Bab 14b
Setelah mencairkan dada ayam beku menggunakan microwave, ia mulai memasak dan 40 menit kemudian, membawa ke ruang makan. Havana menatap takjub pada ramen di mangkok besar dengan chiken katsu di atasnya. Ia mencicipi kuah dan merasa puas.
"Enak."
"Makan yang banyak," ucap Dakota.
"Ehm, kamu sudah seperti istri betulan. Menunggu suami pulang dan membuatkan makan."
Dakota tersenyum kikuk, meninggalkan ruang makan. Tentu saja mereka adalah suami istri betulan secara status, hanya hati yang membedakan.
Pukul sepuluh malam, Dakota yang baru saja menidurkan Leonard, mendapati Havana duduk di meja kerja. Ia menghampiri dan bertanya heran. "Masih mau kerja?"
Havana mengangguk. "Banyak yang harus diurus."
Dakota menatap tumpukan dokumen lalu menghela napas panjang. "Coba aku bisa membantumu. Sayangnya, aku nggak ngerti."
Havana mengangkat wajah, menatap Dakota yang berdiri dalam balutan pakaian tidur sederhana yang sudah pudar warnanya. Gadis itu tidak memakai kacamata dan rambutnya tergerai hingga ke pundak. Terlihat sangat menggemaskan. Ciuman mereka di kolam kembali terbayang dan Havana menepis pikirannya.
"Kamu mau membantuku?"
Dakota terbeliak. "Bolehkah?"
"Tentu. Kalau memang kamu mau membantuku, bisa tolong membantuku untuk mengecek jumlah produk dari tiap pabrik, berikut jumlah produksinya. Jangan lupa, bandingkan dengan bulan lalu. Kalau kamu merasa ada keanehan, kamu bisa membuat catatan di samping kolom."
"Oke, aku ambil laptop dulu."
Pertama kalinya, Havana bekerja ditemani oleh orang lain. Selama ini, ia selalu melakukan semuanya sendiri. Ternyata, punya seseorang di samping untuk menemani, bukan hal yang buruk. Sesekali mereka bercakap, tentang bisnis, produk, dan hal-hal lain menyangkut perusahaan. Havana merasa senang, karena Dakota ternyata sangat cerdas dan menyenangkan untuk diajak diskusi. Ia bahkan berencana membawa Dakota ke kantor untuk menjadi asistennya, kalau bukan karena ada Leonard di rumah.
"Sekretarismu baru?" tanya Dakota tiba-tiba.
Havana mengangguk. "Iya, Ferni namanya."
"Yang lama kenapa? Maksudku, orang yang biasa membantu papamu."
"Resign. Katanya, ingin pindah ke luar kota."
"Oh, begitu."
"Dari mana kamu tahu soal sekretaris baruku?" tanya Havana.
Dakota tersenyum. "Pak Otis tanpa sengaja memberitahu Ulfa, dan tentu saja aku jadi tahu."
"Kenapa Pak Otis memberitahu Ulfa? Apa hubungannya dengan Ulfa?"
Dakota mendongak. "Eh, itu, bagaimana, ya? Hubungan mereka agak rumit." Saat melihat Havana mengangkat sebelah alis, Dakota menghela napas panjang. Ia sudah kelepasan bicara dan sudah telat untuk mundur. "Eh, itu. Pak Otis sepertinya naksir Ulfa, dan begitu juga sebaliknya. Mereka ciuman di vila." Wajah Dakota merah padam saat bercerita, karena teringat dengan ciumannya bersama Havana.
Havana yang kaget, untuk sesaat terdiam. "Begitu? Jadi mereka berciuman?"
"Iya, begitu."
Havana melihat Dakota menunduk dan tersenyum. Niat untuk mengusili gadis itu timbul dalam dirinya. Ia berdehem. "Dakota, sini sebentar."
"Ada apa?"
"Sini, ada yang penting."
Dakota bangkit dari sofa, menghampiri Havana dan menjerit kecil saat laki-laki itu menariknya ke atas pangkuan. "Eh, apa ini?"
Jemari Havana menyusuri wajah Dakota. Dari rambut, pipi, lalu turun ke bahu. Tersenyum saat melihat wajah Dakota makin memerah.
"Aku ingin menciummu," bisiknya.
Dakota mengerjap. "Apa maksudnya?"
"Pekerjaan masih banyak, dan aku mengantuk. Kita berciuman sebentar untuk mengusir rasa kantuk."
Dakota tergagap saat Havana menarik belakang kepalanya mendekat dan menyarangkan ciuman di bibir. Lidah laki-laki itu menyapu ujung lidahnya dan memaksanya membuka mulut. Ia duduk di atas pangkuan Havana dengan tidak nyaman, sementara laki-laki itu terus melumat bibirnya.
Havana meraih tangan Dakota dan meletakkan di pundaknya, menarik gadis itu mendekat dan mencium dengan lebih ganas dan intens.
"Ehm, bibirmu makin lama makin enak dicium," bisiknya.
Dakota terengah, saat lidah Havana membelai mesra. Bibir laki-laki itu terasa panas di mulutnya dan desahan napas yang memburu membuat jantung keduanya berdetak lebih kencang. Saling memagut dan melumat, mereka mengakhiri ciuman dengan helaan napas panjang.
"Pergilah, tidur. Biar aku kerjakan sisanya," bisik Havana.
"Tapi—"
"Kalau kamu nggak pergi sekarang, aku berniat menindihmu di atas sofa."
Dakota tercengang, menatap Havana. Bangkit buru-buru dari pangkuan laki-laki itu dan setengah berlari menuju kamarnya. Havana menjilati ujung bibirnya, tidak dapat menahan senyum. Baru kali ia merasa kalau sebuah ciuman bisa menghilangkan rasa kantuk.
Di dalam kamar, Dakota merebahkan tubuh dengan napas memburu. Menatap jam di dinding, pukul satu pagi dan ia masih terjaga karena ciuman yang panas dan membabi buta dari Havana. Mengusap wajah dan meremas rambut, Dakota mengerang karena serangan rasa malu.
"Kenapa jadi ketagihan ciuman? Kenapaaa?" Suaranya teredam oleh bantal.
Memikirkan tentang Havana dan ciuman mereka, Dakota nyaris tidak dapat memicingkan mata sedikitpun. Keesokan harinya, ia terbangun dengan lingkaran hitam di bawah mata. Untunglah, Havana sudah pergi saat ia keluar kamar. Hari ini tidak ada pelajaran di kampus, Dakota tetap di rumah untuk menjaga Leonard.
Pesan dari Ulfa datang saat menjelang makan siang. Sahabatnya itu mengaku bertemu dengan Arion di kampus dan sudah memutuskan kapan akan pergi bersama.
"Hari Sabtu sore, sekitar jam tiga. Arion mengajak kita makan di kafe. Katanya punya temannya dengan konsep family. Bisa bawa bayi, ada tempat untuk main dan aman dari pengunjung yang merokok. Gila, ya. Arion, seperhatian itu sama Leo."
Dakota tanpa sadar tersenyum. "Perginya sama lo'kan?"
"Iyalah. Kapan lagi pergi makan gratis. Tapi, gue nggak nolak kalau Pak Otis ngajak kencan."
"Emang belum pernah ngajak?"
"Beluum! Makanya, gue geregetan mau nembak duluan tapi gengsi!"
"Masa cewek nembak duluan?"
"Emang kenapa? Gengsi? Gue nggak peduli gengsi. Selama yakin Pak Otis suka sama gue, bakalan nembak dulu. Kalau perlu gue seret ke KUA!"
Dakota menganggumi keberanian Ulfa. Ia sendiri, tidak sehebat gadis itu. Kalau disuruh memilih antara mengungkapkan perasaan atau memendam dalam hati karena takut ditolak, ia memilih untuk memendamnya.
Setelah ciuman malam itu, Havana pulang lebih larut dari biasanya. Menuntaskan pekerjaan di kantor dan tidak membawa pulang. Perasaannya sedikit kurang nyaman karena Dakota. Cara gadis itu yang malu-malu membalas ciumannya, membuat hatinya tergelitik. Entah kapan, ia merasa kalau ciuman Dakota seolah candu untuknya dan itu tidak membuatnya nyaman.
. Sayangnya, itu hanya teori. Saat mendengar tawa gadis itu, suaranya yang merayu Leonard dengan lembut, membuat Havana tanpa sadar menghela napas panjang. Tergugah tanpa disadarinya. Sabtu malam nanti ia berencana ke klub untuk menenangkan diri, berharap sedikit alkohol dan biliar membuatnya tenang. Namun, sesuatu mengusiknya saat Sabtu sore, sebuah mobil berhenti halaman dan seorang pemuda tampan, datang untuk menjemput Dakota.
Dakota menyambut dengan senyum penuh kegembiraan dan hati Havana merasa tidak nyaman melihatnya.
**
Obolan hati
Dakota: Gue ciuman dua kali sama Havana.
Ulfa: Gue nggak akan kalah, lain kali ketemu Pak Otis, bakalan gue terkam.
Dakota: Sadis amat lo!
Ulfa: Biarin, kelamaan, sih? Lemot!
Otis yang sedang bicara dengan Havan, menepuk telingannya yang mendadak berdenging.
Havana: Kenapa, Pak?
Otis: Nggak tahu, sepertinya ada yang lagi ngomongin aku.
**
Tersedia di google playbook
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro