Bab 6a
Ia menggeliat, berusaha bangkit. Menggunakan satu tangan sebagai telekan dan tanpa sengaja, jemarinya menyentuh sesuatu yang keras di antara selangkangan laki-laki itu.
"Dakota, apa yang kamu pegang?"
***
Havana tidak bertanya soal pemukulan itu, hanya berpesan pada Dakota untuk lebih hati-hati sekarang, Tidak bertemu sembarang orang sampai hari pernikahan tiba. Havana mengamati luka-luka di wajah Dakota dengan serius, mengambil beberapa foto, tidak peduli kalau gadis itu menolak.
"Buat apa foto-foto?"
"Dokumentasi."
"Kamu nggak akan nuntut mereka bukan?"
Havana mengangkat bahu. "Entahlah. Aku ingatkan kamu, Jauhi mereka. Jangan sampai kamu datang ke pernikahan dalam keadaan luka lebam."
"Bagaimana kalau mereka yang datang?"
"Aku sudah memberi perintah pada satpam, nggak ada yang boleh datang kemari tanpa seijinku."
Rasanya seperti sedang dikurung, tapi Dakota menurut. Yang dipikirkannya sekarang bukan hanya dirinya tapi juga Leonard. Sebelum kehilangan Darius dan Kanita, ia terbiasa melakukan semau sendiri. Pergi kemana pun, tidak ada yang harus dikuatirkan. Semua jadi berbeda setelah kini ia mengasuh Leonard.
Havana bertindak cepat untuk menangani semua urusan. Dalam sekejap mata ia sudah berkantor di perusahaan induk. Membagi waktu antara menangani perusahaannya sendiri, dan juga mempelajarai perusahaan papanya. Banyak hal yang tidak ia mengerti, dan membutuhkan bantuan banyak orang untuk itu.
Perkara pernikahan ia juga tidak menunda lama. Setelah memutuskan tangga dan hari, menyuruh Dakota untuk membeli gaun pengantin sendiri. Untuk warna ia akan menyesuaikan.
"Minta Pak Otis mengantarmu ke butik, untuk urusan hidangan, gedung, dan pesta, aku sudah menyewa wedding planner. Biar semuanya mereka yang mengurus."
Bukan pernikahan seperti ini yang ia impikan, tapi Dakota tidak punya pilihan lain. Ia menerima semua pengaturan Otis dan Havana, sama sekali tidak punya pendapat untuk diutarakan. Satu-satunya hal yang ingin ia lukan sendiri adalah memilih gaun pengantin. Otis memberinya alamat dan Dakota datang kesana ditemani oleh Ulfa, sahabatnya.
"Ngapain ke butik, siapa yang mau menikah?" tanya Ulfa saat Dakota menjemputnya. Mereka pergi bertiga dengan bayi dalam gendongan.
"Gue." Dakota menjawab tenang.
Ulfa melongo lalu tertawa terbahak-bahak. "Ah, jangan bercanda. Mana ada menikah dadakan?"
Dakota menatap sahabatnya lekat-lekat. "Gue akan nikah bulan depan, ini serius dan demi bayi dalam gendongan lo."
Singkat, padat, dan jelas, Dakota memberikan penjelasan pada sahabatnya. Awalnya Ulfa hanya melongo tidak percaya, tapi setelah mereka tiba di butik, pikirannya berubah. Melangkah bersamaan memasuki teras butik, Ulfa menghela napas panjang.
"Pernikahan, adalah hal paling penting dan sakral dalam fase hidup kita. Lo, berani ninggalin masa muda, status lo, untuk bayi ini. Dakota, semoga lo nggak nyesel kelak."
"Menyesal atau nggak, urusan belakang. Yang penting Leonard terselamatkan. Orang-orang itu sedang memperebutkannya."
"Anak tampan, kasian dia. Sekecil ini jadi rebutan orang-orang serakah."
Dakota beruntung punya sahabat untuk dibawa ke butik. Ulfa membantunya memilih bahan, model, dan warna. Otis mengatakan ada dua kali berganti warna pakaian, akhirnya mereka memilih warna putih untuk akad dan warna merah muda lembut untuk resepsi. Meskipun tidak menyundang banyak tamu, tetap diadakan pesta. Model gaun tanpa lengan dari bahan tulle pinkish, dengan taburan bunga di sepanjang gaun, dan pita ruffle di bagian pinggang, menambah kesan cantik. Dakota tidak dapat mengalihkan pandangannya dari gaun itu.
"Bagaimana?" tanyanya pada Ulfa.
Ulfa berdecak. "Cantik sekali. Lo pakai itu pasti cocok."
Tidak ingin berlama-lama, dan menunda waktu, mereka memilih daun dan sepatu. Otis yang membayar semuanya, Dakota yakun atas suruha Havana. Sebenarnya, ia punya uang sendiri untuk membayar semua itu. Kanita memberinya tabungan pribadi, dan Otis mengatakan ada jatah bulanan untuknya yang dikirim ke rekening pribadinya setiap awal bulan. Tapi, tagihan gaun yang tidak sedikit membuatnya mau tidak mau menerima bantuan dari Havana.
**
Sebenarnya hari ini tidak ada perayaan penting. Mereka berkumpul untuk berunding tentang satu hal penting, yaitu warisan. Duduk di ruang depan, Hoshi membawa keluarganya ke rumah sang adik. Setelah Havana mulai berkantor di perusahaan induk, mereka merasa sangat tidak puas.
"Kalau bukan karena dukungan si Otis, bocah tengil itu tidak akan pernah berani macam-macam dengan kita," gumam Hoshi, mengisap rokoknya kuat-kuat. "Terlebih, para pegawai di perusahaan, lebuih percaya dengan kinerja kita dari pada Havana!"
Noman mengangguk. "Aku sudah memasang beberapa orang untuk memata-matai tindakanya. Berusaha menjegalnya kalau sedang mempertimbangkan suatu keputusan."
"Lalu? Bagaimana hasilnya?"'
"Belum, Otis mempengaruhi para pemegang saham terlalu kuat."
"Bujang lapuk sialan!"
Otis adalah pengacara berumur empat puluh tahun yang belum menikah. Selama ini selalu diolok-olok sebagai bujang lapuk oleh mereka. Kebencian mereka pada pengacara itu setiap hari semakin menumpuk terutama karena Otis selalu berpihak pada Havana.
"Aku nggak habis pikir bagaimana Darius bisa menyerahkan semuanya pada dua bocah tengil." Dewi, istri Hoshi datang dengan sepiring cemilan. Menatap suami dan adik iparnya. "Darius bahkan tidak mau memperikan jabatan tinggi pada Niko saat anakku ke sana untuk magang. Padahal, bisa saja memperkerjakan sebagai manajera atau apalah, malah menyuruhnya di bagain administrasi rendah. Bikin malu!"
Hoshi menepuk sofa kosong di sebelahnya, berusaha untuk menenangkan istrinya. "Kamu tahu bukan, setelah menikah dengan Kanita, banyak hal berubah."
Dewi mendengkus. "Bukan semenjak menikah, dari mereka pacaran saja perempuan itu sudah berani ikut c-nm m,ampur perusahaan."
"Nah, kamu ingat itu. Pasti semua dipengaruhi Kanita."
"Memang, Darius seperti kerbau dicocok hidungnya setelah bersama Kanita."
"Perempuan sialan!"
"Jangan memaki orang yang sudah mati," tegur Dewi pada suaminya.
Sementara para orang tua berunding sambil memaki, di teras Santia dan Niko menatap garasi dengan tatapan kosong. Sama seperti halnya para orang tua, mereka pun merasakan kegundahan yang sama. Semua karena warisan.
"Kacau, ya?" gumam Niko.
Santai mengangguk. "Parah. Mana pabrik yang dikasih ke bokap gue kecil lagi."
"Samaa, bokap gue juga."
"Tadinya kita pikir perusahaan induk bakalan diatur bersama. Ternyata, si brengsek itu yang dapat."
"Gue juga nggak ngerti alasan Om Darius. Maksud gue gini, emang Havana anak kandung. Tapi mereka udah lama nggak kontakan. Bocah tengil itu lebih suka hidup di luar rumah dan benci banget sama Om Darius. Kenapa masih dikasih warisan?"
Santia menatap Niko dan tiba-tiba, satu ide melintas di benaknya. "Niko, lo punya pacar?"
Niko melirik sepupunya sambil mengangguk. "Ada, kenapa?"
"Maksud gue gini. Lo tahu'kan si cupu itu nggak punya pacar. Coba lo deketin dia."
"Si cupu?"
"Dakotaa!"
Mulut Niko membentuk huruf 'o'tapi, tetap saja tidak mengerti dengan usulan sepupunya. "Kenapa gue harus deketin dia?"
"Ya ampun, lo bego atau gimana? Tentu saja buat rebut rumah itu. Lo deketin, kalau perlu lo kawinin, baru lo tendang!" Santia berucap berapi-api. Kejengkelan terlihat nyata di matanya.
"Tunggu, maksud lo gue pacarin Dakota?"
"Iyee, benar."
"What the fuck! Gile lo. Mau ngacurin hidup gue? Mana bis ague sama cewek cupu gitu?"
Santia menepuk pundak Niko dan tersenyum. "Lo mau nggak dapat warisan rumah besar itu? Lo tampan, pintar ngrayu cewek. Masa lo nggak bisa dapetin si cupu itu? Nggak usah pakai hati."
Niko menggeleng, merasa kalau ide sepupunya sungguh gila. Selama ini ia tidak pernah suka dengan Dakota. Jangankan ingin memacari, melihat wajahnya aja udah enggan. Baginya, gadis berkacamata itu sama sekali tidak menarik. Bagaimana mungkin menjalin hubungan dengannya biar pun pura-pura?
"Sekali lagi, jangan pakai hati. Pikir saja duit."
Sepanjang hari ini, ide yang dilontarkan Santia bercokol di kepala Niko. Sesuatu yang awalnya terlihat gila, lama kelamaan menarik untuknya. Terlebih saat mendengar percakapan kedua orang tuanya mengenai harga rumah yang mencapai ratusan miliar. Ia merasa ide Santia layak dicoba.
***
Di Karyakarsa sudah bab 20
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro