Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 3b

Untuk sesaat Dakota tercengang hingga tak mampu bicara. Menaikkan kacamatanya ia menatap Havana dengan bingung. Apakah laki-laki di depannya sedang mabuk atau kesurupan? Kenapa kata-kata ajaib bisa keluar dari mulutnya?

"Ke-kenapa?" tanyanya setelah berdiam cukup lama.

Havana mengangkat bahu. "Hanya itu jalan satu-satunya untuk meyakinkan hakim kalau kamu adalah orang tua yang tepat untuk mengasuh Leo. Dengan kita menikah, berarti kita dianggap orang tua yang lengkap. Selain itu, aku adalah kakak kandung dari bayi itu. Tentu saja, ini adalah jalan keluar yang sempurna."

Dakota menelan ludah, menatap tajam mata Havana. Ia berusaha mencari tawa atau pun kebohongan dari wajah laki-laki itu. Ia bahkan berharap Havana sedang bercanda. Masalahnya, ia justru melihat sikap yang sangat serius dan itu membuatnya bingung.

"Menikah? Bukankah itu jalan keluar yang aneh?"

Havana mengangguk. "Aku setuju, tapi juga paling bagus untuk mempertahankan Leo. Kalau disuruh memilih, aku pun tidak mau menjalankan sandiwara pernikahan ini."

Dakota menunduk, pikirannya dipenuhi kebingungan. Sama sekali tidak terpikir kalau laki-laki muda yang selama ini selalu bersikap sombong dan arogan akan mengajaknya menikah. Hanya demi seorang bayi, bukankah itu sangat mulia saat didengar di telinganya? Ia curiga, Havana menyimpan niat yang lain.

Bangkit dari kursi, Dakota berdiri kikuk, berniat untuk segera ke kamar. "Bo-bolehkan aku memikirkannya?"

Havana menatap gadis berkacamata yang berdiri di hadapannya dengan tidak percaya. Ia ingin menyelesaikan masalah ini secepatnya tapi Dakota terlalu bertele-tele.

Berani-beraninya gadis itu meminta waktu berpikir untuk menikah dengannya, sedangkan di luar sana banyak perempuan yang rela antri menjadi kekasihnya. Sungguh penolakan dan penghinaan yang tidak dapat diterima oleh egonya.

Ia bangkit berdiri, menatap tanpa senyum pada Dakota. "Kamu terlalu banyak berpikir, Dakota. Seharusnya kamu tahu kalau menikah denganku akan memberimu seribu keuntungan. Bukan hanya itu, aku jamin kamu akan memdapatkan sejuta kemudahan dalam hidup. Yang perlu kamu lakukan hanya menutup mulut dan membiarkan aku menyematkan cincin di jarimu. Kita menikah demi si bayi dan warisan sialan itu!"

Dakota mengangkat kepala, menyadari tingginya hanya sampai bahu Havana. Ia menatap laki-laki muda arogan yang sedari tadi memandang seolah hendak mengulitinya. Bagaimana mungkin Havana kesal karena ia meminta waktu untuk berpikir? Pernikahan adalah hal penting dan sakral. Laki-laki itu bicara begitu enteng tanpa beban, tanpa memikirkan konsekuensinya. Di mana hati nurasi dan perasaannya? Jangan-jangan sudah mati karena harta?

"Ba-bagai mana kalau aku menolak?"

Havana mendengkus, mendekati Dakota. Gadis itu mundur dan ia terus menghimpitnya hingga Dakota terhalang dinding. Ia menghimpit gadis itu, tidak peduli saat melihat tubuhnya menegang. Dengan satu tangan bertelekan pada dinding, ia mengurung Dakota. Tidak membiarkan gadis itu menghindar. Jemarinya yang bebas terulur, mengelus lembut pipi lalu turun ke leher, menyadari wajah Dakota yang merah padam. Ia mendekatkan mulut ke telinga gadis berkacamata dan berbisik.

"Pikirkan tentang bayi itu, yang akan jatuh ke tangan orang yang salah kalau kita tidak menikah. Apa kamu tega membiarkan orang lain mengasuh Leo?"

Dakota memalingkan wajah, merasa kalau pipi, leher, dan telinganya memanas. Sapuan hangat napas Havana di lehernya membuatnya tidak nyaman. Ia mengerti kalau tidak punya pilihan lain, tapi setidaknya harus berusaha.

"Ba-baiklah, kita menikah tapi tanpa sex."

Havana menatap Dakota dengan tercengang lalu tertawa terbahak-bahak. Ia berdecak tak percaya dengan apa yang baru didengarnya.

"Percayalah, Dakota. Kamu sama sekali bukan tipe yang akan aku ajak tidur. Kalau pun terpaksa, kamu adalah orang terakhir di dunia ini yang akan aku ajak bergumul di ranjang dan bercinta sampai berpeluh!"

Dakota mengepalkan tangan di sisi tubuh, ingin bergerak dari kukungan tapi lengan Havana masih berada di sisi kepalanya. Tubuh laki-laki itu berdiri sangat dekat denganya hingga ia bisa mendengar detak jantungnya. Bisa jadi itu hanya imajinasi.

"Kata-katamu kurang ajar," bisiknya.

Havana mengulurkan telunjuk, mengangkat dagu Dakota. Dilihat dari dekat, meski dengan kacamata menutupi wajah, tapi sejujurnya Dakota cukup cantik. Pipi yang tirus, bola mata besar, dan bibir penuh. Sayang sekali, semua kecantikannya tertutup oleh penampilan sederhana dan cenderung membosankan.

"Aku tidak biasa berkata manis, terlebih untuk menyenangkan orang lain. Yang aku katakan adalah kebenaran. Kita menikah, bukan karena cinta tapi demi si bayi. Kalau perlu, kita membuat kontrak. Bagaimana kalau dua tahun?"

"Hanya dua tahun menikah?"

Havana mengangguk. "Benar. Yang terpenting kamu mendapatkan hak asuh itu secara penuh dan aku mengusai perusahaan induk tanpa bantahan. Dengan begitu, kita berdua masing-masing mendapatkan apa yang diinginkan."

Dakota menggigit bibir, menelan ludah. Ia sudah tahu alasan laki-laki itu mengajaknya menikah, tetap saja merasa sangat aneh.

"Aku pikir kamu mencintai adikmu."

Havana mendengkus, menurunkan lengan yang menguruh Dakota dan berbicara keras. "Apa itu cinta, Dakota. Cinta tak lebih dari kata-kata penuh dusta, yang diciptakan orang untuk memanipulasi pasangan mereka. Percayalah, sama sekali tidak ada cinta di hatiku. Tidak untuk orang tuaku, adikku, apalagi kamu. Jadi, kita akan menikah hanya demi kepentingan kita masing-masing. Bagaimana?"

Sepertinya Dakota tidak punya pilihan lain. Ia terjebak dalam intrik sebuah keluarga besar. Ia tidak peduli dengan dirinya tapi si bayi tidak berdosa. Tidak seharusnya menjadi korban dari keserakahan para manusia dewasa.

"Kalau aku ingin menikah, aku ingin janjimu."

"Apa?"

"Tetap memberiku kebebasan menjalani hidupku sendiri. Kita berdua tidak saling mencampuri urusan masing-masing."

Havana mengangguk. "Deal. Itu adalah opsi terbaik. Aku akan bicara dengan Pak Otis tentang rencana kita. Sebaiknya kamu mempersiapkan dirimu, Dakota."

"Persiapan untuk apa?"

"Seremoni pernikahan. Meskipun hanya sekedar pernikahan pura-pura, tapi kamu tidak mau terlihat jelek dalam balutan gaun pengantin bukan?" Havana meraba pinggang Dakota dan tersenyum kurang ajar. "Pinggang yang ramping. Lumayan untuk memakai gaun pengantin."

Dakota mengibaskan lengan Havana dan laki-laki berbalik pergi tanpa berpamitan. Meninggalkan dirinya dalam kebingungan. Benarkah mereka akan menikah? Kegilaan apa yang sebenarnya sedang ia lakukan? Bagaimana ia bisa membuat perjanjian dengan setan?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro