Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 10a

Entah kejutan apa yang direncanakan Havana untuknya, Dakota tidak berani berharap banyak. Yang penting laki-laki itu bersikap baik padanya dan si bayi, itu lebih dari cukup

***

"Berapa lama nggak ketemu? Terakhir reuni tiga tahun lalu."

"Ehm, tiga tahun lalu."

"Kamu makin tampan. Aku dengar kamu mendirikan start up FnB?"

Havana mengangguk. "Begitulah."

Ivona memutar gelas coctailnya. Melirik Havana yang merokok. Terlihat tampan dan elegan. Sikap dan sifat laki-laki itu tidak berubah sedari dulu. Pesona yang dimiliki Havana mampu membuat banyak perempuan mendambakannya. Ia dulu sangat suka dengan Havana. Tergila-gila pada laki-laki itu saat mereka masih muda dan naif. Berpikir bisa bersama selamanya. Siapa sangka, Havana justru punya pemikiran lain. Mereka putus menjelang kelulusan dan sampai sekarang Ivona tidak bisa melupakannya.

Suara melengking penyanyi wanita yang sedang mendendangkan lagu lama, mengusik perhatian mereka. Sesaat Ivona terpanas, saat menyadari kalau lagu yang dinyanyikan pernah menjadi lagu favorite Havana. Ia membuka mulut, ingin bertanya apakah Havana mengingatnya. Namun, saat melihat laki-laki itu duduk dengan menunduk, keinginannya buyar seketika.

Menghela napas panjang, ia kembali membuka percakapan. "Aku kembali kali ini. Maksudku, benar-benar akan tinggal di kota ini."

Havana mendongak dan menatapnya. "Good, tapi bagaimana pekerjaanmu?"

"Aku akan lebih banyak mengambil jalur dokumen. Menerjemahkan secara resmi. Tapi, bukan berarti menolak kalau ada pekerjaaan selain itu, misalnya mendampingi para tamu dari luar negeri."

"Tamu para pejabat?"

Ivona mengangguk. "Iya, atau juga tamu perusahaan."

"Pekerjaan yang keren."

"Nggak sekeren kamu, bisa punya usaha sendiri." Ivona menunduk, mengulum senyum. Ada banyak hal yang ingin ia katakan pada Havana dan semuanya, tersangkut di tenggorokan. Mengobrol selama satu jam, yang mereka bicarakan hanya soal pekerjaan. Padahal, ia ingin tahu lebih dari dulu. Ivona ingin bertanya apakah Havana punya pacar? Apakah berencana menikah? Dan, banyak masalah pribadi lain, tapi melihat sikap Havana yang menjaga jarak, keberaniannya menyusut.

Bertahun-tahun berlalu, ternyata laki-laki itu tidak berubah. Tidak akan membuka percakapan kalau tidak didahului. Terlalu masa bodoh dengan lingkungan sekitar. Bicara seperlunya dan cenderung kaku. Meski begitu, dengan postur tubuh yang tinggi dan wajah tampan, banyak orang seolah tidak melihat kekurangnya itu. Begitu pula Ivona. Ia selalu menyukai Havana, bahkan dari pertama bertemu dan tidak berubah setelah tiga tahun bersama. Havana adalah kekasih pertama, cinta pertama, dan tidak terlupakan hingga sekarang.

Havana menatap layar ponsel. Tanpa terasa sudah pukul sembilan malam. Ia merogoh dompet dan membayar semua tagihan lalu berpamitan pada teman-temannya termasuk Ivona.

"Besok pagi ada rapat. Aku harus pulang," pamitnya.

Ivona terlihat kecewa. "Kita baru bertemu setelah sekian lama. Kamu nggak bisa tinggal satu jam lagi?"

"Maaf, Ivona. Kita bisa ngobrol lain kali."

Ivona menggigit bibir, merasa diabaikan. "Baiklah, aku boleh minta nomor ponselmu?"

"Boleh."

Mereka bertukar nomor ponsel dan tidak memedulikan teman-temannya yang lain, Havana keluar dari pub. Ia sangat suka bermain billiard. Jenis permainan yang membuatnya santai. Tapi, besok ada rapat di pagi buta dan ia tidak akan membiarkan Senin paginya berantakan. Untunglah, ia hanya minum bir dan kewarasannya tidak terganggu. Toleransinya terhadap alkohol cukup tinggi. Tidak mudah mabuk asalkan minumnya tidak berlebihan.

Ia membawa kendaraan dengan laju yang sangat pelan. Berusaha untuk tetap fokus sepanjang jalan dan tiba di rumah cukup lama, dua jam kemudian. Saat langkah kakinya mencapai ruang tamu, ia dibuat kaget melihat Dakota. Gadis itu berdiri saat melihatnya.

"Sudah pulang. Sudah makan belum?"'

Havana mengucek matanya, menghela napas dan merasa perutnya berkriuk. Menyadari kalau hari ini terlalu banyak makan kentang dan tidaka makan karbohidrat.

"Apa ada makanan?" tanyanya.

Dakota mengangguk. "Ada banyak makanan. Kalau kamu mau sesuatu, aku buatkan."

"Kamu bisa masak?"

"Bisa, yang sederhana."

Havana mengikuti Dakota menuju ruang makan dan meminta gadis itu memanggil pelayan. Ia ingin dibuatkan mie instan rebus.

"Nggak usah panggil pelayan. Leo sudah tidur, biar aku masak buat kamu. Kebetulan, ada stok mie."

Havana menunggu, menopang kepalanya di atas siku. Rasa kantuk mengusainya tapi, perutnya lapar. Tidak sampai lima belas menit, Dakota membawa semangkok mie dengan irisan daging dan telur. "Mau minum sesuatu?"

Havana mengangguk. "Air putih saja. Wanginya enak."

"Ayo, dimakan. Mumpung panas."

Dakota menunggu Havana makan. Ia memperhatikan kalau laki-laki itu terlihat lelah. Aroma tubuhnya sedikit aneh, tapi ia tidak tahu apa itu. Selesai makan, Havana menyorongkan mangkok ke tengah meja dan menguap.

"Sana, ke kamar. Kamu capek!"

"Ehm, ngantuk banget." Havana meletakkan kepala di atas meja dan berniat tidur.

"Hei, jangan tidur di sini!"

Dakota menarik lengan Havana, berusaha agar laki-laki itu bangkit dari kursi tapi ternyata susah.

"Kak, banguun. Ayo, ke kamar."

Pengaruh alkohol dan kelelahan membuat Havana seperti orang pingsan. Dakota memutuskan untuk membawa laki-laki itu ke kamar. Ia meletakkan lengan Havana ke lehernya, memaksanya berdiri dan sekuat tenaga memapahnya.

"Aduuh, berat banget, sih." Ia menggerutu. Dengan perlahan membawa Havana ke kamar.

Diperlukan banyak sekali tenaga, dan napas yang hampir putus, Dakota akhirnya bisa membawa Havana ke ranjang. Ia mendorong laki-laki itu terlentang dan berdiri sambil menghela napas panjang. Menepuk dadanya yang sakit, Dakota merasa bersyukur bisa membawa Havana ke atas ranjang.

"Gila, ngantuk apa mabok, sih? Sampai kayak orang pingsan."

Ia menatap kaki Havana yang masih terbungkus sepatu. Membantunya membuka satu per satu. Berniat untuk menutupi tubuhya dengan selimut saat Havana tiba-tiba bergerak. Menarik lengannya hingga membuat tubuhnya hilang keseimbangan dan jatuh ke atas ranjang.

"Aduh, apa-apaan ini?" teriak Dakota. Berusaha melepaskan diri dari kukungan lengan Havana tapi ternyata tidak mudah. Laki-laki itu seakan menahan tubuhnya di atas ranjang. Ia bahkan bersiap untuk menendang saat Havana memindahkan sebagian tubuhnya dan kini menutupi tubuhnya. Pahanya dipaksa membuka dan Havana berbaring pas di atasnya. "Apa-apaan, ini?" desah Dakota dengan dada berdebar keras.

Baru kali ini ia sangat dekat dengan tubuh seorang laki-laki. Napas Havana menyapu lehernya dan yang membuatnya terbelalak ngeri adalah bibir laki-laki itu menyapu pipi. Tubuhnya memanas seketika. Seolah ada aliran listrik yang mengalir dari ujung rambut sampai kaki. Dimulai dari tempat yang dicium Havana dan menyebar ke pori-porinya.

"Minggir!" desahnya. Berusaha mengangkat tubuh Havana. Sialnya, Havana meringkuk makin dalam, memeluknya makin ketat dan bibirnya kali ini menyapu telinganya.

"Kamu hangat," bisik laki-laki itu.

"Kamu berat," jawab Dakota.

"Ehm, aku suka tubuhmu."

"A-aku nggak suka."

Havana menjilat cuping telingan Dakota dan membuat gadis itu terbelalak. Tidak cukup hanya itu, tubuh bagian bawahnya bergerak, menekan tubuhnya. Rasa panas dan kikuk kini berasal dari area bawah pinggang mereka. Dakota menahan napas saat Havana menggerakan pinggul di atas pinggulnya. Sensasi yang aneh menjalarinya dan jantungnya makin berdebar tak menentu.

"Tu-tunggu, apa ini?" bisiknya.

Havana seolah tidak mendengar perkataannya. Terus menggesekkan pinggul mereka dan Dakota yang kebingungan mengangkat lutut. Sekuat tenaga menahan tubuh Havana dengan lututnya lalu menggulingkannya ke samping. Menghela napas panjang, Dakota merapikan pakaian. Menuding Havana yang memejam lalu mengepalkan tangan. Tanpa mengatakan apa pun, berlari keluar.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro