah menyentuh kotoran.
Havana mengibaskan jari jemarinya yang basah, menatap Dakota. "Terserah apa katamu. Tanah apalagi pupuk, itu sudah pasti kotor."
Dakota mendengkus. "Terserah, deh. Atu raja Tuan Muda. Sekarang, bisa minggir nggak? Aku mau naruh pot."
Havana melangkah di antara tanah yang basah dan mengernyit saat menginjak lumpur yang licin. Tak ayal lagi, tubuhnya goyah dan hampir jatuh ke tanah kalau bukan Dakota yang menyangganya. Namun, tubuh gadis itu terlalu kecil untunya. Tak ayal lagi, keduanya terjatuh bersamaan dengan tubuh Havana menimpa Dakota.
"Aduh, sakit." Dakota mengerang.
Havana berusaha bangkit dan kaget saat mendengar teriakan Dakota.
"Tuan Mudaa! Tanganmu megang apaan?"
Ia menatap tangannya yang entah bagaimana, memegang dada Dakota yang membusung. Reflek ia duduk dan hampir terjengkang sekali lagi. "Ups, nggak sengaja."
Dakota mengibaskan tanah basah di tubuhnya dengan wajah merah padam. Menatap Havan sengit. Laki-laki itu pun sama basah dan kotornya seperti dirinya.
"Seenakanya megang-megang," gumamnya.
Havana mengangkat bahu. "Gimana, ya? Nggak ada rasanya pas dipegang. Mungkin karena terlalu kecil."
"Apaa?"
"Harusnya tercatat dalam judul sinetron, 'Istriku, kecil dari pinggang, badan, dan juga dadanya', hahaha." Suara tawa Havana menembus taman yang sepi, meninggalkan Dakota yang berdiri kaku dengan wajah merona.
**
Dikaryakarsa sudah bab 27
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro