Bab 10b
Sepanjang malam, Dakota tidak dapat memicingkan mata. Ia terus menerus teringat akan Havana dan betapa kurang ajarnya laki-laki itu padanya. Ia tahu, Havana sedikit mabuk, semua tindakannya dilakukan dengan tidak sadar. Tetap saja berpengaruh besar padanya. Tanpa sadar, ia meraba kemaluannya dan merasa lebih panas.
"Hah, dasar porno. Otak cabul!" Memaki keras, Dakota mengambil bantal dan menutup telinga. Berharap bisa terlelap dan melewati malam ini tanpa mimpi buruk.
Sayangnya, harapan Dakota tidak terkabul. Ia menghabiskan satu malam dengan terus terjaga dan memikirkan tentang bibir, tubuh, dan kejantanan Havana. Saat terbangun keesokan hari, ia mendesah. Menatap lingkaran hitam di bawah mata. Menatap ranjang bayi di mana Leonard masih pulas, ia menuju kamar mandi. Ada kuliah pagi ini dan ia tidak ada kesempatan untuk tidur lebih lama.
"Pagi, Nona. Mau sarapan apa?"
Pelayan muncul untuk menyapanya dan Dakota menggeleng kecil. "Nggak mau sarapan apa-apa. Kalian tolong jaga Leonard. Aku ada kuliah pagi. Sebelum jam dua belas sudah pulang."
"Iya, Nona."
Dakota melirik pintu kamar Havana yang menutup, menggigit bibir untuk bertanyan pada pelayan apakah Havana sudah bangun. Namun, rasa malu menguasainya. Teringat kalau sekarang Senin dan biasanya kantor sangat sibuk, mau tidak mau ia menyingkirkan rasa malu.
"Tuan Muda sudah bangun?"
Pertanyaannya dijawab dengan bunyi derit pintu dibuka. Havana muncul dalam kemeja dan jas lengkap, menenteng tas hitam. Laki-laki itu menatap Dakota yang sudah berpakain rapi.
"Kamu mau berangkat sekarang?"
Dakota mengangguk. "Iya."
"Ayo, aku antar."
"Tapi—"
"Nggak ada tapi-tapian. Udah tinggal serumah, masih aja malu-malu."
Pagi ini, Dakota kembali diantar oleh Havana. Sepanjang jalan, ia lebih banyak diam. Sesekali melirik Havana yang berada di belakang kemudi. Tidak ingin teringat akan peristiwa tadi malam, Dakota berusaha menghapalkan rumus-rumus statistik, berganti ke resep bubur bayi, lalu berubah ke fashion. Tidak ada stu pun yang membuat pikirannya fokus.
"Kamu sarapan tadi?"
Pertanyaan Havana yang tiba-tiba membuatnya kaget. Ia mengangguk lalu menggeleng. "Nggak, nanti sarapan di kantin."
"Tadi malam, sepertinya aku agak mabuk." Kendaraan melaju melewati lampu merah. "Aku nggak ingat gimana bisa sampai ke kamar."
"Oh, aku yang mengantarmu!"
"Apa?"
Dakota memukul mulutnya sendiri karena keceplosan. Ia menatap luar jendela dan meneruskan perkataannya. "Maksudku, semalam kamu pulang. Minta dibuatin mi rebus. Habis makan ketiduran di ruang makan. Jadi, aku memapahmu ke kamar."
Havana mengulum senyum, menatap Dakota. "Wow, hebat juga tenagamu. Bisa memapahku."
Dakota menggerakkan bahunya. "Sedikit sakit, sih. Berharap aja nggak keseleo."
"Aku akan membayar kebaikanmu nanti."
"Pakai apa?"
"Lihat saja. Tunggu kejutan dariku."
. Pernikahan mereka memang bukan hubungan romatis seperti pasangan yang jatuh cinta. Ia berharap, setidaknya Havana memendam perasaan dan kasih sayang yang tulus pada Leonard. Mereka bersaudara, akan lebih baik kalau bisa dekat satu sama lain. Hanya itu harapan Dakota, dari Havana yang ingin memberinya imbalan atas kebaikan-kebaikannya.
Tiba di kelas, Dakota disambut oleh Ulfa. Wajah sahabatnya itu penuh senyum dengan mata berbinar ceria. "Gue jatuh cinta," ucap Ulfa.
Dakota membuka tas dan mengelurkan laptop serta bukunya. "Sama aktor atau penyanyi mana kali ini?" tanyanya.
"Eh, kali ini bukan sama seleb atau makluk fiksi. Tapi, beneran sama orang."
"Oke, ada fakultas mana?"
Dakota sedang menyalakan laptop dan jemarinya terhenti di udara saat mendengar jawaban sahabatanya. "Sama Pak Otis."
Serta merta ia menoleh ke samping dan menatap Ulfa dengan pandangan tak percaya. "Hah, mabok lo?"
Ulfa menggeleng keras, meletakkan kepalanya di bahu Dakota dan kembali berbisik. "Gue beneran yakin kalau kali ini cinta sejati. Nggak pernah gue suka sama cowok kalau gini. Tiap saat pingin kirim pesan, telepon, atau ketemu. Sayangnya, gue sadar diri kalau Pak Otis itu orang sibuk. Jadi, itu nahan niat gue buat gangguin dia."
Dakota meraba dahi Ulfa dan merasa tidak panas. "Lo serius?"
"Tiga ratus rius malah. Pokoknya, gue akan berusaha apa pun yang terjadi buat dekat sama Pak Otis. Menurut lo, dia bakalan suka sama gue yang masih ABG ini nggak?"
"Mau jawaban jujur?"
"Tentu, lo sahabat gue dan lebih baik jujur."
"Terus terang, gue nggak tahu. Pak Otis bakalan suka sama lo atau nggak. Bukan perkara umur tapi lingkup pergaulan kalian juga beda. Pak Otis itu—"
"Berkelas, gue nggak," tutur Ulfa lembut. Wajahnya sendu seketika dan menunduk menatap lantai.
Dakota mengulum senyum, mengusap lengan Ulfa. Ia menghargai Ulfa yang mencurahkan perasaan padanya. Meskipun ia sendiri tidak yakin kalau itu benar cinta atau bukan. Sahabatnya terkenal mudah jatuh cinta dan dibuat terlena oleh laki-laki. Namun, siapa pun tahu kalau Ulfa itu lugu dalam hal percintaan. Semua ditutupi dengan sikapnya yang ceria dan berani.
"Apa itu berkelas? Gue nggak bahas status sosial. Karena kalau ngomongin itu, gue justru parah. Yang gue bilang, sifat Pak Otis. Orangnya sangat serius. Emang lo nggak bosan kalau dekat sama dia?"
Ulfa menggeleng. "Nggak, gue malah suka. Sabtu lalu, gue ketemua dia di stadion. Selama nunggu dia makan, kami mengobrol dan gue cukup menikmati waktu-waktu bersamanya. Berharap seandainya saja dia ngajak kencan gue."
Dakota terdiam, tidak punya solusi untuk mengatasi masalah Ulfa. Ia sendiri sedang bingung dengan pernikahannya. Tidak layak rasanya kalau membicarakan cinta apalagi menasehati kalau hubungan romantisnya pun tidak kalah menyedihkan dengan Ulfa.
"Eh, Dakota. Hari Minggu kita jalan, yuk. Lo ajak suami lo dan sekalian Pak Otis."
Dakota tercengang. "Mau jalan ke mana?"
Ulfa merengek, mencebik dengan mulut mengerucut dan menggoyang-goyangkan lengan Dakota. "Kemana aja. Pantai, taman bermain, atau gunung sekali pun."
"Ah, ngaco lo."
"Nggak, gue serius. Kita bisa pergi berlima bersama si bayi."
Dakota menggeleng panik. Mengajak Havana dan Otis jalan bersama, itu sama mustahilnya dengan memindahkan Menara Liberty dari Amerika ke Indonesia. Ia tidak mau memberikan harapan bodoh. "Nggak ah, gue bingung gimana ngomongnya. Lagian, mereka belum tentu mau pergi ke tempat-tempat begitu.
Ulfa terdiam sesaat lalu mengangguk pasrah. "Iya, juga. Mereka laki-laki berkelas dengan kegudang kesibukan. Emangnya kita, pengangguran?"
Dakota sebenarnya tidak tega melihat Ulfa murung. Namun, ia tidak bisa menjanjikan apa pun. Hubungan cinta adalah sesuatu yang rumit. Kalau memang Ulfa menyukai Otis, itu tergantung dari nasib dan takdir mereka.
Selesai jam kuliah kedua, Dakota merapikan barang-barang dan berniat pulang. Ulfa sedang sibuk dengan ponsel saat tiba-tiba berteriak.
"Gila! Apa-apaan ini?"
Dakota masih belum bereaksi, hingga Ulfa kembali berucap histeris. "Lo napa nggak bilang kemarin kencan sama Arion?"
Dakota mengerjap, menunjuk dadanya. "Gue? Lo ngomomg sama gue?"
Ulfa memutar bola mata, menunjuk layar ponselnya di mana ada foto buram dirinya duduk berhadapan dengan Arion di kafe. Ia mengernyit heran. "Kok foto kami ada di ponsel lo?"
"Hah, baru sadar lo, ye? Kalian kencan?"
Dakota menggeleng. "Nggak, ketemu nggak sengaja aja."
"Mampus! Ada yang moto kalian, lalu dimasukin ke page universitas. Semua geger sekarang. Dakota, kamu siap-siap kena masalah."
Dakota terdiam mendengar perkataan Ulfa. Ia tidak tahu apa masalahnya kalau ia makan bersama Arion. Toh, mereka bertemu tidak sengaja dan tidak janjian sebelumnya. Harusnya itu bukan masalah. Bukankah ia dan Arion teman satu kampus? Lalu, masalahnya di mana. Saat mendongak dari arah pintu masuk segerombolan gadis-gadis dipimpin Santia. Dakota sekarang sadar, di mana letak masalahnya.
**
Obrolan hati
Dakota: Ada sesuatu yang keras.
Havana: Di mana?
Dakota: Itu, di bawah pinggang kamu.
Havana menatap bagian bawah pinggangnya, merasa tidak menemukan sesuatu. Saat menyadari makna dari ucapan Dakota, ia mengangkat wajah dan menjitak jidak Dakota. Mesuum!
**
Di Karyakarsa hari ini ending.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro