Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 13a

Ciuman mereka berubah panas saat Dakota tanpa sadar mendesah dan membuat Havana tergerak. Saling mendekat dan memeluk satu sama lain di dalam air, keduanya larut dalam gairah.

***

"Apa kamu sudah tahu, kalau si anak keparat itu pergi ke pabrik?"

Hoshi mengangguk. "Tahu. Manajer memberiku laporan."

"Bukankah itu benar-benar kurang ajar? Apa maksudnya datang ke pabrik tanpa memberitahu kita. Bagaimanapun, perusahaan itu diwariskan untuk kita dan sudah semestinya, kalau mau melakukan sesuatu harusnya ijin."

Hoshi mendengarkan dalam diam, semua keluh kesah adiknya. Ia pun merasa marah dan kesal dengan Havana yang bertindak kurang ajar, tapi sekarang sudah terlambat untuk mencegah. Merek. Havana sudah pergi bersama Otis, mengacak-acak pabrik, membuat karyawan resah dengan seenaknya menerapkan aturan baru. Sekarang ia ketakutan kalau sepak terjang keponakannya dari hari ke hari makin tidak terkendali. Maka semua yang diperjuangkan selama ini akan gagal.

Noman menatap kakaknya. "Kenapa kamu diama saja?"

Hoshi menghela napas panjang, menahan keinginan untuk merokok. Dari pintu muncul Niko. Anaknya mengenyakkan diri di depannya, menatap serius.

"Mereka nggak cuma ke pabrik kulit dan plastik tapi juga berencana ke tempat lain."

"Kemana?"

"Mengembangkan start up fnb milik Havana, menggunakan uang perusahaan tentu saja."

"Damn! Sial!" Noman memaki keras. "Bajingan kecil itu yang berfoya-foya sedangkan kita yang bekerja selama ini!"

Hoshi memijat pelipis, mencoba untuk tetap berpikir jernih meski ada banyak makian di kepalanya. Semua tindakan Havana ini, harus dilawan dengan halus, bukan konfrontasi secara langsung. Pemuda itu bukan tipe yang mudah untuk ditakut-takuti. Havana akan memukul balik kalau merasa disakiti.

"Niko, mulai Minggu depan kamu pindah ke kantor pusat."

Niko mengedip, menatap papanya. "Pa, untuk apa?"

"Tentu saja memata-matai Havana."

Niko menaikkan sebelah kaki, berdecak sambil menyugar rambut. Ide papanya sedikit membuatnya keberatan. Dulu ia pernah ingin kerja di kantor pusat, tapi Darius tidak mengabulkannya. Sekarang pun tidak ada bedanya. Havana pasti juga tidak mengabulkan. Sejujurnya ia lebih suka bekerja di kantor pusat. Banyak hal yang bisa dipelajari, meskipun tidak terlalu suka bekerja tapi berada di perusahaan besar tentu saja gengsi tersendiri untuknya. Masalah terberat adalah, ia tidak akan pernah mengemis pada Havana masalah ini.

"Pa, sepertinya itu sulit terkabul."

"Kenapa?" Noman yang bertanya. Duduk di depan keponakananya. "Kalau Santia, sudah bisa bekerja, aku juga akan menyuruhnya. Coba, katakan. Di mana sulitnya?"

Niko mengangkat bahu. "Aku dan Havana, kami saling membenci. Tidak mungkin disatukan. Sampai sekarang Havana bahkan masih ingat saat kita dulu mengejeknya karena meninggalkan sang papa. Aku rasa, dia akan membalas apan pun perlakuan kita padanya dulu."

"Kamu takut?"

Niko menggeleng. "Sama sekali tidak, hanya enggan mencari masalah."

"Kamu ditakdirkan jadi anak laki-laki, jangan lembek! Kamu bukan Santia, wajar kalau dia lembek karena perempuan!"

Teguran keras Noman membuat Niko merasa tidak puas. Ia tidak suka hidupnya diatur-atur orang lain meskipun dengan dalih untuk kebaikannya. Ia melirik sang papa yang sedari tadi terdiam, ingin meminta tanggapan tapi tidak mendapatkanya. Akhirnya, ia ikut terdiam dan mendengarkan Noman bicara panjang lebar serta memaki.

**

"Selamat dataaang!" Ulfa berteriak, merentangkan lengannya. Gadis itu memakai gaun dengan moderl yang sama dengan Dakota, hanya beda di warna. Yang dipakai Ulfa, warna merah dan terlihat cocok untuk kulitnya. "Mari, duduk."

Havana menghampiri Dakota dan tidak dapat menahan kekaguman. "Wow, cantik sekali kamu."

Dakota tersenyum, tersipu-sipu. "Benarkah? Tadi beli gaun di luar trus, dandan sama Ulfa."

Havana menatap meja dengan lilin. "Kalian yang mempersiapkan semua?"

Dakota mengangguk. "Iya, atas seijin pihak hotel. Ayo, duduk. Makanan anak segera diantar." Meninggalkan Havana, ia masuk dan keluar sambil menggendong Leonard. Sedari tadi, ia menitipkan bayi pada petugas villa. Tapi, untuk acara makan malam, ia tidak ingin meninggalkannya sendiri.

"Bagaimana, Pak. Aku cantik nggak?" Ulfa mengembangkan gaunnya di depan Otis yang tercengang.

"Cantik," jawab Otis lembut.

"Cantik apanya? Orangnya atau gaunnya?"

"Dua-duanya."

"Aih, Pak Otis menggemaskan. Jadi, makin suka. Ayo, duduk, Pak. Biar aku yang melayani."

Sama seperti Havana yang tertegun bingung, Otis pun merasa demikian. Ia duduk pasrah saat Ulfa menarik kursi untuknya. Mereka makan berlima dengan bayi duduk di kursin khusus. Makanan yang disajikan berupa bebek panggang saos lemon, sup ayam, tumis sayur, ada beberapa hidanga lain. Dakota lebih banyak mengurus si bayi dari pada makan untuk dirinya sendiri.

Havana diam-diam memperhatikan, bagaimana Dakota tetap sabar mengatasi si bayi saat rewel. Berusaha menenangkan, dan tetap tersenyum apa pun yang terjadi. Ia menghela napas, merasa tidak sanggup kalau berada di posisi Dakota sekarang. Sedang lapar tapi bayi tidak bisa diajak kompromi.

"Dakota, makanlah. Biar aku yang menggendongnya," ucap Havana menawarkan diri.

Dakota menggeleng. "Aku bisa makan nanti, santai."

"Nanti akan dingin. Makan sekarang aja, biar aku yang jaga."

"Kamu capek dan baru makan sedikit."

"Aku sudah kenyang."

Tanpa menunggu persetujuan Dakota, Havana mendekati si bayi dan menggendongnya. Sedikit kikuk tapi berusaha untuk membuat si bayi nyaman. Menggendong dengan kaku, ia membaya bayi ke taman dengan kolam dan berdiri di sana.

Otis memperhatikan Havana dan tersenyum. Mengeluarkan ponsel, memotret kebersamaan Havana dan si bayi yang langka.

"Untuk apa foto mereka?" tanya Ulfa.

"Bukti, kalau Havana memang dekat dengan adiknya. Sekecil apa pun bukti, sangat diperlukan di pengadilan nanti."

Dakota bertanya muram. "Apakah kami harus tetap bertarung di pengadilan, Pak?"

Otis mengangguk. "Begitulah. Mau tidak mau. Gugatan sudah dilayangkan dan kita lihat nanti perkembangannya."

"Padahal, mereka sama sekali tidak menyukai si bayi. Mereka hanya mau rumah itu."

Gumaman Dakota disetujui oleh Otis. "Itu faktanya memang. Kita harus hadapi apa pun nanti kemungkinannya, Dakota. Kamu dan Havana harus bersiap. Untuk bertarung habis-habisan demi mempertahankan bayi itu."

Dakota menunduk, kembali menyantap makanannya. Ia melirik Havana yang kini berpindah tempat dekat lampu taman. Sepertinya sedang menunjukkan pada bayi kalau lampu itu terang. Meletakkan sendok dan garpu, ia menghampiri mereka dan berdiri di sebelahnya Havana.

"Apa yang kalian omongin?"

Havana mengangkat bahu. "Perkembangan terkini perusahaan dan nilai saham. Aku mendengarkan pendapat Leo."

Dakota tersenyum, meraih tangan si bayi dan menggenggamnya. "Kamu bahas saham, Sayang? Bagaimana? Mau bagi tante nggak, sahamnya?"

Si bayi tertawa lebar. Terlebih saat Dakota menggelitik punggungnya. Havana tanpa sadar ikut tersenyum.

"Kamu nggak takut masuk angin?" celetuk Havana saat melihat pakaian Dakota yang terbuka dan sebagian besar punggung serta bahunya terlihat. Ada kesan sexy sekaligus rapuh yang terlihat.

Dakota menggeleng. "Nggak, biasa aja. Segar malah."

"Tapi, kalau kamu keluar nggak boleh pakai baju begitu?"

"Kenapa?"

Havana ingin mengatakan kalau terlalu terbuka, terlalu sexy, dan takut orang-orang akan berpikiran lain. Tapi, yang keluar dari mulutnya justru hal lain.

"Gampang lepas dan kebuka, apalagi kalau kamu gendong Leo."

Dakota mengangguk. "Benar juga."

Di meja, Ulfa tanpa sadar mendesah saat melihat kebersamaan Havana dan Dakota, hatinya sedikit menghangat karena bahagia. Pernikahan mereka mungkin bukan sungguhan tapi ia tahu kalau Havana dan Dakota hanya menginginkan kebahagiaan untuk Leonard.

"Pak, saya nanti mau minta anak dua saja."

Otis yang sedang minum kopi, menata bingung. "Maksudnya."

Ulfa mengalihkan pandangan dari Dakota pada Otis. "Maksudnya adalah kita, Pak. Kalau menikah nanti maunya punya anak dua saja."

Otis yang sedang menyesap kopi, terbatuk-batuk. Dengan lembut Ulfa mengusap pungungnya. Hati Otis dibuat ketar ketir oleh Ulfa. Cara gadis itu menggodanya sungguh luar biasa. Sama sekali tidak terlihat canggung. Apakah Ulfa sudah terbiasa merayu dan menggoda laki-laki? Otis berusaha mengontrol pikirannya.

**

Siapkan pulsa, akan tersedia di google playbook segera. Terdiri atas 32 bab, sesuai dengan Karyakarsa. Karena akan ada cerita baru, cerita ini saya posting di Wattpad dan Grup hanya sampai bab 16.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro