Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 8a

Itu benar, banyak orang yang mengatakan kalau dirinya galak, kaku, dan cenderung sangat tegas. Tapi, ia tidak menduga kalau ternyata Dakota takut dengannya

**

"Bagaimana ini? Kamu lihat bukan? Si bajingan itu berulah."

Seorang perempuan cantik, mendekati dengan langkah gemulai pada laki-laki yang duduk di sofa. "Kenapa, kamu galau?"

"Tentu saja. Kamu jelas tahu karena tindakannya, semua rencanaku bubar!"

"Bubar hanya satu bagian tapi tidak yang lain. Ingat, kamu cukup berkuasa juga di keluarga itu."

Si laki-laki mendesah, menatap pemandangan luar berupa gedung-gedung bertingkat dari tempatnya. Ia memangku jabatan yang cukup mentereng tapi tidak cukup untuk mendapatkan semua yang diinginkan. Bukan jabatan ini yang dimau, melaikan direktur perusahaan induk dan Havana dsudah merebutnya.

"Rasanya seperti bersaing dengan setan," guman si lelaki. Mengalihkan pandangan dan menatap langit-langit ruangan. Wajahnya mnenyiratkan kekesalan dan kekecewaan. "Sekarang, dia malah menikah dengan gadis sialan itu! Aku yakin, mereka hanya bersandiwara demi warisan dan juga, untuk si bayi."

"Bagaimana pendapat keluargamu?" tanya si perempuan.

Helaan napas panjang terdengar, disusul dengan makian panjang. "Semua keluarga dekatku, menahan diri untuk sementara ini. Pernikahan mereka salah satu pukulan berat. Kami harus mengatur strategi lain."

Si perempuan mendekat, tersenyum manis. "Masih banyak jalan, Sayang. Kita akan mencoba sebisa mungkin untuk merebut apa yang menjadi hakmu."

Si laki-laki mengerjap, menatap serius pada perempuan yang mulai membuka kancing atasnya satu per satu. "Banyak jalan?"

"Ehm, aku akan membantumu. Havana itu, laki-laki dan akan mudah diatasi kalau aku bisa sedikit saja dekat dengannya." Perempuan itu mengangkat rok, membuka paha lebar-lebar dan duduk di atas pangkuan si laki-laki. "Aku yakin, akan membantumu dengan cara itu. Sedangkan untuk gadis cupu yang kamu bilang, itu urusan keluarga kalian. Bukankah gadis itu tidak mengerti apa pun? Kenapa tidak menggunakan itu untuk menekannya?

Tangan si laki-laki terulur untuk menyingkap bra dan meremas dada putih di depannya. Ia menyukai perempuan ini, bukan hanya berwajah cantik dan bertubuh indah, tapi juga karena nafsunya yang tinggi. Dari pertama mereka bertemu, tidak terhitung banyaknya kencan diam-diam yang sudah mereka lakukan. Ia menarik tubuh si perempuan dan mengisap putingnya yang menegang. Menikmati sensasi lembut di mulutnya. Desahan dan erangan yang terdengar lirih, membuat gairahnya naik, terlebih setelah mendengar saran yang masuk akal dari perempuan itu. Memang benar, Havana dan Dakota harus ditangani terpisah kalau ingin mengalahkan mereka.

Mengerang nikmat, ia meraba vagina si perempuan yang mulai basah. Ini yang ia suka, sex tanpa hubungan. Saling menikmati dan memuaskan satu sama lain. Tidak ada yang tersakiti kalau hubungan ini suatu saat berakhir. Ia mengangkat tubuh si perempuan dan berdiri dari kursi. Menyeret tubuh ke pintu dan menghimpit perempuan itu di sana. Tangannya bergerak untuk menurukan celana.

"Tu-tunggu, jangan. Ini di kantor," desah si perempuan panik. Terjebak antara gairah dan akal sehat.

Laki-laki itu membalikkan tubuh si perempuan hingga menghadap ke pintu, menempel erat di punggung, dan menekuk pinggangnya. "Kamu yang memancing."

"Ta-tapi, aku hanya ingin ciuman, aaah ...."

Terlambat untuk menolak karena kejantanan si laki-laki sudah menghujam cepat. Napas mereka memburu dan si perempuan hanya bisa menggigit bibir bawah. Terpisah dari pintu, adalah ruang pegawai yang luas. Ada sekitar tiga puluh orang yang sedang bekerja. Mereka memang sudah gila, bersetubuh di kantor dengan resiko setiap saat bisa kepergok.

Sayangnya, gairah dan nafsu binatang mereka sangat mengusai. Meluluhlantakkan mereka dalam panas yang tidak berkesudahan. Suara-suara tubuh menyatu, dengan desahan yang terpendam, membuat ruangan yang semula dingin menjadi membara. Sampai akhirnya, keduanya melemas karena mencapai puncak.

"Kamu nakal," desah si wanita dengan wajah dan tubuh berkeringat. "Bagaimana kalau merekam lihat penampilanku yang cak-acakan?"

Si laki-laki tersenyum. "Sebaiknya kamu mencari cara untuk menghindari kecurigaan. Oh ya, lain kali kalau mau ke sini, sebaiknya kamu tidak memakai celana dalam. Tidak ada gunannya."

"Ih, dasar."

**

Havana pindah ke rumah besar itu, menyimpan barang-barang tepat di samping kamar Dakota. Sebenarnya, mereka bisa saja menempati kamar utama. Tapi, keduanya enggan karena kamar itu penuh kenangan Darius dan Kanita. Ada sesuatu yang menyesakkan di sana, membuat mereka enggan mendekat apalagi menyentuh.

"Aku akan menyuruh tukang, untuk membuat pintu penghubung antar kamar kita," ucap Havana. Ia sibuk memberi perintah pada pelayan yang membawa barang-barangnya.

Dakota mengernyit bingung. "Untuk apa?"

"Jaga-jaga, kalau ada om dan tanteku datang."

Dakota tidak mengatakan apa pun, menatap laki-laki itu menata barang. Tiga hari resmi menjadi suami istri, tidak ada yang berubah dari hubungan keduanya. Havana memperlakukannya masih kaku dan menjaga jarak. Ia pun demikian, masih menganggap laki-laki itu orang lain. Status bukan jembatan penghubungn yang baik untuk mereka. Keduanya sadar, apa yang sebenarnya diinginkan. Bukan sebuah kelurga harmonis, tapi demi menyelamatkan bayi dan warisan.

Para pelayan bersikap lebih tegang dan kaku semenjak Havana pindah. Mereka terlihat takut kalau salah bertindak. Dibandingkan Dakota yang lebih bersahabat, Havana memang kaku dan tegas.

"Kamu nggak mau belajar naik mobil?" tanya Havana.

Dakota menggeleng. "Nggak, ah. Takut."

"Ke kampus bagaimana?"

"Naik ojek."

Gerakan Havana yang sedang merapikan pakaian terhenti, memalingkan wajah menatap Dakota yang sedang menggendong bayi.

"Bukannya jauh? Kenapa nggak pakai sopir?" tanyanya heran.

Dakota menggeleng. "Nggak terlalu. Lagi pula, aku nggak mau kelihatan mencolok. Ke kampus bawa mobil, takut bikin heboh." Pikiran Dakota seketika tertuju pada Santia. Entah apa yang akan dilakukan gadis itu kalau sampai melihat dirinya ke kampus diantar sopir.

"Apa nama kampusmu?"

Dakota menyebutkan sebuah universitas swasta dan alamatnya. "Satu kampus dengan Santia."

Havana mendengkus. "Pantas saja kamu nggak mau bawa sopir." Ia menatap Dakota lekat-lekat dan berucap serius. "Dengar, Dakota. Mulai sekarang, kamu harus lebih tegas dengan mereka. Jangan biarkan mereka semena-mena denganmu. Ingat, kamu bukan lagi seorang pengasuh atau sepupu Kanita, tapi istriku."

Dakota menimang si bayi, menggoyangkan tubuh dan membuai Leonard dalam gendongan. Bingung untuk merespon perkataan Havana. Ia bukannya tidak ada keberanian untuk melawan mereka, hanya berusaha untuk tahu diri.

"Kamu mau aku bagaimana? Kalau mereka datang dan marah."

Havana menghampiri Dakota dalam dua langkah lebar. Tidak memberi kesempatan pada gadis itu untuk berkelit, mengangkat dagunya lembut. "Mau sampai kapan kamu akan lemah dan seenaknya diinjak mereka? Bukankah kamu mau melindungi Leo?"

Dakota menghela napas panjang. "Memang."

"Kalau begitu, lakukan semua bukan hanya demi Leo tapi juga untukmu sendiri. Kamu adalah nyonya rumah ini. Mereka hanya tamu. Jangan biarkan mereka berkuasa di sini."

Dakota menggigit bibir bawah, kembali terbayang tamparan Intan di pipinya dan apa yang sudah dilakukan Santia. Memang menyakitkan tapi setidaknya itu tidak menimpa Leo. Yang dikatakan Havana benar, kalau terjadi lagi, sepertinya ia harus melawan.

"Ba-baiklah, semoga nggak terjadi."

"Aku pun berharap begitu. Ingat, ada masalah apa pun itu, kamu harus jujur padaku. Apa pun masalahnya, aku harus jadi orang pertama yang tahu."

"Aku akan mencoba."

Mereka saling pandang dengan bayi dalam gendongan. Tanpa kata, bertukar pemahaman yang sama. Dakota sama sekali tidak mengharapkan perlindungan dari siapa pun, tapi kata-kata Havana menyejukkan hatinya. Setidaknya, ia tidak sendirian dalam situasi sekarang. Waktu masih panjang, dan ia berjanji dalam hati akan belajar lebih dekat pada Havana.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro