Bab 2a
"Satu, terima jabatan di perusahaan. Buat dirimu berkuasa, dengan begitu pengadilan akan melihat kalau Leonard punya kakak yang mampu merawatanya. Setelah itu, jalan kedua harus dilakukan."
***
Havana menatap ruang kantornya dengan pandangan menerawang. Mendengarkan bagaimana pegawainya yang rata-rata adalah anak muda berpotensi, sedang mengeluh tentang kondisi market yang tidak stabil dan juga kurangnya dana. Pihak perusahaan sendiri sudah berusaha menggaet investor tapi tidak kunjung diterima. Mereka kini membicarakan tentang start up saingan yang justru sedang berkembang pesat.
"Produk kita cukup unik dan sedang diminati. Tapi, daya jangkauan kurang luas. Yang membuat kita seperti kehilangan sedikit kendali di sektor ini."
Pemaparan dari manajer pemasaran membuat Havan menghela napas panjang. Setelah meeting selama lima jam, tetap saja soal pendanaan adalah masalah utama. Havana mendirikan perusahaan start up ini berupa olahan ayam, ikan, dan daging. Dikemas secara instan dengan metode memasak menggunakan level kepedesan. Sasaran utama adalah anak anak muda. Sayang sekali, di tahun ketiga agak tersendat karena dana.
Selesai rapat, ia melemaskan pikiran dan otak dengan bersantai di kantornya. Memberikan instruksi khusus agar tidak ada yang menggangunya. Hujan lagi-lagi turun hari ini, mengingatkan akan pemakaman papanya.
"Kalau kamu menerima warisan ini, maka perusahaanmu akan selamat. Yang kamu lakukan hanya satu, menjaga Dakota dan bayi itu."
Perkataan Otis terngiang di kepala. Sudah dua minggu ini dari terakhir kali bertemu di rumah besar itu, Havana belum bertemu dengan pengacara. Ia tidak ada keinginan untuk menelepon, dan terlebih mengatakan akan menerima isi wasiat. Ia tidak akan pernah menelan ludah yang sudah ia muntahkan.
"Sayang, aku menunggumu di kafe. Turunlah sebentar."
Pesan dari kekasihnya membuat Havana menghela napas panjang. Ia sedang tidak ingin doganggu sebenarnya tapi paham sekali bagaimana sifat Jeni. Kekasihnya itu tidak akan suka dibuat menunggu terlebih kalau sampai ia menolak datang. Dengan berat hati ia keluar dari kantor, menggunakan lift untuk turun dan melangkah ke kafe yang ada di lantai dasar.
Havana mengedarkan pandangan di pintu kafe dan menghampiri seorang perempuan berkacamata hitam, duduk di pojokan. Ada dua orang di samping perempuan itu dan keduanya menyingkir dengan cepat saat melihatnya datang.
"Sayang, apa kabarmu? Dua Minggu kita nggak ketemu."
Jeni, seorang pemilik brand skincare terkenal, dan sekaligus selebgram dengan delapan juta pengikut di istagram. Jeni bertubuh tinggi, putih, dan sangat cantik. Jeni bangkit dari kursi, memeluk Havana dan memberikan kecupan singkat di pipi kekasihnya.
"I miss you so much."
Havana tersenyum, duduk di seberang Jeni. Menatap perempuan yang menjadi kekasihnya selama satu tahun ini tanpa berkedip.
"Kenapa mendadak kamu datang kemari? Ada urusan apa?"
Nada perkataan Havana yang tajam membuat Jeni mengernyit. "Kamu masih marah sama aku? Soal itu sudah lama berlalu."
Havana mengangkat sebelah alis. "Masalah yang mana? Bisa diperjelas?"
"Havana, Sayang. Itu hal kecil."
"Hah, kamu jalan dengan laki-laki lain ke luar negeri dan bilang kalau itu masalah kecil?"
"Kami urusan pekerjaan."
"Hanya berdua? Biasanya kamu ke mana mana bawa asisten, Jeni. Kenapa saat itu hanya berdua dan menginap dua malam. Tolonglah, siapa yang ingin kamu bohongi."
Jeni menggigit bibir bawah, menghela napas frustrasi. Sebulan berlalu dari terakhir kali mereka bertemu, ia kira Havan sudah melupakan masalah itu. Ternyata dugaannya salah. Laki-laki itu masih mengingat dengan jelas dan sepertinya tidak akan lupa begitu saja.
"Aku datang sebenarnya untuk mengucapkan berduka cita. Baru dengar soal papamu. Maaf, nggak bisa datang waktu itu karena—"
Havana mengangkat tangan. Memberi tanda pada Jeni untuk berhenti bicara. "Kita sudahi semuanya. Pembicaraan ini dan juga hubungan kita."
"Tidaaak! Aku nggak mau. Aku sayang sama kamu, Havana."
"Rasa sayangmu murah, Jeni. Tergoda pada laki-laki yang jauh lebih tampan dan bintang film terkenal. Sudahlah, tidak perlu diperpanjang lagi."
Havana bangkit dari tempat duduknya, Jeni bergerak cepat untuk memegang lengannya dan berbisik lembut. "Dengar, Sayang. Beri aku kesempatan untuk menjelaskan. Beri aku kesempatan untuk membuktikan soal hatiku. Semua cintaku hanya untukmu. Tidak ada orang lain."
Havana melepaskan pegangan Jeni di lengannya. Mengusap lembut pipi perempuan itu dengan telunjuk lalu balas berbisik. "Kamu cantik, sayangnya berbisa. Jangan lagi menemuiku, Jeni."
"Havana! Tunggu, kita belum selesai bicara. Havana!"
Tidak lagi mengindahkan panggilan Jeni, Havana melangkah cepat meninggalkan kafe. Pikirannya sedang ruwet karena masalah perusahaan dan konflik keluarga. Kedatangan Jeni makin membuatnya kesal. Lebih baik untuk sementara waktu ia menolak bertemu dengan orang-orang yang berpotensi membuat moodnya rusak.
**
"Nona, bagaimana dengan pakaian milik tuan dan nyonya?"
"Letakkan saja di lemari, jangan diotak-atik. Cukup bersihkan kamarnya sehari sekali lalu tutup dan kunci. Tidak boleh ada yang masuk sembarangan."
Dakota memberi perintah-perintah pada pelayan. Mereka melakukan pembersihan rumah secara menyeluruh, mengganti gorden, dan juga merapikan barang-barang milik almarhum. Sang bayi sedang diajak main oleh seorang pengasuh di ruang tengah, memberinya keleluasaan untuk bekerja.
Dua Minggu berlalu, kematian Darius dan Kanita meninggalkan lubang kecil dalam hati Dakota. Ia masih sering menangis saat teringat mereka, terutama kala sang bayi sedang rewel. Hanya dirinya yang mampu menenangkan si bayi.
"Wah-wah, ada apa ini?"
Seorang wanita dan anak perempuannya masuk tanpa permisi. Keduanya menatap Dakota yang sedang mengamati pelayan bekerja di ruang tamu.
"Apa kabar Tante, Santia," sapa Dakota ramah. "Silakan duduk."
Intan, menatap Dakota sambil tersenyum, lalu mengalihkan pandangan pada anak perempuannya. "Santia, lihat bukan? Setelah kematian kakak iparku, dia makin bertingkah seolah nyonya rumah."
Santia mendengkus, tangan bersedekap. "Tentu saja, Mama. Kapan lagi gadis miskin sepertinya bisa tinggal di rumah besar ini."
Intan maju, mengamati Dakota yang memakai gaun rumah sederhana dengan warna yang memudar. Kacamata yang dipakai gadis itu makin menambah kesan lugu.
"Aku mau tanya padamu, Dakota. Sihir apa yang kamu berikan pada kakak iparku dan istrinya, sampai mereka memberimu rumah besar ini, hah?"
"Tante, saya rasa kalian salah menduga," ucap Dakota.
"Tantee? Jangan panggil aku tante tapi nyonya. Sudah selayaknya kalau pembantu dan pengasuh anak sepertimu harus menghormati orang sepertiku!"
Dakota menghela napas panjang, merasa kalau kedatangan kedua orang ini memang untuk menyusahkannya. Sebenarnya, ia tidak pernah akrab dengan mereka. Tidak pernah mengobrol sebelumnya. Hanya menatap dari jauh saat keduanya datang ke rumah ini. Saat itu mereka terlihat cukup ramah, meskipun tetap saja ada penghinaan yang terpancar dari bola mata ibu dan anak itu.
"Maaf, tapi saya tetap merasa kalian salah menduga. Tidak ada yang menyihir siapa pun. Saya di rumah ini kerja merawat Leo."
"Halah, siapa yang mau lo bohongi? Semua tahu lo sengaja deket-dekat sama tuh bayi, bisa dapat warisan orang tuanya!" celetuk Santia.
Dakota menatap jengkel pada gadis seusianya yang menatap sangar ke arahnya. Tidak ada orang yang pernah suka dengan kematian orang lain, terlebih Kanita adalah saudara satu-satunya. Siapa yang bisa menduga jalannya takdir?
"Ucapanmu seolah kamu sudah mengetahui rencana Tuhan," desah Dakota. "Tidak ada yang tahu bagaimana takdir Tuhan bekerja bukan?"
Santia mengangguk. "Memang benar. Tapi kematian juga bisa dibuat oleh manusia." Melihat Dakota mengernyit bingung, ia berbisik lirih. "Jangan-jangan kecelakaan itu sebuah konspirasi dan ada orang yang terlibat di dalamnya."
Dakota menahan napas, menatap bergantian ibu dan anak di depannya. Tidak habis pikir bagaimana mereka bisa begitu curiga dengannya. Apa yang bisa ia lakukan untuk mencelakankan orang lain?
Intan maju, menepuk pundak Dakota. "Kenapa diam? Apa yang dikatakan anakku benar? Kamu terlibat? Dengan siapa? Apa karena harta? Kamu gadis miskin, ingin pastinya menikah dengan laki-laki kaya seperti sepupumu. Lalu gelap mata. Benar begitu?"
Mengepalkan tangan di kedua sisi tubuh, Dakota menahan rasa sedih yang menggayut di dada. Salahnya apa sampai harus dihina dan dicurigai? Suara tangisan bayi menyadarkannya. Tanpa aba-aba ia membalikkan tubuh, setengah berlari menuju ruang tengah.
"Ada apa?" tanyanya sambil berjongkok, mengangkat Leonard yang menangis.
"Nggak tahu, tiba-tiba saja nangis."
"Terbentur sesuatu?"
"Nggak ada, Nona."
Dakota menggendong Leonard dan menepuk punggungnya perlahan. "Ada apa, Sayang? Haus atau ngantuk?"
Santia berdiri berdampingan dengan mamanya di pintu ruang tengah. Pandangan mereka tertuju pada Dakota yang sibuk menenangkan bayi. Secara perlahan, bayi yang semula menangis kini diam dan sepertinya mulai tertidur.
"Ma, kunci untuk mendapatkan rumah ini dan isinya ada bayi itu," bisik Santia.
Santia mengernyit. "Sebenarnya, kalau kita mau berusaha ada satu jalan keluar, Ma."
"Jalan keluar bagaimana?" Intan menatap anaknya.
"Mudah,gugat di pengadilan tentang hak asuh anak itu. Mama adalah tantenya, Papaadalah om. Yang secara silsilah justru lebih dekat karena satu darah. Gadis itubukan siapa
**
Di Karyakarsa sudah bab 4
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro