Bab 11a
Havana tidak dapat mendiskripsikan perasaannya saat duduk di ruang makan dan menyantap sop panas. Ditemani oleh Dakota yang sedang memangku Leonard, ia merasa hatinya bergetar
**
Ruang kelas sunyi senyap saat Santia masuk diikuti oleh serombongan orang. Santia terkenal di kampus sebagai salah satu mahasiswi dengan pengikut terbanyak di media sosial. Wajahnya yang cantik, dengan tubuh sexy, merupakan daya tarik bagi banyak orang. Bagi orang-orang yang terbiasa menilai semuanya dari fisik belaka, Santia adalah sosok yang sempurna. Bukan rahasia lagi kalau dia menyukai Arion. Tentu saja berita kencan Arion dan Dakota membuat banyak orang terkejut. Tidak ada yang tahu kecuali Ulfa kalau Dakota dan Santia saling dekat.
"Si paling nyonya datang, lo siap-siap," gumam Ulfa saat melihat Santia mendekat. Pandangan dan sikap gadis itu sangat arogan. Menatap lurus pada Dakota, dan tidak memedulikan hal lain.
Dakota menghela napas panjang, bersiap dengan masalah dan drama yang akan dihadapinya. "Mana Leo nungguin. Pasti lama ini."
"Lo, sih, bikin masalah."
"Lah, Arion yang mau traktir."
Santia menyipit sambil berkacakpinggang. "Eh, Cupu. Lo lupa status lo apa? Seenak aja kencan sama cowok lain. Ngrasa cakep lo?"
Dakota mengangkat bahu. "Gue sama Arion berteman."
"Berteman?" Santia tertawa sinis. "Mulai kapan? Circle kalian aja beda!"
"Terserah apa kata lo." Dakota menunduk, melanjutkan aktivitasnya kembali. Ia tidak suka dengan kejadian ini dan bersiap untuk menerima hasil paling parah yang bisa dibayangkan. Untunglah, Havana memberinya kelonggaran untuk membela diri. Kali ini, ia tidak akan tinggal diam kalau dianiaya.
Santia mencondongkan tubuh ke meja dan menepuk pelan permukaannya. Tangannya terulur ingin mencengkeram rambut Dakota tapi ia menahan diri. Sekarang sedang di kampus, reputasinya akan jatuh kalau sembarangan mengamuk. Namun, ia tidak tahan untuk mengomeli Dakota.
Sudah hampir dua tahun ini ia menyukai dan mengejar Arion. Ingin dekat dengan cowok itu apa pun yang terjadi. Berusaha segala cara agar bisa menjadi kekasihnya. Meskipun Arion baik tapi tidak sekalipun ingin mengajaknya berkencan intim. Selalu ada teman-teman yang lain di sekeliling mereka. Ia sudah mengajak secara terang-terangan maupun tersirat tapi hasilnya nihil. Arion bersikap seakan tidak peka. Sering kali ia berpikir, jangan-jangan metode pendekatannya yang salah.
Di saat ia sedang memupuk rasa percaya diri untuk Arin. Kala ia sibuk memikirkan cara mengajak kencan cowok paling terkenal di kampus, Dakota tanpa disangka menyambar keinginannya begitu saja. Sialnya, gadis itu termasuk yang tidak diperhitungkan olehnya. Ia merasa sangat marah karena sudah ditusuk dari belakang.
"Eh, lo nggak takut kalau status lo gue sebarin ke kampus? Bayangin aja, gimana reaksinya mereka kalau tahu, lo yang udah punya suami malah main belakang sama Arion."
Dakota menghela napas, menaikkan posisi kacamatanya. "Sebarin aja, gue nggak peduli. Asal lo tahu, kalau sampai status gue kesebar, berarti lo mengakui pernikahan gue sama Havana itu sah secara hukum. Kalau nggak salah, kalian denial soal itu'kan?"
Santai menegakkan tubuh. "Pinter ngomong lo sekarang."
"Ah, nggak seberapa dibanding lo. Soal Arion, silakan kejar dan ambil kalau lo mampu. Gue sama dia cuma teman." Dakota bertukar senyum dengan Ulfa, mengabaikan Santia yang menatap dengan wajah merah padam.
Jujur saja, Dakota sekarang dalam keadaan gemetar dan takut. Terlebih saat mendengar ancaman Santia yang akan membeberkan soal statusnya. Kalau disuruh memilih, ia lebih suka kabur dari pada menghadapi persoalan cinta-cintaan seperti ini. Sayangnya, ia tidak bisa begitu. Saat mengangkat wajah, matanya bersirobok dengan para gadis yang melotot di belakang Santia. Dakota merintih dalam hati, merasa nyawanya terancam. Perempuan kalau sedang cemburu sangat menakutkan, begitu pula mereka.
"Heh, lo bawa senjata?" bisik Ulfa.
Dakota melirik. "Senjata apa?"
"Buat bela diri. Sepertinya bakalan ada pertempuran berdarah."
Untung saja, ketakutan Ulfa tidak menjadi kenyataan saat orang yang menjadi obyek rebutan mereka datang. Arion berdehem, menatap pada para gadis yang sedang mengerumuni Dakota dan berseru sambil tersenyum.
"Kalian semua mau ngapain di sini? Mau marah sama Dakota? Kami ketemu nggak sengaja di mall dan aku yang traktir dia makan. Kebetulan, lagi pingin ditemani."
Santia melotot ke arah Dakota lalu bergegas mendekati Arion. "Kenapa kamu nggak bilang kalau butuh teman makan. Ada aku," ucapnya dengan nada semanis madu. Berbanding terbalik dengan saat bicara pada Dakota.
"Keburu pingsan, dong. Ayo, kita keluar. Aku traktir makan di kantin." Arion melambai ke arah Dakota sebelum meninggalkan kelas diikuti oleh Santia dan para gadis-gadis.
Dakota bertukar pandang dengan Ulfa dan menghela napas panjang. "Sepertinya, mulai sekarang lo harus selalu bawa senjata," gumam Ulfa.
"Lebay nggak, sih?"
"Emang, tapi kuatir juga."
Hari ini mereka lolos, entah bagaimana keesokan hari. Dakota berkata dalam hati untuk tidak lagi dekat-dekat dengan Arion. Bila perlu, lari sejauh mungkin kalau bertemu.
**
"Sudah memilih asisten atau sekretaris?" tanya Otis saat keduanya bertemu di kantor. Ada jeda makan siang dan mereka manfaatkan untuk bicara.
Havana mengangguk. "Sudah, nanti sore aku umumin."
"Bagus, biar kamu nggak keteter. Bagaimana perusahaanmu sendiri. Aman?"
"Cukup. Dapat suntikan dana setelah aku menjabat di sini. Para pemegang saham itu memang cukup perhitungan dan juga kapitalis."
"Sayangnya, kita memerlukan mereka."
Keduanya mengangguk dalam kesepakatan. Havana tidak terlalu suka dengan beberapa investor yang ditemuinya hari ini. Mereka menginginkan pembagian hasil yang cukup menyulitkan. Namun, semua perlu dilakukan untuk kemajuan perusahaan.
Havana mengaduk nasi dalam kotak. Menyingkirkan irisan cabai, dan memakan lauknya terlebih dulu. Otis datang membawa makan siang berupa nasi ayam kotak untuknya dan mereka nikmati bersama di ruangannya.
"Pabrik plastik dan sepatu yang diwariskan pada dua om, ternyata tidak sebagus yang aku pikirkan. Entah bagaimana keduanya mengelola, penjualan anjlok secara signifikan di dua tahun terakhir."
Otis mengangkat wajah dan mengangguk. "Memang. Aku berencana membawamu ke pabrik. Kapan kamu mau bisa pergi?"
"Di luar pulau?"
"Benar, di luar pulau. Kita bisa pergi selama beberapa hari karena pabriknya tersebar di beberapa kabupaten."
Havana memikirkan sesuatu, mengatur ulang jadwalnya. "Sepertinya Minggu depan bisa."
"Kalau begitu, aku kosongkan jadwalku."
Percakapan keduanya terjeda saat ponsel Havana berdering. Ia mengangkat tanpa melihat nama yang tertera.
"Havana, sudah makan siang?"
Suara Jeni. Havana mengutuk diri, karena tidak menyimpan nomor Jeni yang lain. Ia pikir dari orang tidak dikenal, mengingat hanya sederet nomor tanpa nama.
"Jeni, ada apa?"
"Aku mau ketemu."
"Aku sibuk."
"Hanya sebentar saja, bisa?"
"Nggak. Sorry."
Hening, terdengar helaan napas panjang. "Aku nggak peduli, Havana. Kamu sudah keterlaluan padaku. Malam ini, aku ingin ketemu. Kalau kamu nggak datang, besok siang aku akan mencarimu di kantor. Terserah kamu, mau bagaimana cara kita bertemu."
Havana memaki dalam hati, selera makannya hilang seketika. Meletakkan sendok dan garpu, ia berdehem. "Nanti malam, jam delapan. Club biasa."
Setelah itu, ia memutuskan sambungan. Mendadak merasa sangat lelah. Hari Senin, di kantor banyak pekerjaan dan Jeni menganggunya.
"Mantan pacar?" tanya Otis.
"Jeni. Kamu kenal dia?"
"Owner salah satu brand skincare dan juga, selebgram."
"Benar. Rasanya aku mau gila ngadepin kelakuannya."
Otis tersenyum, mengacungkan sendoknya. "Bicara terus terang sama dia kalau kamu sudah menikah. Jangan membuat runyam situasi."
Havana mengangguk tanpa kata. Ia pun punya pemikiran yang sama dengan Otis. Tidak ingin hubungannya dengan Jeni berlarut-larut. Statusnya bukan lagi bujangan. Memang sudah seharusnya menjaga jarak, meskipun istri yang dinikahi bukan perempuan yang dicintai.
**
Di Karyakarsa sudah ending
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro