Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 1a

Deru hujan terdengar dari luar rumah. Angin menampar nampar air, menghantam dinding batu dan jendela kaca, menimbulkan bunyi derak yang mengerikan. Pohon bergoyang, dengan beberapa ranting patah, tidak kuasa menahan derasnya hujan. Suasana di luar rumah yang penuh keributan, sangat kontras dengan bagian dalam di mana orang-orang berpakaian hitam duduk sambil menekuk kepala.

Sekilas, pemandangan itu terlihat seolah kesedihan sedang mencengkeram orang-orang itu. Wajah mereka yang sendu, desah napas tertahan, isak tangis perlahan, semua menggambarkan rasa kehilangan yang dalam. Tapi, tidak begitu bagi Havana.

Ia bisa melihat kalau orang-orang itu sedang bersandiwara. Sama sekali tidak ada kesedihan yang benar-benar murni ditujukan bagi pasangan yang baru saja dikubur. Orang-orang itu berpura-pura menangis sementara tangan mereka menengadah di bawah meja, mengharapkan sesuatu yang akan jatuh mereka. Bisikan pelan mereka embuskan ke telinga para pengacar dan berharap, nama mereka tertulis di dalam dokumen tebal yang ada di atas meja kaca.

"Orang-orang munafik sialan!" desah Havana putus asa. Merasa kesal karena terjebak dalam situasi yang membuatnya harus duduk bersama orang-orang yang tidak menyukainya.

Terdengar rengekan dari mulut seorang bayi. Havana menatap dari ujung matanya, seorang gadis berkacamata dengan rambut dikuncir, sedang menenangkan seorang bayi. Suara gadis itu penuh kesabaran dan penghiburan. Menepuk lembut punggung si bayi dan sepertinya sedang membisikkan kata-kata penghiburan. Gadis itu tanpa sengaja meliriknya. Mata mereka bertemu dan gadis itu dengan cepat memalingkan wajah, masuk ke dalam kamar tanpa kata-kata.

Pengacara berjas hitam berdehem, serta merta isak tangis terhenti. Semua orang mengangkat wajah dan menatapnya.

"Mari, kita mulai membacakan wasiat dari almarhum dan almarhumah."

Havana memperhatikan bagaimana semua orang tiba-tiba duduk tegak dengan wajah penuh harap. Mereka tidak lagi menyembunyikan rasa penasaran di balik sendu yang palsu. Bibir mencebik, isak tangis dan tenggorokan tercekat, tersingkirkan segera dan berganti raut wajah berseri-seri. Hilang sudah kesan sendu dan sedih yang baru saja menyelimuti ruang tengah tempat mereka berkumpul.

Sang pengacara memanggil pelayan. "Bisa minta tolong panggilkan Dakota?"

Saat pelayan melangkah masuk terdengar decakan keras.

"Kenapa harus ada gadis itu? Dia bukan bagian dari keluarga kita?" Yang bicara adalah gadis berusia 22 tahun, seusia dengan Dakota. Raut wajahnya menyiratkan kekesalan. Bernama Santia dengan rambut hitam panjang sebatas bahu. Wajah Santia menyiratkan keangkuhan yang nyata.

"Yang dikatakan sepupuku ada benarnya, kenapa harus memanggil Dakota?" Kali ini, laki-laki muda seusia Havana, menyela keras. Laki-laki menatap Santia dan keduanya bertukar pandang dalam pemahaman yang sama. Havana memanggilnya Niko, meskipun tidak akrab satu sama lain, tapi mereka adalah sepupu. Dan itu fakta yang menjengkelkan.

Pengacara terlihat tenang dan tidak terpengaruh dengan protes mereka. Tersenyum, mengambil tumpukan dokumen.

"Kita akan menunggu Dakota datang."

"Gadis aneh itu. Mulai kapan jadi begitu pentinh?"

"Bukankah dia hanya seorang pengasuh?"

"Kenapa baby sitter ikut serta dalam pembacaan wasiat?"

Gumaman dan decak ketidak puasan memenuhi ruangan. Havana memperhatikan orang-orang itu sangat terganggu dengan kehadiran gadis bernama Dakota. Ia sendiri cenderung tidak peduli. Bisa bebas dari ruangan ini lebih cepat, akan lebih baik untuknya.

"Pak Pengacara." Dakota menyapa kikuk, di bawah tatapan orang-orang di ruangan. "Ada yang bisa saya bantu?"

Pengacara mengangguk. "Ayo, ambil kursi dan duduk nyaman, Dakota. Kita akan segera membacakan wasiat."

"Tapi, bukankah mereka baru meninggal?" sanggah Dakota bingung. "Harusnya menunggu sampai tujuh hari atau sebulan setelah kematian bukan?"

"Eh, gadis miskin. Duduk aja udah lo, nggak usah banyak cincong. Lo cuma pengasuh di sini. Bukan siapa-siapa!" Santia menyela keras dan terdiam saat sang mama memberinya tatapan peringatan.

Dakota melirik Santia lalu mengangguk. "Pak, yang dia bilang benar. Saya hanya pengasuh, nggak seharusnya ada di sini."

Havana mendengkus, mengetuk meja kaca dengan jari jemarinya. "Kalian semua berisik sekali!" Ia menunjuk Santia dan memberi tanda jemari mengatupkan bibir. "Kamu, diam!"

Santia melotot, Havana tidak peduli. "Dakota, kamu duduk dan jangan banyak cincong. Biar masalah ini cepat selesai!"

Dakota menatap laki-laki muda di sampingnya. Tidak suka mendengarnya memberi perintah tapi mengakui kalau apa yang dia bicarakan benar. Dari pada menunda terlalu lama, lebih baik duduk dan mendengarkan saja pengacara bicara apa.

Menatap salah satu sofa yang kosong, tepat di sampung Havana, ia mengenyakkan diri. Merapikan letak kacamata dan berharap bayinya tidak bangun sekarang ini.

"Semua sudah di sini. Bisa kita mulai?" tanya pengacara pada dua laki-laki tua yang duduk berdampingan dengan istri-istri mereka. Kedua mengangguk bersamaan.

Pengacara berdehem, mengedarkan pandangan. "Di tangan saya ada surat wasiat dari almarhum Pak Darius Wasesa dan istrinya Bu Kanita Wasesa. Seperti kalian ketahui, mereka meninggal karena kecelakaan mobil dan meninggalkan seorang bayi, bernama Leonard yang saat ini baru berumur 10 bulan."

Havana menyilangkan kaki, mulai dilanda kebosanan karena sang pengacara yang dianggapnya sangat bertele-tele. Di sampingnya, Dakota terus menerus melirik ke arah kamar. Gadis itu sepertinya tidak ingin terlalu lama meninggalkan si bayi.

"Sudah diputuskan kalau perusahaan plastik akan diserahkan pada Pak Hoshi untuk dikelola, dan pabrik sepatu untuk Pak Noman. Keduanya dianggap sanggup dann mumpuni untuk menjadi penerus perusahaan."

Kedua laki-laki yang duduk bersebelahan, saling bertukar pandang penuh kepuasaan. Pabrik plastik dan sepatu yang diserahkan pada mereka cukup bagus dan sedang berkembang pesat. Banyak memberkan keuntungan beberapa tahun belakangan.

"Bagaimana dengan perusahaan induk?" tanya Hoshi. Laki-laki dengan janggut panjang dan wajah kurus itu bertanya pada pengacara. Perusahaan induk almarhum Darius, membawahi lebih dari 10 perusahaan termasuk pabrik sepatu dan plastik.

Pengacar berdehem lalu tersenyum. "Sabar, Pak. Kita belum sampai ke sana. Selanjutnya tentang rumah ini, diserahkan pengelolaan pada Dakota—"

"Apa? Dia hanya pelayan!"

"Bagaimana mungkin mewarisi rumah ini!"

Beragam protes berdatangan dari para perempuan yang ada di ruangan, mereka menatap Dakota dengan sengit.

Pengacara mengangkat tangan. "Saya belum selesai bicara. Ada catatan, kalau Dakota harus mengasuh Leonard dengan benar untuk mendapatkan rumah ini."

Santia menggebrak meja. "Apa susahnya merawat bayi. Semua orang bisa melakukan? Leo adalah sepupuku. Serahkan saja pada aku dan mamaku. Semua beres."

"Benar itu!" dukung Noman, papa dari Santia. "Apa yang dikatakan anakku itu benar. Berikan pengasuhan bayi itu pada kami dan kami pasti bisa merawat dengan baik."

Hoshi berdehem. "Adikku, pabrik sepatu saat ini sedang sangat berkembang. Kamu akan kesulitan kalau harus merawat satu bayi. Biarkan saja, istriku yang merawatnya."

Di samping Hoshi, perempuan bermake up tebal dengan kerudung hitam mengangguk antusias.

"Nggak usah sungkan, Kak. Biar saja, kami yang merawat," tolak Noman.

Havana mengepalkan, ingin rasanya bangkit dari sofa dan membungkam mulut mereka dengan satu pukulan keras. Ia yakin, dengan begitu akan membuat mereka semua tutup mulut dan berhenti berdebat.

Dakota menghela napas panjang, memijat pelipis. Ia terjebak di antara orang-orang yang sedang berebut harta. Ia tidak pernah mau rumah ini. Yang diinginkan hanya merawat Leonard dengan baik. Bayi itu bisa tumbuh sehat dan tidak kekurangan apa pun. Hanya itu impiannya. Siapa yang peduli soal rumah dan perusahaan?

"Tidak bisaa! Terserah apa yang kalian ingin katakan dan lakukan tapi di surat wasiat tertera begitu. Sekarang, kita beralih ke perusahaan induk." Teriakan pengacara menghentikan perdebatan tentang perebutan bayi.

Semua orang berhenti bicara dan kini fokus menatapnya. Sang pengacara berdehem, menatap Havana yang sedari tadi terdiam.

"Perusahaan induk, diserahkan pada ... Havana, dengan catatan—"

"Nggak mungkin! Bagaimana bisa bocah sialan itu mewarisi semua!"

"Hei, pengacara. Kami yang bekerja keras bersama kakak kami. Kenapa malah dia yang mendapatkan warisan!"

Sekali lagi perdebatan dimulai. Kali ini tentang Havana yang menerima warisan dari papanya. Sedangkan mereka semua tahu kalau hubungan antara Havana dan Darius, tidak pernah akur. Ayah dan anak itu bahkan tidak tinggal bersama selama bertahun-tahun. Bagaimana mungkin sekarang mendapatkan warisan?

"Pak Hoshi, Pak Noman. Harap bersabar. Perkara wasiat dan warisan sudah ditentukan. Kami selaku pengacara hanya bertindak sebagai perantara."

"Otis! Ingat kedudukanmu!" Noman menggebrak meja, menunjuk pengacara. "Jangan-jangan kamu bersekongkol dengan bocah tengil ini!"

Otis menyeka keringat, menatap orang-orang yang marah dan seolah ingin menelannya. Tersenyum simpul, ia berdehem. "Pak, tolong dijaga bicaranya. Kalau melampaui batas, Anda berarti meragukan integritas profesi kami."

"Halah! Pengacara bayaran!"

Perdebatan dan caci maki sekarang mengarah ke Otis selalu pengacara. Dakota berdecak tidak sabar, akhirnya bangkit dan melangkah ke kamar. Dari sudut matanya, ia melihat Havana bersandar pada kursi dengan mata terpejam. Pemuda itu seolah sedang bosan karena harus mendengar berbagai rengekan dari orang-orang yang sedang berebut warisan.

**

Di Karyakarsa sudah tersedia bab 1 dan 2 yang digabungkan.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro