Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 6b

"Kamu sudah ke butik?"

"Sudah, foto gaun pengantin aku kirim nanti sore di ponselmu. Biar kamu bisa sesuaikan."

Havana mengangguk, menatap Dakota yang sibuk menyuapi si bayi. Kedekatan keduanya bukan pura-pura. Si bayi begitu bergantung pada Dakota dan gadis itu pun terlihat sangat tulus dalam merawat. Akan susah untuk memisahkan keduanya.

"Kamu ingin mas kawin apa?"

Dakota mendongak, menatap heran. "Mas kawin? Bukannya ada cincin?"

Havana menggeleng. "Beda, harus menyiapka mahar. Sebutkan saja kamu mau apa?"

Dakota tidak terpikirkan apa pun soal mahar. Ia akan menikah saja sebuah ide yang masih tidak masuk akal menurutnya. Bagaimana mungkin memikirkan soal mahar?

"Nggak kepikiran," gumamnya. "Bagaimana kalau tanya Pak Otis?"

Havana berdecak tak percaya. "Hei, yang akan menikah itu kita. Bukan aku sama pengacara itu?"

"Oh, ya. Maaf. Kalau gitu kamu berikan apa saja, yang sederhana. Toh, hanya pernikahan sandiwara."

Menyandarkan kepala pada sofa, Havana memikirkan tentang mahar yang akan diberikan untuk calon pengantin yang terlihat enggan di depannya. Ia sendiri kebingungan karena tidak pernah menikah sebelumnya. Dulu memang pernah memikirkan untuk menikah dengan Jeni, bersama mantan kekasihnya mereka sudah menyiapkan mobil untuk mahar. Tapi, Dakota tidak bisa menyetir dan bukan jenis gadis yang suka bersosialisasi. Menyerahkan semua masalah padanya, sama saja membuat Havana bingung.

"Tolong jaga Leo sebentar, aku mau ambil minum." Dakota bangkit dari karpet, melewati Havana. Tanpa sengaja ia menginjak salah satu mainan Leonard dan terpeleset. Disertai suara jerita, ia jatuh berdedum di atas sesuatu yang empuk. Saat sadar, bertatapan dengan Havana. Rupanya, ia jatuh di atas tubuh Havana dan itu membuatnya ngeri.

"Dakota, apa kamu berniat membuatku mati tertindih?" tanya Havana.

Dakota menggigit bibir. "Ma-maaf, aku nggak sengaja."

"Dakota, apa yang kamu pegang?"

Dakota buru-buru bangkit dengan wajah merah padam. "Ma-maaf!"

Secepat kilat ia berlari ke dapur, dengan wajah memanas. Tangannya yang baru saja menyentuh sesuatu yang penting, kini terasa kaku. Dengan napas ngos-ngosan, ia memanggil pelayan. Meminta pada pelayan untuk memberikan air pada Leonard dan ia berlari ke kamar. Tidak keluar sampai Havana pergi.

Hari-hari menjelang pernikahan berlalu sangat cepat. Dibantu Ulfa, Dakota mempersiapkan apa yang dia bisa. Selebihnya ditangani oleh Otis dan Havana. Kesibukan di kampus dan merawat Leonard, kini ditambah soal pernikahan membuatnya lelah.

Setelah kejadian di ruang tengah, Dakota tidak pernah bertemu dengan Havana. Mereka berkominukasi melalui ponsel. Saat ia tanya siapa yang akan diundang nanti. Havana mengatakan, hanya keluarga dan sahabat dekat. Itu pun mereka tidak ada yang tahu kalau acara pernikahan. Di undangan tertulis syukuran. Dakota menganggap ide Havana sungguh luar biasa.

"Besok kita akan menikah, sebaiknya kamu jangan keluar rumah."

Pesan Havana di hari menjelang pernikahan mereka. Dakota menuruti tanpa bantahan. Karena tidak ingin ada masalah. Niat menikah bisa jadi sandiwara, tapi tidak dengan prosesinya. Semua harus tetap berjalan dengan benar.

Havana sendiri, sangat sibuk dengan urusan perusahaan. Ditambah menerima gugatan yang tak berhenti dari keluarganya sendiri. Beruntung ia punya Otis yang banyak memberinya nasehat. Di malam menjelang pernikahan, ia yang masih lembur di kantor menerima panggilan di ponsel. Mengernyit saat melihat nama yang tertera di layar. Dalam beberapa minggu ini ia mengabaikan semua panggilan dan pesan dari Jeni, kali ini pun berniat tetap mengabaikan sampai akhirnya panggilan berubah menjadi video. Mau tidak mau ia menerima. Ia membuka layar dan mengernyit saat mendapati Jeni terkapar pucat di atas ranjang.

"Ha-vana, to-tolong akuu!"

Gadis itu terguling, dan merintih. Ponsel jatuh dari tangannya.

"Jenii! Kamu di mana?" Havana berteriak.

Terdengar suara Jeni yang lirih. "Apartemen."

"Aku ke sana sekarang!"

Meninggalkan pekerjaannya, Havana meraih jas, ponsel, dan tas hitam yang tersampir di kursi. Setengah berlari menuju lift. Keluar dari gedung, ia menstarter mobil dan melarikannya menuju apartemen Jeni dengan kecepatan tinggi. Ia memanggil security, meminta bantuan mereka untuk membuka pintu dan mendapati Jeni terbaring lemah di lantai kamar.

Havana meraba dahi, merasakan dingin di kulit. Memanggil ambulan dan membawa gadis itu ke rumah sakit. Menunggu dengan sabar saat Jeni ditangani dokter.

"Kakak ini terkena asam lambung. Terlalu banyak kafein, kurang istirahat, dan makan tidak teratur."

Pernyataan dokter membuat Havana bernapas lega. Setidaknya, Jeni tidak menderita penyakit yang mematikan. Pukul 12 malam, gadis itu dipindah ke ruang rawat dan menolak saat ditinggal sendiri.

"Havana, tolong. Aku takut di rumah sakit sendirian."

Havana menghela napas panjang. "Apa yang kamu takutkan? Ada banyak suster di sini."

Jeni menolak untuk melepaskan tangannya. "Nggak, mereka orang lain. Aku lebih suka kamu yang menemani." Gadis itu mulai terisak dan air mata membasahi pipinya yang putih.

"Jeni ...."

"Nggak mau sendiri, Havana. Aku maunya ditemani."

Tidak tega meninggalkan orang yang sedang sakit sendirian, akhirnya Havana duduk kembali. Ia melepaskan jas dan melemparkannya ke sofa. Meraih tisu dan menghapus air mata di pipi gadis itu. Besok pagi adalah hari pernikahannya dan ia malah duduk di rumah sakit menemani mantan kekasihnya. Havana sungguh ironis dengan diri sendiri.

"Kenapa kamu nggak menelepon keluargamu?"

Jeni cegukan, tetap terlihat cantik meski dalam keadaan pucat dan matanya basah karena menangis. "Mereka lagi di luar negeri."

"Panggil asistenmu."

Lagi-lagi Jeni menggeleng. "Sudah malam, kasihan mereka."

Havana tersenyum samar. Mengusap rambutnya. "Jeni, kamu lucu sekali. Merasa kasihan mereka tapi nggak kasihan sama aku? Ini, aku baru pulang lembur."

Jeni meraih tangan Havana, menolak untuk melepaskannya meski sudah ditepis. Wajahnya menyiratkan kesedihan dan permohonan. "Tolong, aku maunya dekat kamu."

"Jeni, kamu juga bisa minta ditemani pacarmu."

Jeni menggeleng keras. "Nggak ada pacar. Nggak ada orang lain. Aku Cuma maunya sama kamu, Havana. Aku tahu kamu marah, kamu pacaran sama gadis berkacamata itu. Tapi, aku tetap mau sama kamu."

Perkataan Jeni tentang gadis berkacamata membuat Havana teringat Dakota. Menghela napas panjang, ia berujar lembut. "Dakota, namanya. Kami akan menikah."

"Nggak!" sanggah Jeni keras. "Kamu boleh pacaran sama dia. Mau ngapain juga boleh tapi kamu nggak boleh menikah!"

"Jeni, itu kenyataannya."

"Kenyataan apa, hah? Aku jalan dengan laki-laki lain, tapi hatiku tetap buat kamu. Lalu, kamu membalas perbuatanku dengan menikahi gadis lain? Kenyataan apa itu? Nggaaak! Aku nggak mau!" Jeni berteriak dan kembali menangis tak terkendali. Gadis itu bahkan memberontak dan berusaha mencabuti selang infusnya. "Aku mau pulang, lebih baik aku mati!"

"Jeni! Apa apaan kamu!"

"Buat apa aku hidup, kalau kamu nggak mau lagi sama akuu!"

Darah mengucur dari punggung tangan Jeni saat selang tercabut. Havana meraih speaker dan memanggil suster. Akhirnya, mereka memberi Jeni obat penenang agar gadis itu tertidur dan tidak lagi histeris. Setelah Jeni tenang, Havana mengusap rambut dan terduduk di sofa. Kelelahan menguasainya. Ia merawat Jeni justru lebih berat dari pada urusan perusahaan. Dari dulu, gadis itu selalu dramatis. Ia memejam dan merebahkan kepala, tanpa sadar terlelap.

Suara percakapan dan gemerincing alat-alat kesehatan membuat Havana terjaga. Rupanya hari sudah pagi. Ia meriah ponsel dan memaki keras karena ternyata lupa mengsisi daya. Bangkit dari sofa, ia menuju ranjang. Seorang suster sedang memeriksa infus dengan Jeni mulai terjaga. Gadis itu meraih tangannya.

"Sus, jam berapa sekarang?" tanyanya pada suster berseragam merah muda.

"Jam tujuh, Kak."

Havana terkesiap, teringat sesuatu. Jam sembilan ia harus menikah dan jam tujuh masih di rumah sakit. Ia melepaskan tangan Jeni perlahan.

"Jeni, aku harus pergi."

"Havana, jangan pergi."

"Kamu telepon asistenmu. Aku harus pergi."

"Nggak, Havana. Jangan pergi!" teriak Jeni.

Havana meraih barang-barangnya, tanpa menoleh berlari ke pintu. Mengabaikan panggilan Jeni, ia melintasi lorong dengan langkah cepat. Setelah sebelumnya memberi pesan paad suster untuk mengawasi Jeni. Tadi malam ia harusnya berada di hotel, tapi nyatanya malah di rumah sakit. Semoga, ia tidak terlambat untuk mengikuti prosesi pernikahan.

**

Obrolana hati

Jeni: Kamu ninggalin aku, awas aja.

Havana: Mau apa kamu? Nangis?

Jeni: Nggak, bunuh diri!

Havana: Memangnya berani?

Jeni: Beranilah. Apapun aku lakukan buat kamu.

Dakota menatap keduanya dan menggeleng: Drama banget kalian!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro