Bab 15a
Kalau dipikir lagi, dirinya memang sudah gila. Rela menghabiskan waktu menunggu seorang gadis pulang berkencan, dari pada main billiard, minum alkhol, dan banyak melakukan kesenangan yang lain.
***
"Wow, Dakota. Ini rumahmu?" seru Arion dengan nada penuh kekaguman. Turun dari mobil dan menatap takjub pada rumah besar serta megah di hadapannya.
Dakota tersenyum. "Hai, ini bukan rumahku tapi rumah kakak sepupu."
"Tapi, kamu tinggal di sini bukan?"
"Memang, aku pengasuh anaknya."
Arion menatap Dakota dengan pandangan lembut. "Ulfa sudah cerita sebagian padaku. Kamu hebat."
Kali ini Dakota menggeleng malu-malu. "Aku nggak hebat sama sekali."
Di dekat pintu, wajah Havana makin lama makin tidak sedang dipandang. Ia menatap Arion dengan pandangan bertanya-tanya. Siapa pemuda itu, dan kenapa bisa datang ke rumah ini? Melihat dari sikap malu-malu Dakota, sepertinya mereka ada hubungan spesial. Memikirkan tentang hal itu, entah kenapa dada Havana bergemuruh dengan rasa ketidaksukaan.
Ia mendekati mereka dan berdehem. "Dakota, siapa dia?"
Dakota berdiri kikuk. "Arion, teman kampus. Kami sudah janji mau jalan-jalan. Aku bawa Leonard. Tenang saja."
Arion mengangguk kecil. "Hallo," sapanya dengan sopan.
Havana tidak membalas sapaannya, melainkan tetap menatap Dakota. "Malam Minggu biasanya semua tempat ramai. Apa nggak bahaya untuk Leo?"
"Nggak kok, tenang saja," sela Arion cepat. "Kafe yang akan kami datangi, milik temanku dan mereka menyediakan tempat khusus untuk kami. Aku jamin, Leo pasti nyaman."
Dakota mengiyakan perkataan Arion. "Nggak usah kuatir, Kak. Aku jamin, Leo akan tetap nyaman dan terlindungi."
Arion menatap Dakota dan Havana yang mematung bergantian. "Kak? Jadi dia kakakmu? Kenapa nggak bilang dari tadi?" Tanpa malu, Arion meraih tangan Havana dan menjabatnya. "Apa kabar, Kak. Maaf, kalau kurang sopan. Aku akan menjaga Dakota dan Leo dengan baik."
Dakota tertawa lirih, terutama saat melihat wajah Havana yang menggelap. "Tunggu, aku gendong Leo dulu."
Havana menatap punggung Dakota yang menghilang ke dalam rumah, lalu berpaling pada Arion. "Kalian teman satu angkatan?"
Arion mengangguk. "Benar, dan juga sama sama ada di kelompok debat. Adikmu itu, cewek pintar denga nisi kepala yang menakjubkan."
Pujian Arion membuat Havana mendengkus tanpa sadar. "Kamu menyukainya?"
Arion mengangkat bahu. "Entahlah, tapi yang pasti aku suka dekat dengan Dakota. Kalau suatu saat ternyata perasaanku menjadi cinta, aku akan mengungkapkannya." Ia menatap Havana lekat-lekat. "Tapi, Kakak nggak usah kuatir. Aku pasti akan menjaga Dakota, entah bagaimana hubungan kami."
"Siapa yang kamu panggil kakak, hah?" gumam Havana sebal.
"Apa, Kak?" tanya Arion.
Havana tidak sempat membalas perkataan Arion saat Dakota datang sambil menggendong Leonard.
"Kami dataang! Ayo, kita jalan!"
Seorang pelayan membawa kereta dorong. Arion mengambil, melipat, dan meletakkannya di bagasi. Dakota, dengan dalih untuk keselamatan Leonard, memilih untuk duduk di jok belakang. Awalnya, Arion keberatan tapi mendengar Dakota memohon, mau tidak mau ia setuju.
"Biar nanti Ulfa yang di depan," ujar Dakota.
Mereka berpamitan pada Havana yang berdiri di teras. Arion melajukan kendaraan menuju tempat Ulfa menunggu. Baru kali ini Arion merasa bahagia, pergi berkencan dengan seorang gadis dengan membawa bayi. Tidak masalah kalau mereka hanya makan atau sekadar mengobrol, yang terpenting, adalah bersama Dakota.
**
Havana memasuki klub dengan wajah muram. Kebersamaan Dakota dan Arion membuat perasaannya tidak menentu. Ia memang pernah mengatakan pada gadis itu, bebas untuk berkencan dengan siapa saja, asalkan dikenalkan padanya. Nyatanya, hanya mulut yang bicara sedangkan hatinya berkata lain.
Mengenyakkan diri di kursi bundar tinggi, ia melambaikan tangan membalas sapaan teman-temannya. Mereka memesan bir dan minuman bersoda, lalu mulai melakukan permaian billiard. Havana meneguk bir, sebelum mengambil stik.
Saat menunggu gilirannya, pikiran Havana kembali tertuju pada Dakota. Rasa bibir gadis itu masih membekas di bibirnya. Bagaimana tubuhnya yang lembut dengan desahan yang feminin sangat menggoda. Anehnya, Dakota seperti tidak tergerak dan justru mendekati laki-laki lain. Havana tidak mengerti dengan jalan pikiran gadis itu.
"Havana, akhirnya bisa ketemu kamu lagi."
Ivona menyapa riang. Perempuan itu memakai rok jin mini, dengan atas kaos ketat tanpa lengan warna putih. Tubuhnya yang sexy dan putih, mengundang banyak mata laki-laki untuk melihat. Ivona mengabaikan mereka, saat ini fokusnya tertuju hanya pada Havana seorang.
Havana mengangkat tubuh dari atas meja billiard, tersenyum ramah. "Ivona, malam Minggu kamu malah di sini."
"Iya, dong. Mau ngumpul sama kalian, terutama ketemu kamu."
Ivona mengenyakkan diri di bangku tinggi yang semula diduduki Havana. Ia memesan cocktail tanpa alkohol dan sepiring kentang goreng. Sebenarnya, ia tidak suka makanan yang berminyak. Diet ketat dan menjaga berat badan sudah menjadi kewajiban, tapi malam ini ingin menyenangkan diri sendiri.
"Nggak ada acara?"
Havana yang sedang beristirahat, menghampiri Ivona. Meraih botol birnya dan meneguk perlahan. Ia mengambil beberapa biji kentang goreng yang ditawarkan padanya.
Ivona meletakkan piring di meja. "Ada yang ajak ke pesta, tapi aku nggak mau."
"Kenapa?"
"Nggak mood aja. Beda circle."
Havana menyandarkan tubuhnya ke meja, meraih rokok dan menyulutnya. "Pergaulan jaman sekarang, harus satu circle baru nyambung. Aku, yang setiap hari hanya tahu soal pekerjaan, sama sekali tidak mengerti soal circle-circle ini."
Ivona mengangkat bahu, menyibakkan rambutnya ke belakang. "Nggak masalah, kalau nggak paham circle pergaulan. Yang terpenting adalah, pekerjaan. Kamu hebat sudah memimpin perusahaan besar di usia muda."
Havana terdiam, mendengar pujian Ivona. Ia menduga, perempuan itu sudah tahu posisi barunya di perusahaan sang papa. Pasti teman-temannya yang lain, yang memberitahu. Sebenarnya, itu bukan masalah untuknya, hanya saja ia enggan membicarakan soal pekerjaan dengan banyak orang, terutama yang tidak ada hubungan akrab dengannya.
"Havana, apa kita bisa main bersama? Maksudku, pergi menonton dan makan mungkin. Kalau kamu ada waktu."
Permintaan yang diucapkan dengan malu-malu oleh Ivona, membuat Havana terdiam. Ia tidak tahu, apa maksud dari perempuan itu mengajaknya, apakah sekedar makan malam atau ada hal lain.
"Ivona, aku nggak janji."
Ivona menggeleng. "Nggak, kamu harus janji. Aku maksa. Hanya makan biasa, itung-itung sebagai balasan atas perbuatanmu dulu sama aku. Ingat, kamu sudah bikin aku patah hati waktu SMU."
Havana tersenyum kali ini. "Benarkah? Setahuku, kita putus dengan kesepakatan bersama."
"Memang, tetap saja hatiku sakit. Jadi, kamu harus membayarnya. Makan atau nonton, terserah kamu." Ivona mendesak dengan halus. Ia tahu, Havana punya keraguan untuk mengajaknya. Sedangkan di hatinya, tidak sabar ingin bersama laki-laki itu. Ia tahu, Havana belum menaruh perhatian lebih padanya. Ia punya keyakinan, semakin sering mereka menghabiskan waktu bersama, maka semakin besar harapan untuk tumbuh rasa cinta. Apalagi, mereka adalah orang bebas dan sama-sama belum menikah. Bukankah kesempatan bagus tidak datang dua kali?
"Please, Havana."
Havana mematikan rokok, membuang putung ke asbak dan meraih stiknya. "Baiklah, tapi aku nggak janji kapan waktunya."
Senyum merekah di bibir Ivona. "Aku bisa nunggu. Kalau perlu, tiap Minggu aku akan tanya sama kamu."
Havana mengangguk, sebelum menghampiri meja dan kembali menyodok bola. Ivona merasa puas dengan apa yang didapatkannya hari ini. Ia bisa betah duduk berjam-jam di klub yang penuh sesak ini, asalkan bisa bersama Havana.
***
Satu bab lagi cerita ini selesai saya posting di sini. Mulai bulan depan akan digantikan cerita baru.
Terima kasih.
Untuk bab lengkap bisa kalian dapatkan di Karyakarsa atau google playbook.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro