Bab 8b
Jeni duduk di lobi dengan tidak sabar. Ia berkali kali menatap pintu kaca, berharap sosok yang ditunggunya datang. Semenjak Havana meninggalkannya rumah sakit, laki-laki itu menolak panggilannya. Tidak membalas pesan dan apa pun yang ingin dikatakan, tersangkut semua di hati. Padahal, ia sangat berharap bisa bertemu Havana hanya untuk meyakinkan kalau laki-laki itu masih memikirkanya.
Havana mengatakan akan menikah dengan gadis berkacamata itu. Hatinya menolak untuk percaya meskipun terbersit kekuatiran di sana. Ia tahu persis bagaimana sifat Havana, tidak akan mendengarkan orang lain kalau memang menginginkan sesuatu. Tapi, pernikahan adalah hal penting. Ia yakin, Havana tidak akan gegabah.
Lebih dari tiga puluh menit, Havana tidak kunjung muncul. Ia mengecel ponsel dan pesannya juga tidak dibaca. Menelepon pun tidak diangkat. Dengan tidak sabar, ia memanggil asistennya.
"Coba, kamu tanya sama resepsionis. Kemana Havana hari ini. Kalau resepsionis tidak tahu, kamu naik ke kantornya dan cari tahu soal Havana."
Asistennya, seorang perempuan dengan rambut pendek mengangguk. Tanpa banyak kata menuju meja resepsionis. Pandangan Jeni mengikuti langkah sang asisten yang kini menuju lift. Sementara menunggu, ia menggoyang gelas berisi americano. Pikirannya tertuju pada Havana dan Devon. Satu laki-laki pekerja, satu lagi adalah pemudan tampan yang manis dan menyenangkan. Havana memberinya cinta dan perlindungan, tapi Devon memberinya kesenangan. Ia memang egois, tidak ingin kehilangan keduanya. Namun, sangat sadar kalau hubungannya dengan Devon tidak akan bertahan lama karena pemuda itu adalah bintang idola terkenal dan tidak cukup bodoh untuk terjebak dalam cinta sesaat.
"Kak, aku dapat kabar." Sang asisten datang, setengah berlari.
"Kabar apa? Cepat bilang."
Sang asisten meneguk ludah. "Itu, katanya Kak Havana sekarang ada di kantor pusat atau kantor induk. Su-sudah jadi direktur di sana."
"Kantor induk? Apa nama PT-nya? Kenapa aku baru tahu?"
"PT. Teja Jaya Harmoni."
Jeni tercengang, sebagai orang yang berkecimpung di dunia bisnis, ia mengenal PT itu dan tahu persis bagaimana kredibilitasnya. Kenapa Havana bisa menjadi direktur di sana? Sepertinya ada sesuatu yang disembunyikan laki-laki itu dan ia akan mencari tahu.
**
Tidak peduli meski Dakota menolak, Havana mengantarnya ke kampus. Sekalian jalan karena sekarang kantornya berada di perusahaan induk yang satu jalan dengan kampus Dakota.
"Aku takut," gumam Dakota.
"Takut apa?" Havana menoleh, menatapnya.
"Takut kalau terbiasa jadi manja. Diantar itu enak ternyata."
Havana mendengkus, mengulurkan tangan untuk menarik kunciran Dakota dan mendengar gadis itu berteriak kecil.
"Apa-apaan, sih?"
"Kamu ngomong nggak masuk akal. Lagi pula, di rumah ada sopir dan mobil nganggur. Tapi, kamu saja yang nggak mau."
"Enak mobilmu," ucap Dakota mengulum senyum.
Havana menyipit. "Jangan sampai kamu punya pikiran untuk menjadikan aku sopir pribadi."
Kali ini Dakota memutar bola mata. "Mana berani aku? Satu, bayaranmu pasti mahal. Kedua, kamu galak. Emang enak apa, punya sopir lebih galak dari majikan?"
Havana menatap lurus ke depan, mengamati lalu lintas yang sedikit padat. Memikirkan perkataan Dakota. "Menurutmu aku galak?" tanyanya balik.
Dakota mengangguk. "Iya, bukan galak dengan suara keras. Tapi, galak dan tegas. Para pelayan takut sama kamu. Aku pun sama."
Mobil berhenti mendadak, Dakota nyaris membentur dashboard. Untunglah ia memakai sabuk pengaman. Merapikan letak kacamata yang melorot, ia berusaha meredakan jantungnya yang berdetak tak karuan. "Apa kamu marah?" tanyanya takut-takut pada laki-laki di belakang kemudi. "Karena aku bilang kamu galak?"
Havana melirik Dakota. "Buat apa? Barusan ada motor memotong jalan. Lagian, bukan Cuma kamu yang bilang aku galak."
. Mereka tiba di kampus dua puluh menit kemudian. Dakota menolak saat Havana ingin mengantarnya sampai ke dalam.
"Di sini saja, aman. Thanks suami," ucap Dakota sambil tersenyum jahil. Sebelum menutup pintu mobil dan setengah berlari memasuki halaman kampus.
Havana mendengkus kecil, panggilan suamiku terdengar aneh di telinganya. Ia menatap punggung Dakota yang makin menjauh sebelum menjalankan kendaraannya menuju perusahaan. Ponselnya berdering, ia menatap nama di layar dan mengabaikannya. Entah apa yang diinginkan Jeni, dari semalam tidak berhenti berusaha menghubunginya. Untuk sementara, ia berencana mengabaikan gadis itu, karena tidak ingin ada masalah. Sekarang, pikirannya sedang dipenuhi tentang pekerjaan dan akan lebih bagus kalau menjauh dari Jeni.
Tiba di kantor, seorang laki-laki yang merupakan manajer umum datang menghadap. Laki-laki itu mengatakan ada dua perempuan yang cocok untuk menjadi kandidat sekretarisnya.
"Satu bernama Lusia, posisi sekarang adalah kepala staf keuangan. Sedangkan yang lainnya adalah Ferni, posisi sekarang kepala admnistrasi. Keduanya saya rasa cocok untuk menjadi sekretaris Anda, Pak. Sekarang, tinggal Anda yang menentukan.
Saat kedua kandidat itu berdiri di depannya, Havana mengedip bingung. Bukan penampilan mereka yang membuatnya terpukau. Ia sudah banyak melihat perempuan cantik, Jeni bahkan jauh lebih menarik dari mereka tapi cara pandang keduanya dalam pekerjaan adalah pilihan yang sulit. Lusia, perempuan 28 tahu itu lugas dalam menyampaikan gagasan dan ide, dan juga terperinci. Rupanya, kebiasaan dalam mengolah keuangan mempengaruhi pola pikirnya.
Ferni, bisa dikatakan sangat tegas dan mengerti bagaimana harus mengendalikan situasi. Terbiasa menatap para staf membuat perempuan itu punya ide ide yang mengesankan saat diminta merepresentasikan pekerjaan sebagai sekretaris. Havana meminta waktu untuk memilih, dan dibuat bingung oleh keduanya. Ia akan memikirkan masak-masak sebelum mengambil keputusan.
Niko datang ke kantornya saat sore menjelang. Sepupunya itu tersenyum kurang ajar padanya. Ia mengingatkan diri sendiri untuk secepatnya mencari asisten atau sekretaris agar tidak ada lagi yang seenaknya datang ke ruangan tanpa diminta.
"Wow, ternyata ruangan direktur sebesar ini." Niko berdecak, mengedarkan pandangan ke sekeliling. "Luas, bagus, dan dingin. Jauh lebih nyaman dari ruangan staf."
Havana mematikan komputernya, sudah pukul tujuh malam dan berniat pulang. Kedatangan Niko yang tidak diundang membuatnya kesal.
"Mau apa kamu?"
Niko meringis, mengangkat bahu. "Hanya ingin melihatmu. Kebetulan, aku mampir."
"Bukannya kamu ada di kantor papamu."
"Memang, sesekali aku datang. Kalau kamu lupa, aku masih staf di sini."
"Jangan seenaknya masuk ke ruangan orang tanpa ijin."
Teguran Havana membuat Niko berdecak kesal. "Jangan keras begitu, Havana. Kita ini sepupu. Apa kamu lupa kalau kita dulu tumbuh bersama. Kita pernah bermain layangan, adu lari, dan melakukan banyak kegiatan bersama. Kenapa kamu jadi kasar sekarang."
Havana merapikan peralatan kerja, memasukkan ponsel ke dalam tas. "Yang kamu bilang tumbuh bersama, apakah itu perundungan yang terus menerus dilalukan sama kamu dan keluargamu?" Ia menegakkan tubuh, menatap Niko tak berkedip. "Yang aku ingat, saat kedua orang tuaku berpisah adalah ejekan tiada henti dari kalian. Tidak memperdulikan perasaanku dan mengatakan kalau mamaku seorang peselingkuh dan wanita murahan. Itu yang kamu bilang akrab?"
Nika terdiam, menyugar rambut dan berdiri salah tingkah. "Kenapa mengingat masa lalu yang kelam?"
Havana mendekati sepupunya. "Kamu yang membuka luka lama."
"Havana, kita ini bersaudara."
"Hanya saat aku punya harta. Kalian sama sekali tidak menganggapku saat papaku masih hidup."
Niko mengangkat wajah, tidak ingin kalah. "Apa bedanya sama kamu? Toh, kamu juga sama. Datang ke sini atas nama harta!"
Havana memiringkan kepala, menatap Niko tajam. "Ingin tahu bedanya? Aku anak sah dari Darius, pemilik perusahaan ini. Sedangkan kamu hanya keponakan. Jangan mengangguku lain waktu dan ingat, tanpa seijinku, dilarang masuk ke ruangan ini!"
Keduanya saling pandang dengan penuh kebencian. Hubungan yang lebih mendekati seorang musuh dari pada sepupu.
**
Obrolan Hati
Dakota: Aku memanggilmu suami.
Havana: Lalu?
Dakota: Jangan marah.
Havana: Kekanak-kanakan.
Jeni mencari informasi di google tentang pemilik PT. Teja Jaya Harmoni dan terbelalak: Punya dua anak, yang sulung adalah Havana. Apaaa?
**
Di Karyakarsa sudah bab 25
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro