Bab 3a
Dua laki-laki tua, duduk merokok di kursi ruang tamu sebuah kantor. Putung rokok memenuhi asbak dengan udara berbau tembakau yang pekat. Obrolan mereka diselingi dengan minum kopi pahit dari cangkir porselen.
"Aku sudah melayangkan gugatan ke pengadilan, tentang hak asuh bayi itu," ucap Noman pada kakaknya.
Hoshi mengangkat sebelah alis. "Kenapa kamu jadi ikut-ikutan? Harusnya bayi itu bersama kami."
"Kak, istriku pintar merawat bayi."
"Menurutmu anakku jatuh dari langit dan langsung besar?"
Noman menghela napas panjang, melirik saudaranya. Perdebatan mereka soal pengasuhan si nayi, tak lebih demi memiliki rumah besar itu.
"Harusnya Kakak mengalah. Aku yang menggugat bayi dan kamu menggugat perusahaan induk."
Hoshi mendengkus. "Jangan mengajariku. Memangnya aku tidak mengerti apa yang harus aku lakukan? Bocah sialan itu, tidak layak mendapatkan jabatan. Selama ini, dia dan papanya selalu bersitegang. Menganggap kalau papanya orang kejam yang menelantarkan mamanya. Padahal, tidak begitu kenyataannya."
Noman mengangguk, mengisap batang rokok kelima. "Havana, dari kecil suka sekali membuat ulah. Tidak pernah mau diatur. Aku pikir, kita terbebas darinya saat tahu kalau bocah itu mendirikan perusahaan sendiri. Ternyata, kakak kita tercinta belum lupa dengan anak sulungnya."
"Kita tidak bisa menebak apa yang dipikirkan Darius."
"Memang. Selama bertahun-tahun membantunya, kita hanya dijadikan keset. Sialnya, justru untuk mengelap kaki Havana dan si gadis miskin itu."
"Nggak habis pikir dengan keputusan Darius," gumam Hoshi.
"Pasti dipengaruhi istrinya. Bukankah gadis miskin itu sepupu jauh Kanita?"
"Benar juga. Kalau begitu, kita bagi tugas. Aku menggugat soal bayi, kamu tentang perusahaan."
Noman menggeleng. "Nggak, kamu aja yang perusahaan. Bukannya kamu lebih tua dari aku?"
Hingga percakapan keduanya berakhir, tidak ada kesepakatan tentang siapa yang harus menggugat tentang apa. Bahkan dua orang yang mengaku sebagai saudara kandung, tetap saja tidak mau mengalah demi harta.
**
Suasana yang riuh rendah oleh banyaknya mahasiswa, diselingi suara mesin kendaraan baik roda dua maupun empat membuat keadaan sangat bising. Seperti itulah hari-hari di kampus, di mana masa muda dan harapan diletakkan pada satu tempat yang sama. Orang-orang muda datang dengan sejuta asa untuk mendapatkan bukan hanya pengajaran tapi juga pengalaman.
Para dosen sibuk di ruangan mereka. Beberapa sudah pergi ke kelas pagi. Di kantin, para mahasiswa sedang berebut makanan, dengan saling mengangguk satu sama lain. Mereka menikmati hari seolah tidak ada beban di hati, padahal banyak dari mereka adalah anak kos atau perantauan dengan uang yang pas-pasan. Makan pagi di kantin dan tidak jarang bertahan hingga malam tanpa mengkonsumsi apa pun.
Dakota menunduk di atas catatan yang terhampar di atas mejanya. Tidak menaruh minat pada suasana ramai dan bising di kelasnya. Terlalu banyak tugas kuliah yang belum diselesaikan, karena harus merawat bayi yang siang dan malam membutuhkan perhatian. Di depannya ada ponsel yang sedang memperlihatkan CCTV di ruang tengah. Dulu, Kanita yang memasang CCTV itu untuk memantau para pengasuh saat sedang tidak ada di rumah dan ternyata kini berguna untuknya.
"Wew, serius amat lo?"
Seorang gadis berambut coklat mengenyakkan diri di samping Dakota. Menatap jari jemari Dakota yang bergerak lincah mencatat sesuatu dari buku cetak ke buku tulis. Laptop terbuka di samping buku, menampilkan grafik-grafik.
"Dakota, lo baru kerjaian semuanya?"
Dakota mengangguk, mendorong kacamatanya ke atas. "Minggu lalu anak gue lagi rewel. Nggak mau dipegang sama orang lain. Kerjaan terbengkalai."
"Kasihan, Leo. Trus, udah dapet baby sitter baru?"
"Udah, makanya gue bisa masuk kuliah hari ini. Selesai ini harus cabut."'
Ulfa mengusap-usap punggung Dakota dengan lembut. "Temen gue yang cantik, baik hati, jadi janda anak satu di usia muda. Kasihan banget, sekarang nggak bisa kemana-mana."
Dakota mendengkus, mengerling ke arah temannya. "Gue nggak mikir masalah pribadi sekarang. Yang penting Leo sehat, trus kuliah lancar, udah."
Ulfa mengangguk. "Bener, ibu anak satu emang beda pikirannya. Jangan samain kayak gue, perawan lugu ini." Ia menepuk dadanya dengan bangga dan menjerit saat Dakota mencubit pinggangnya. "Eh, Arion masuk kuliah hari ini. Lo nggak mau lihat dia?"
Pikiran Dakota berkelebat pada seorang pemuda tampan, dengan seragam almamater yang selalu dipakainya. Arion adalah mahasiswa kebanggaan dari kampus ini. Pintar, cerdas, dengan pergaulan luas. Banyak gadis menyukainya, tidak terkecuali Dakota.
"Pasti dikerubuti para fansnya," ucap Dakota.
"Memang, tapi lo sama dia bukannya deket? Kalian pernah satu grup dalam perlombaan debat bukan?"
"Hanya sekedar kenal." Dakota menutup buku, mematikan laptop dan menghela napas panjang. Akhirnya, selesai juga pekerjaannya. "Gue cabut dulu, takut bayi gue nangis."
"Eh, lo nggak mau makan siomay dulu? Gue traktir."
"Lain kali, thanks."
Melihat Dakota meninggalkan kursi, Ulfa ikut bergerak dari tempatnya. "Tunggu, gue ikut sekalian ke depan."
Mereka melangkah menyusuri koridor yang ramai. Bercakap-cakap tentang mata kuliah, kegiatan ektrakurikuler, dan dosen muda yang sekarang sedang menjadi idola. Hingga di ujung koridor, berpapasan dengan serombongan mahasiswa lain. Dakota meraih tangan Ulfa dan menepi hingga ke dekat dinding.
Arion, diikuti oleh banyak gadis-gadis yang mengajaknya bicara. Ada salah seorang yang dikenal Dakota, seorang gadis berambut sebahu, Santia. Rupanya, gadis itu juga menyukai Arion. Saat melewatinya, pemuda itu tersenyum dan menghentikan langkah di depannya.
"Hai, Dakota. Apa kabar? Lama nggak ketemu."
Dakota mengangguk kecil. "Hallo, Arion."
"Kamu nggak pernah datang ke klub debat lagi?"
"Maaf, si-sibuk." Dakota berusaha meredakan kegugupan yang tiba-tiba datang karena Arion berdiri di depannya. Pandangannya tanpa sengaja bertemu dengan mata Santia yang memancar tajam seolah ingin mencabiknya. "Aku duluan, daah!" Meraih lengan Ulfa, Dakota bergegas meninggalkan koridor.
"Dakota, aku menunggumu di klub!"
Teriakan Arion terdengar di belakangnya dan Dakota merasa ingin cepat-cepat menghilang. Tidak sanggup kalau harus menghadapi para penggemar Arion yang biasa bersikap posesif, terlebih lagi ada Santia di sana. Sudah cukup ia berurusan dengan gadis itu soal warisan, tidak ingin menambah permusuhan karena cowok.
Ulfa ingin mengantarnya sampai rumah tapi Dakota menolak. Tidak suka merepotkan orang lain. Menaiki ojek online, ia tiba lebih cepat dari pada menggunakan mobil. Langkahnya terhenti di ruang tengah saat melihat sosok Havana. Laki-laki itu berdiri tertegun, menatap Leonard yang sedang tidur di ranjang bayi. Dakota kebingungan, apakah harus menyapa sampai akhirnya Havana menyadari kedatangannya.
"Kamu dari mana?"
Pertanyaan laki-laki muda itu terdengar tajam.
"Kuliah," jawab Dakota pelan.
"Oh, masih kuliah ternyata. Duduklah, aku menunggumu dari tadi. Ada sesuatu yang ingin aku bicarakan."
"Ada apa?"
"Duduklah!"
Tidak suka dengan gaya bicara Havana yang memerintah, Dakota berusaha menahan diri untuk tidak kesal. Menatap si bayi yang tertidur nyenyak, ia menunjuk teras samping. "Bisakah kita bicara di sana?"
Havana menimbang-nimbang sesaat lalu mengangguk. Mereka duduk berseberangan di kursi kayu yang menghadap ke kolam renang. Air kolam kebiruan karena tertimpa cahaya matahari. Seorang pelayan datang menawarkan minuman. Havana menginginkan es kopi dingin, sedangkan Dakota menolak.
"Kamu sudah tahu tentang urusan si bayi?" Havana membuka percakapan.
Dakota menggeleng. "Belum. Ada apakah?"
"Pak Otis tidak menghubungimu?"
Dakota mencoba mengingat sesuatu, tentang panggilan dari pak pengacara yang diterima minggu lalu. "Soal hak asuh?"
"Benar, hak asuh."
"Ah ya, Pak Otis mengatakan ada pihak lain yang menggugat soal hak asuh Leo."
"Lalu? Bagaimana tanggapanmu?"
Dakota menggeleng, "Tidak tahu. Pas itu, Leo sedang rewel jadi aku hanya dengar sekilas saja. Kalau memang mau digugat, aku bisa apa? Paling yang aku lakukan hanya mempertahankan diri."
Havana berdehem, menyesap es kopi yang diantarkan pelayan. "Kalau begitu, kamu harus siap kalah."
Dakota melongo. "Ma-maksudmu?"
"Kamu harus siap kehilangan Leo. Karena hubungan pertalian darah antara si bayi dan om, lebih dekat dari pada kamu."
"Ta-tapi, aku mengasuh dari baru lahir."
"Masalahnya, hubunganmu dengan Leo tidak kuat. Setahuku, kamu sepupu istri papaku bukan?"
Dakota mengangguk. "Benar."
"Hanya sepupu. Bayangkan kalau kamu jadi hakim atau jaksa, mana yang akan dipilih untuk mengasuh Leo. Sepupu jauh yang masih single, atau keluarga dekat yang jelas-jelas sudah berkeluarga?"
Dakota menunduk, semangatnya kembali merosot ke dasar bumi. Sudah beberapa hari kurang tidur karena Leonard. Terus menerus kuatir tentang kondisi bayi itu dan kini cobaan lain datang. Padahal, ia tidak pernah menginginkan rumah ini. Yang diinginkan hanya si bayi bisa tumbuh sehat bersamananya. Orang-orang yang menggugat itu mengira, ia menjaga si bayi demi harta. Padahal, bukan itu. Ia merawat Leonard selain karena sayang juga untuk membalas kebaikan kakak sepupunya, yang sedari dulu selalu menjaganya.
"Aku harus bagaimana?" desah Dakota tanpa sadar.
Havana berdehem, sedikit kurang nyaman saat kembali bicara. "Aku punya solusi untukmu. Dan ini sudah aku bicarakan dengan Pak Otis."
Dakota mengangkat wajah, menatap Havana penuh harap. "Apa?"
"Menikah denganku!"
**
Di Karyakarsa sudah bab 9
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro