Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

14: Playground

.
Musashi
🧪
.
.

.
Subuh hari sudah mencapai tempatnya, menghangatkan segala hawa dingin disekitar lalu mengubahnya menjadi embun serta kabut dini hari.

Di ruang kerja Julia, Musashi kembali membersihkan segala senjatanya, didampingi oleh Julia seperti biasa yang tampak berbincang dengan seseorang di seberang saluran telpon.

Ada dua kemungkinan. Yang pertama jelas saja Satoshi sang walikota itu, atau yang kedua adalah para pihak redaksi, pimpinan perusahaan penyiaran télévisi, dan lainnya.
Intinya Julia benar-benar ingin membombardir para pemburu iblis dengan fakta yang ada.

Membiarkan sebuah konspirasi menyebar luas ke masyarakat.

Sama seperti dahulu, bagaimana kekaisaran Eropa Timur yaitu Rusia bisa jatuh ke tangan seorang pria.

Seorang pria yang merupakan manifestasi dari paham komunisme itu sendiri.
Ah, sungguh bagaimana jelas ingatan itu, teringat bagaimana ia sedikitnya membantu revolusi Bolshevik dengan membunuh monster milik Tsar Nicholas yang agung.

Rasputin, si pria yang mengaku tak dapat dibunuh itu, akhirnya mati juga di tangannya dahulu, dan kini... namanya sudah terabadikan di pistol emasnya. Diukir dengan aksen tulisan latin tepat di bagian bagan peluru.

"Musashi, apa kau bisa memasak sarapan terlebih dahulu? Aku masih banyak kerjaan,"

Mengangguk dan mengerti, Musashi lalu pergi meninggalkan ruangan sesuai perintah dari Julia.
Guna memasak hidangan sarapan untuk semua orang, termasuk Julia itu sendiri.

Sampai di dapur yang begitu ala kadarnya, dengan keramik pecah, dinding penuh noda jelaga, hingga langit-langit penuh lubang. Tak apa, ini hanya apartment sementara mereka untuk tinggal, setelah semuanya selesai maka Musashi dengan lainnya akan pulang.

Ngomong-ngomong sarapan, Musashi sendiri kembali menerawang sebuah kekurangan diri sendiri dalam hal masakan.

Bukan! Bukan karena kurangnya pengalaman di dapur, melainkan fakta bahwa ia sudah lupa semua resep makanan Jepang.

Lidahnya sudah kadung menjadi pencicip segala. Mengerti banyak rempah-rempah masakan dari belahan Eropa, tanah India, Persia, hingga Turki, tapi lupa akan rempah dari tanah ibu sendiri.

Ia sudah melupakan banyak tradisi Jepang, dan yang tersisa kini hanyalah bahasa ibu dan beberapa hal lain.

Di depan kompor dapur, Musashi akhirnya bergelut dengan pikirannya sendiri.

Mau masak apa hari ini? suara batin penuh kebingungan telah ia keluarkan, baiklah di kulkas sendiri, seingatnya ada beberapa daging dan roti, serta beberapa butir telur.

Apakah makanan penuh daging ala orang Jerman saja untuk dihidangkan?

Baiklah! Daripada bingung, lebih baik memasak apa yang bisa ia masak daripada melamun memikirkan hal tak berguna! Toh, setumpuk daging juga sudah cukup untuk energi yang lainnya kan?

Namun kini, Musashi teringat sebuah kenangan kecil.

Sebuah kenangan tentang keluarga kecilnya dahulu.

...

"Sayang, ayo bangun! Tinggalkan dahulu penelitian dan teorimu itu!"

Suara penuh kasih itu telah membuyarkan semua kefokusan Musashi di depan sebuah lembaran kertas yang diterangi oleh sinar mentari pagi. Musashi yang masih dalam balutan yukata kini menaruh kembali pena celupnya, memenuhi panggilan sang istri tercinta untuk ikut dalam perjamuan sarapan pagi, khas keluarga ini.

"Aku datang,"

Suara derit lantai kayu sontak membahagiakan hati istrinya. Musashi sudah berjalan melalui lorong menuju dapur tempat istrinya memasak, dengan yukata yang sudah tidak lagi beres Musashi kesampingkan itu semua.

Baginya, memakan sarapan terlebih dahulu ialah hal penting, sebelum memulai kembali mempelajari tulisan kuno pemberian seorang kawan.

Sampai di sana Musashi langsung saja duduk sembari mendengarkan ceramah sang istri tanpa mendengarkan apa isinya, toh semuanya sudah kabur dihilangkan oleh ingatan.

Sarapan pagi perlahan masuk kedalam mulutnya. Perlahan pula, ia juga mulai merasa teduh tatkala senyum wajah sang istri yang terus-menerus menggodanya.

Rambut panjang berwarna hitam bergradasi ungu tua memang daya pikat istri sendiri, ditambah tutur kata sopan bak seorang permaisuri raja.

Laki-laki mana yang tidak merasa beruntung mempunyai istri sepertinya? Hanya orang bodoh yang berkata seperti itu!

"Apa sudah selesai penelitiannya?"

"Belum," singkat Musashi sembari menelan potongan lobak menggunakan sumpitnya.

"Benar-benar belum selesai, atau kau tidak berniat menyelesaikan?"

"Maksudnya?"

"Bukankah kau sering tidak fokus dengan penelitianmu sendiri? Selalu memperluas tema penelitian sampai-sampai kau tidak pernah menitikberatkan diriku di kehidupanmu,"

Seketika, acara sarapan itu berbunyi senyap. Wajah ayu yang sedari dulu memancarkan senyuman, kini beralih menjadi wajah tertekuk tak sedap dipandang. Sepasang tangan yang sedari tadi memegang sumpit dan mangkuk nasi pun kini telah beralih menekuk di depan dada.

Salah.

Sudah salahkah Musashi selama ini?

"Sayang. Kita bukan remaja lagi, bukankah itu katamu ketika ingin menikahi diriku?"

Tak menjawab, jangan menjawab! Ibu rumah tengah marah.

"Sayang. Jangan buat aku menyiksamu,"

"Menyiksaku? Dengan cara apa?" cicit Musashi perlahan dan sayup-sayup.

"Kematian dan perpisahan."

...

"Kau masak makanan barat lagi?"

Buyar, semua masa lalu itu hilang, bersamaan dengan kagetnya Musashi ketika semua makanan sudah tertata di atas meja makan tanpa ia ingat apakah ia tadi memasak atau hanya sekedar melamun saja.

"Ah ya! Tapi aku tak tahu apa nama yang cocok buat makanan aneh ini," jawab untuk Julia yang mematung di depan meja makan.

"Sepertinya kau perlu belajar tentang budaya Jepang lagi, masakanmu tidak semuanya bisa diterima lidah anak-anak,"

"Biar saja, toh hanya itu yang bisa aku masak sekarang, ayo makan saja terlebih dahulu."

Daging cincang yang dimasak matang dengan beberapa bumbu dipadukan dengan telor ceplok yang dibalutkan dalam sebuah roti gandum yang sedikit hangat setelah terkena udara ruangan.

Ya... setidaknya masakannya cukup enak.

Tak berselang lama, suara pintu apartemen terbuka yang kemudian memperlihatkan sosok-sosok tak asing bagi sepasang mata berwarna hijau itu.

Secara tiba-tiba sosok pria besar berambut hitam panjang dengan netra mata semerah buah stroberi datang dengan muka kelaparan. Tanpa memperdulikan penampilan ataupun orang lain ia langsung menyambar roti daging di atas piring, lalu memakannya di lantai.

Selang beberapa detik kemudian, datang pula Hiruzen yang tampak mengantuk bersama Carla.

Duduk sembari menanyakan kabar baru setelahnya mengambil bagian roti mereka, sambil duduk di kursi yang sudah disediakan.

"Bagaimana dengan rencananya?" tanya Carla membuka percakapan.

"Rencana yang mana?" Julia.

"Rencana kabur kita semua, aku ingin tahu jalannya,"

"Makan saja dahulu, baru setelah itu kita mendiskusikan rencana," ujar Julia.

Tak ada yang menolak apalagi membantah, semua orang khidmat akan makanan mereka masing-masing. Menyimpan segala ego mereka di saat-saat seperti ini.
Begitu pula Musashi, berdiam diri memakan roti isi buatannya, sambil memikirkan ini-itu secara diam.

Suara burung kenari membisik dari luar apartemen, bersahutan dengan tetes air keran. Satu demi satu orang telah menghabiskan makanannya, hingga sampai pada di titik tidak ada lagi yang makan.

Semua sudah selesai, maka saatnya untuk membahas rencana pelarian.

Sebuah peta telah dihamparkan di atas meja makan. Tak ada satupun berani berbicara, termasuk Musashi.

"Kota ini luas juga," komentar Maki melihat bagaimana bentuk dari kota tempat mereka singgah ini.

"Ya, begitu juga dengan jalur keluar kita semua."

"Kota ini memang cukup luas, namun tidak seluas Tokyo. Infrastruktur di sini juga menurutku tidak terlalu besar, maklum kota ini masih di kasta rendah kedua.
Namun, yang paling penting ialah kurangnya evaluasi pemerintah kota terhadap infrastrukturnya sendiri," jelas Julia diiringi senyum kecil.

"Apa maksudmu?" tanya Musashi meminta penjelasan lebih.

"Ada beberapa stasiun bawah tanah yang bisa kita gunakan sebagai sarana pelarian kita semua. Beberapa darinya memang memiliki jalur yang mengarah keluar kota, meskipun ini akan beresiko karena kebanyakan stasiun itu sudah terbengkalai, namun inilah jalannya." jelas Julia.

"Lalu, di mana titik penjemputan?" tanya Maki penuh antusias.

"Tentu saja ada, namun sebelum itu, kita harus memastikan jika propaganda kita berhasil,"

Musashi kini sedikit merasa aneh, ada muslihat apa yang akan dilakukan Julia kali ini? Apakah dia akan melakukan hal-hal aneh kembali? Atau justru hal yang lebih masuk akal untuk mengantisipasi kemungkinan-kemungkinan terburuk?

Mengesampingkan hal itu, Julia kembali berbicara, "kita akan menunggu berita yang dikeluarkan muncul ke publik. Membiarkan berita itu menjadi buah bibir dan setelah waktu itu berlalu, maka waktunya kita untuk pergi dari sini,"

"Nyonya, maaf menyela, tapi apa anda ingin kami berjalan menyusuri lorong terowongan bawah tanah yang terbengkalai hingga ke kota sebelah?" protes sekaligus keheranan seorang Hiruzen.

Memang benar apa kata anak pecandu alkohol itu, apa Julia ingin mengirim mereka semua ke terowongan bawah tanah dan membiarkan mereka semua berjalan kaki tanpa bantuan apapun?
Kalau itu Maki, mungkin masih bisa dimaklumi, tapi bagaimana dengan yang lainnya?

"Siapa yang bilang kalian harus berjalan kaki?"

Mendengar kalimat itu, sontak saja Musashi tak dapat bernafas sejenak.

Dan sesuai dugaan semua orang, Julia berhasil memberikan kejutan.

Kejutan tak terduga yang sedikit agak membuat beberapa orang heran.

...

"Kau siap?"

Netra hijau zamrud  kembali tenggelam dalam lautan kehampaan.

Pandangannya mulai kembali fokus. Toko buku, tempat di mana kini ia dan Julia berada.

Dengan tas selempang berbahan kulit, serta jaket tebal berwarna hijau tua kesukaannya, ia akan memulai aksi pelarian bersama Julia.

Sebelumnya. Sekumpulan data dan bukti itu telah berada di tiga tangan orang pilihan Julia, atau mungkin lebih tepatnya Satoshi.

Tiga orang yang memiliki cukup media untuk mengekspos data-data kontroversial tersebut.

Melalui judul koran dan majalah hari ini. "Sudah normalkah aksi pelecehan?" Dan juga satu tajuk, "kami muak dengan preman sok menjadi pendekar!"
Dua judul itu kini menjadi sebuah perbincangan, apalagi dengan siaran radio yang melakukan wawancara dengan salah satu korban dari kesewenangan para pemburu.

Meski begitu, untuk wawancara sendiri, Musashi tak begitu tau bagaimana seluk-beluk dibalik layarnya.
Mungkin saja ada beberapa hal yang direncanakan Julia, tapi lepas dari hal itu, kini... Julia sudah melaksanakan semua ide-idenya.
Kurang dari dua jam, semua hal itu berhasil membakar suasana dan emosi segala lapisan masyarakat.

Banyak yang mulai mempertanyakan, acara-acara televisi serta media cetak berlomba-lomba menjadikannya sebagai bahan berita mereka semua.

Dan kini, tepat di jam sebelas malam, ia dan Julia keluar dari toko buku guna melakukan rencana lanjutan.

"Apa tidak apa-apa kalau semua barangmu kau serahkan kepada Maki?" tanya Julia penuh nada khawatir.

"Tak apa, toh di tasku sudah lebih cukup jika mereka mencoba mengejar. Harusnya aku juga bertanya barang bawaanmu di tas selempangmu juga,"

"Aku sendiri tidak yakin cukup,"

"Lihat, kau sendiri saja juga tidak yakin dengan barang bawaanmu," ejek Musashi kepada perempuan yang tiga centi lebih pendek darinya itu.

"Diam lah Musashi, justru karena hal itu kita harus bergegas pergi,"

"Jangan bilang kau melakukan pertaruhan lagi Julia."

Tak ada tanggapan, baik sekarang sudah saatnya Musashi merasa was-was. Kenapa Julia suka sekali melakukan taruhan di kondisi seperti ini?

Rasa khawatir, was-was serta takut sedikit membuncah dalam langkah kedua insan itu menuju tempat yang akan mereka tuju.
Harapan kalau mereka tidak diikuti akhirnya terwujud, semua itu tidak lain karena berita kontroversi yang diledakan oleh mereka.

Bagaimana pun, satu opini sama bergulir kepada suasana malam ini.

Malam lebih tenang, tampak lebih sepi serta tampak begitu kondusif. Tidak ada pemburu iblis yang berjalan ke sana-sini sembari menenteng katana mereka, atau beberapa gerakan kilat mereka di atas genteng rumah.

Tidak ada aroma-aroma aneh dari kulit para iblis, tidak ada juga suara alarm tanda peringatan bahaya, dan yang terpenting.

Orang-orang sudah beralih penglihatan ke arah drama yang ada.

"Stasiun kereta yang akan kita tuju berada di sebelah taman bermain," monolog Musashi pendek.

"Memang, ada apa Musashi?"

"Tidak ada, aku hanya teringat beberapa hal."

Meski dikata taman, itu bukanlah benar-benar taman yang biasa digambarkan melalui imajinasi orang-orang.

Melainkan sebuah gedung pusat perbelanjaan yang memang menyimpan berbagai macam tempat permainan di dalamnya, termasuk sebuah rollercoaster.

Awalnya, Musashi sedikit kebingungan mengenai letak taman bermain, mengingat tatanan kota yang memang sedikit susah untuk membangun taman bermain. Namun setelah Hiruzen memberitahukan kalau taman yang dimaksud adalah sebuah mall terbengkalai, baru Musashi paham.

Dan sekarang, bermodalkan hanya dengan jalan kaki, kedua orang yang telah hidup lebih dari satu abad itu memulai perjalanan.

Melewati trotoar kosong, lampu remang-remang jalan, serta beberapa lampu dari beberapa bangunan dan rumah.
Jam sembilan malam, mungkin memang terlihat begitu cepat untuk melancarkan aksi pelarian ini, tapi Julia bersikeras jika waktu inilah yang paling cocok untuk memulai segalanya.

Akan tetapi, masalah memang selalu mengintai siapa saja.

Remang malam hari memang membikin segalanya menjadi bahaya tersendiri. Begitulah kira-kira manakala baik Julia dan Musashi berhenti di depan sebuah halte bus.
Suara-suara tak mengenakan tampak mengintai mereka berdua dari belakang mereka.

Menoleh demi memperjelas keadaan, baik Julia dan Musashi sepakat jika ada seorang pria yang seperti mengintai mereka berdua.
Sesosok pria bertubuh kecil dan pendek, tertutupi oleh jaket oversize miliknya serta masker hitam yang ia kenakan.

Pria misterius itu tengah berdiri di pinggir trotoar sembari menatap jalanan kosong, sementara itu sedikit demi sedikit pula, Musashi menyadari jika dibalik jaket oversize itu tersembunyi sebuah senjata, entah senjata apa itu.

Rasa gatal menyergap tangan Musashi, hampir saja ia meraih pistol kesayangan dari balik jaketnya lalu melepaskan tembakan tepat ke arah laki-laki berambut panjang itu. Beruntung, Julia menghentikannya sebelum imajinasi Musashi benar berubah menjadi nyata.

Tangan dingin itu menyadarkan Musashi dari tindakan gegabah, sekaligus memberikan perintah isyarat untuk mengikuti sang pemimpin.

Mengerti akan pesan, Musashi serta Julia lantas kembali berjalan bersama kembali, namun kini sambil bergandengan tangan, memberikan sebuah sinyal palsu bagi para penguntit bahwa mereka berdua adalah sepasang kekasih.

Angin malam mulai menjelajahi segala atmosfer.

Denyut jantung Musashi barangkali sudah berada di fase paling tidak ia sukai. Apalagi ketika akhirnya mereka berdua telah sampai di tempat yang dituju.

Tepat di seberang pertigaan jalan raya, ia bisa melihat gedung mall yang dibicarakan, sementara tepat di depan mereka sudah berdiri pintu terowongan dari jalur kereta yang harus mereka masuki.

Setidaknya rencana awalnya memang masuk ke sana, akan tetapi Julia sigap menarik tangan Musashi, menyebrangi jalan raya lalu masuk ke dalam mall terbengkalai itu hingga ke arah ruang tengah mall.

"Apa yang kau pikirkan Julia? Tujuan kita tidak di sini." protes Musashi sembari menarik tangannya kembali.

"Kita tak tahu jumlah musuh ada berapa, jika kita menarik mereka semua ke terowongan, hanya akan menjadikan rencana kita gagal.

Kita akan ditangkap, jalur pengantaran senjata dan narkoba via jalur bawah tanah juga akan terganggu, dan paling buruknya jaringan milik kita akan hilang,"

"Lalu, apa rencana kita selanjutnya?"

Sejenak, Julia menadahkan wajahnya ke arah langit-langit mall yang gelap lagi penuh belasan ekor kelelawar menggantung, hingga satu kata berkumandang, "membunuh."

Dari arah depan, suara keras nan serak seorang pria berkumandang.

"Kalian para kriminal silahkan tunduk!"

Sejenak, rasa panik sempat menghantui pikiran Musashi, namun kemudian dengan tiba-tiba Julia menembakkan peluru dari pistol bawaannya hingga mengenai pria aneh itu tepat di bagian bahu kanan.

"Cepat! Ayo giring mereka ke game zone!"

Secepat kilat, Musashi lalu membobong tubuh kawannya itu bagaikan karung goni lalu berlari sekencang mungkin menuju game zone.
Beruntung, fisiknya jauh lebih kuat dari manusia kebanyakan. Kuat langkah kaki alchemist itu memecah sunyi di lantai kotor nan penuh potongan besi, pecahan kaca, hingga bangkai itu.

"Ada sepuluh orang mengejar kita!" instruksi Julia membuat Musashi kini mempercepat tempo larinya.

Memaksa makhluk abadi itu untuk lebih cepat serta fleksibel dalam berkelok-kelok dalam gelap.

Hingga tempat akhir itu tiba. Sebuah pintu kaca bertuliskan game zone di atas bagian pintu kini membuat Musashi semakin bersemangat.

Ditendangnya kaca hingga pecah berkeping-keping lalu bergegas mencari sudut paling tepat untuk bersembunyi sebisanya.

Mesin arcade menjadi pilihan utama, mengambil nafas panjang, Musashi mencoba untuk menjernihkan kembali pikiran setelah aksi kejar-kejaran tadi.

"Bagaimana caranya kita keluar nanti?"

"Kau akan tahu nanti." jawab Julia sedikit jutek.

"Apa maksudmu Julia!? Jangan kau berbohong kepadaku!"

"Terima saja keputusanku yang satu ini, toh pada akhirnya mau bagaimana pun, kita akan sama-sama terluka nantinya,"

"Baiklah, apa rencana untuk menyerang mereka?"

"Bunuh saja mereka. Tanpa terkecuali, tanpa ada yang boleh kabur, dan buat mereka menderita."

Sejenak Musashi kembali memperhatikan Julia. Ucapan penuh nada penghakiman nan dingin itu memang sudah sering ia dengarkan. Namun, Musashi masih meyakini jika rasa empati wanita itu masihlah tersisa, dan kini ia menunggu hal itu.

"Aku serius,"

Dan tampaknya... ini bukanlah waktu dimana empatinya muncul.

Musashi lantas mempersiapkan pistol andalannya itu, sementara Julia mulai bersatu dengan kegelapan malam, sembari menarik keluar bilah pedang tersembunyi yang bersemayam dalam tongkat jalannya selama ini.

Kedua insan itu lantas berpencar dalam keremangan, menunggu mangsa mereka berdua datang.

...

Tiga orang pemburu datang, tentu bersama pedang warna-warni milik mereka. Dari arah Barat Daya, diantara sela-sela mesin arcade terbengkalai, moncong pistol Musashi menanti. Hingga ketika salah satu mulai ditinggal sendirian peluru panas dilepas, menembus tempurung kepala pemburu malang itu.

Kaget. Kedua teman sang korban itu kini mengeluarkan senjata api mereka. Sempat Musashi akan membidik tiba-tiba saja satu tebasan pedang datang dari arah belakang keduanya.

Memenggal kepala hingga menggelinding di lantai.

Barang tentu itu Julia yang kini kembali bersembunyi kembali dengan kaki pincangnya.

Tak menunggu lebih lama, datang lagi para pemburu namun kini tampaknya mereka datang lebih banyak lagi.

Tujuh orang, dan salah satunya tampak mengalami luka di bahu. Tampaknya ia adalah orang yang ditembak Julia.

"Cari mereka berdua sampai dapat!" perintah si terluka itu.

Akan tetapi, tembakan beruntun mengarah ke arah mereka tanpa ada satupun peluru yang mengenai sasaran.

Aneh, bahkan Musashi tak percaya akan tembakan asal-asalan itu dikeluarkan oleh Julia.

Ada apa dengannya!? tanya batin Musashi membutuhkan penjelasan lebih soal keanehan itu.
Dan yang lebih anehnya lagi, tembakan itu ia lakukan hingga peluru pistolnya habis.

Membuat tempat persembunyiannya ketahuan.

Baik, jika sudah seperti ini maka Musashi lah yang harus bertindak lebih.

Keluar dari persembunyian, Musashi dengan percaya diri mulai menembaki mereka dengan penuh percaya diri sembari berlari kecil menuju mesin arcade lain untuk digunakan sebagai tameng.

Sampai di mesin arcade yang dituju, kini berondongan peluru menembaki mesin arcade. Sementara Julia tampak tidak kembali melakukan pergerakan lagi. Meski begitu, Musashi sudah siap untuk keluar dan kembali menembaki mereka semua, akan tetapi sebuah bilah pedang berwarna hijau terang kini telah menembus dadanya.

Ya, pedang itu telah menembus mesin arcade, tempat Musashi berlindung.

Darah segar mengucur, tak diberi kesempatan sesuatu dari arah depan tiba-tiba saja muncul dan langsung menancapkan bilah pedang berwarna krem tepat menembus kening Musashi.

Ia lantas menggenggam pedang sang pemburu di depannya, lalu setelah beberapa saat, secara ajaib bilah pedang tersebut berubah menjadi bongkah logam mentah yang jatuh ke tanah. Musashi lantas menarik paksa tubuhnya dari tusukan pedang dibelakangnya lalu berdiri tegak sambil menebarkan tatapan penuh teror.

Luka yang perlahan tertutup begitu cepat, membuat sang pemburu mulai kalang kabut pikirannya.
Musashi lantas mengambil kapak andalannya dari balik pinggang. Sekarang, Musashi sudah lebih tahu porsinya dalam pertarungan ini.

Tanpa berlama-lama, sang pemilik pedang hijau memunculkan suaranya yang kering lagi menggelegar. Dibarengi pula satu orang pemburu wanita di sisi kanannya yang membawa pedang berwarna.

"Pergilah Kuro, tangkap iblis yang satunya lagi," perintah suara serak itu dari belakang Musashi.

Pria yang kehilangan pedangnya akhirnya pergi, menyisakan dua orang pemburu yang siap membunuh Musashi.

Terlebih dahulu pria dengan pedang hijaunya maju menghadapi Musashi. Ia memasang kuda-kuda yang cukup provokatif, sejalan pula dengan kecepatan serangannya yang begitu tinggi serta agresif.

Ayunan pedang itu terus mencoba membelah dadanya. Semakin lama semakin cepat pula kecepatannya, namun, Musashi berhasil menghindari semuanya, ya, semuanya! Hingga pendekar itu mulai marah.

Suara nafas tak beraturan dikeluarkan sang pendekar, menandakan stamina yang tak lagi kuat. Ini kesempatan, maka giliran Musashi melakukan gerakan serangan.

Tak seperti lawannya, Musashi menggunakan gerakan yang lebih lambat, namun diiringi dengan tenaga maksimalnya sebagai manusia super.

Satu serangan Musashi berhasil ditangkis sang pemburu, membuatnya sedikit terdorong kebelakang.
Dua kali serangan berhasil mengacaukan kuda-kudanya.
Dan di serangan ketiga, suara besi yang dipatahkan secara paksa santer terdengar nyaring. Pedang sang pemburu telah pecah, membuat sebuah gemetar rasa takut bagi sang pemburu.

Selesai? Tentu belum!

Musashi lalu meraih kerah baju pemburu  itu, lalu meninju mukanya sebanyak sepuluh kali dengan kekuatan penuhnya.

Dan samar-samar Musashi dapat mencium aroma anyir keluar dari wajah orang yang baru saja ia hajar.

Selesai sudah, orang yang baru ia pukul jelas tidak akan bangkit untuk beberapa waktu ini. Kini tinggal membereskan satu orang lagi, dan kalau tidak salah, Julia mengatakan jika ia harus membunuh semuanya kan?

Memalingkan wajah ke atensi awal, Musashi sudah kehilangan perempuan berani tadi, kembali diambilnya pistol dari sarung.

Dan secara mengejutkan sebuah peluru melintasi pipi kanannya, menciptakan luka baret kecil di sana yang secara ringkas mulai sembuh dengan cepat. Mata hijau zamrud itu sudah mendapatkannya, tepat lima meter di depannya, si pemburu itu tengah bersembunyi bersama senjata apinya.

Tak ingin banyak gaya, Musashi lekas menembaki mesin arcade tempat sang mangsa berlindung.

Pelatuk dilepas, dan puluhan peluru mulai berterbangan menembus mesin. Satu hal yang tidak perempuan itu ketahui adalah fakta jika pistol milik Musashi yang sama sekali tidak perlu isi ulang, alias peluru didalam pistolnya akan terus terisi tanpa ada jeda.

Peluru demi peluru telah Musashi keluarkan, hingga tak terasa jika moncong pistolnya telah mencapai titik didihnya, setidaknya itulah hal pertama yang diketahui Musashi manakala setitik besi cair jatuh di hadapannya, dibarengi pula dengan sebuah kepala seseorang yang jatuh tergeletak dengan beberapa lubang yang ada di tempurung kepalanya.

Berniat untuk memperbaikinya, tiba-tiba saja satu semerbak harum bunga mengucur di setiap ujung hidungnya. Bau bunga yang sama seperti dahulu.

Secepat kilat Musashi memalingkan wajahnya, mengabaikan musuhnya yang telah tergeletak tak bernyawa dibalik mesin arcade itu.

Suara dencing pedang yang begitu nyaring terdengar menembus kegelapan. Terlambat bagi Musashi untuk segera menyadari jika Julia bisa saja sedang dalam bahaya. Mengingat sedari tadi, ia begitu fokus melawan musuh-musuh kroco.

Segera Musashi berlari menuju bagian dalam dari game zone ini. Area di mana akan banyak sekali wahana permainan yang telah ditinggalkan lagi berkarat.

Detik terus mengalir mengisi waktu, membikin Musashi semakin was-was hingga akhirnya ia bisa menemui sumber suara.
Di depan pintu wahana roller coaster, Julia tengah berdiri, mempertahankan kuda-kuda terbaiknya sambil mengacungkan bilah tajam pedang miliknya, meski kini sudah ada enam orang tengah mengepung dirinya.

Musashi dengan gerakan refleks langsung melepas peluru dari pistol yang telah meleleh itu, menciptakan suara keras nan menderu dari moncong pistol.

Melesat tak sempurna, namun berhasil melubangi tempurung kepala seorang pemburu laki-laki yang hendak menyerang Julia. Memberikan Musashi kembali sebuah nomor nyawa malam ini. Semua mata mengarah kepadanya, tapi tentu saja, Musashi tak gentar sedikitpun.

Kembali ia angkat kapak andalan, lalu menyarungkan pistol meleleh tadi, memberi gambaran pada mereka jika ia siap untuk baku hantam jarak dekat. Akan tetapi, sebuah aroma pekat tengah mendatangi dirinya.

Musashi kontan menoleh ke belakang, di sana sudah tampak seseorang dengan balutan semacam jubah? Panjang ditemani pula pedang yang mengeluarkan warna ungu yang begitu terang, hanya saja ada sedikit keanehan di pedang itu.

Bilahnya tampak tidak sempurna, sebagian besar bilah pedang itu sudah dikikis menyisakan bagian ujung bilah saja yang masih memiliki bagian tajamnya.

Rasa kecut mendera. Kembali Musashi melakukan kuda-kudanya kembali, menyambut segala gerakan penyerangan yang ada.

...

Beberapa detik berjalan begitu saja, hingga secara mengejutkan ada hal ganjil yang tiba-tiba Musashi rasakan.

Suhu ruang tiba-tiba saja menjadi sangat dingin, hingga bisa Musashi bayangkan jika suhunya hampir sama seperti di sebuah kulkas. Meski begitu, bisa Musashi lihat jika banyak sekali orang-orang yang tidak terlalu acuh terhadap perubahan drastis ini.

Mengabaikan hal itu, pertarungan kembali terjadi.

Kali ini, sesosok misterius itu maju menghadapinya, keduanya lantas mengadu kedua senjata tajam mereka.

Sementara Julia di lain pihak juga bertarung begitu intens. Musashi sudah tahu bagaimana gaya bertarung Julia yang akan lebih mengandalkan pertahanan ketimbang posisi menyerang yang intensif. Meski begitu jangan remehkan iblis berkaki pincang itu.

Gaya berpedang Julia itu sangat hebat, setidaknya itu terbukti dengan dua lolongan kesakitan seorang pria dan seorang wanita yang perutnya sudah ditebas oleh Julia, dan mengeluarkan segala isi organ dalamnya.

Kini, gerakan Musashi semakin cepat mengikuti tempo gerakan orang yang ada di depannya. Dengan teralihkan perhatian pemburu lain ke Julia, memberikan Musashi keuntungan untuk lebih fokus pada pertarungannya dengan sosok berjubah ini.

Musashi lantas mundur beberapa langkah, mengambil sedikit nafas sembari memperhatikan beberapa gerak-gerik dibalik kegelapan. Kegelapan memang bukanlah hal yang menyulitkan dirinya sendiri, karena matanya mampu melihat dengan baik di keadaan gelap seperti ini, meskipun harus diakui ia masihlah memiliki kekurangan.

"Apa kau sudah kelelahan, pemburu?" tanya Musashi mengejek lawannya yang tampak ngos-ngosan.

"Aku kelelahan? Tentu saja tidak!" jawab orang itu dengan nada bicaranya yang tampak lembut, sekaligus menyihir Musashi untuk kembali terdiam.

'Suara itu, tidak mungkin!'

Ingatan demi ingatan terbuai begitu saja. Ingatan dari tiga abad yang lalu, ingatan ketika ia masih menjadi seorang peneliti di rumahnya yang sederhana ditemani oleh suara tawa serta ucapan cerewet istrinya.

Yah....

Aroma wewangian bunga wisteria lalu merangsek masuk memenuhi rongga hidungnya, sementara telinganya kembali berdengung suara-suara centil nan manis nyanyian rindu yang selalu didendangkan kepadanya dahulu.

Tak salah lagi.

Jika kemarin ia sudah bertemu dengan kakak iparnya.

Maka sekarang, istri tercinta sudah hadir tepat di depannya.

Kapak Musashi lantas meluncur turun dari genggaman tangannya, air mata mulai tumpah membasahi pipi, rongga dada mulai sesak dilipat oleh rasa rindu.

"K...kau, Shinobu, kan?"

"Ya, kenapa memangnya?"

Tak kuasa menahan rindu, sergapan pelukan hangat lantas Musashi berikan, mendekap tubuh kecil Shinobu yang tampak tidak berubah sedikitpun.

Shinobu jelas memberontak disertai teriakan untuk melepaskan diri dari pelukan Musashi yang kadung terlalu kuat.
Segera Musashi lantas membenamkan wajahnya ke pundak Shinobu dan langsung meluapkan semua tangisannya, mengabaikan protes Shinobu terhadapnya.

Tanpa direncanakan, Julia secara tiba-tiba saja berteriak kesakitan. Membuat perhatian Musashi dan Shinobu secara bersamaan tertuju ke arah iblis berkaki pincang itu. Sedetik kemudian, Musashi mengerti apa yang sedang terjadi.

Julia kembali kehilangan kesadarannya!

Ini gawat! Salah-salah bisa saja kepribadian lain yang akan mengambil paksa tubuhnya.

Musashi lantas memegang kedua pundak Shinobu dengan amat sangat erat, lalu menatap sosok gadis yang sudah tidak lagi mengingat dirinya dengan penuh raut kekhawatiran, lalu berkata.

"Apapun yang terjadi, jangan kejar aku, pergi dari sini secepatnya, aku tak mau jika kau sampai terluka lagi."

Musashi lalu pergi, meninggalkan Shinobu yang tampaknya sangat amat kebingungan atas kejadian yang baru saja mengenainya. Sementara Musashi jelas saja gugup, dalam penglihatannya ia bisa melihat sedikit siluet tubuh Julia yang tampak terkulai lemah di atas lantai ruangan.

Sementara di lain pihak, Musashi juga melihat bagaimana dengan mudahnya Julia menghabisi para pemburu iblis yang mengepung dirinya, membuat mereka terkapar di lantai dengan dipenuhi luka-luka berat dan hanya menyisakan satu orang pemburu dengan pedang yang memiliki bentuk meliuk-liuk bagaikan seekor ular.

Acuh terhadapnya Musashi gegas mendekap tubuh Julia yang tampak memanas.
Tangan kiri Musashi lantas merogoh isi tasnya, mencari obat yang ia cari-cari sembari sesekali memberikan kata-kata penenang.
Hingga benda yang ia cari akhirnya telah didapat.

Satu buah suntikan berisi cairan menyala berwarna merah pekat. Musashi kemudian melinting lengan jas Julia, lalu membidik jarum suntik itu ke pergelangan tangan Julia, memasukan cairan menyala itu demi menenangkan tubuh Julia dari pengaruh kekuatan jahat yang bersemayam dalam tubuhnya.

Selesai dengan itu, Musashi lalu kembali memandangi area di depannya. Ia hanya berharap jika pemburu dengan pedang meliuk itu adalah musuh terakhir, sehabis itu ia akan membawa serta Shinobu bersamanya untuk dipulihkan ingatan masa lalunya.

Ya, setidaknya itu rencana awal, sebelum suara rombongan orang mulai berkumandang menuju ke arah mereka.

Baiklah, ini di luar prediksi.

Setidaknya, dia dan Julia sulit dibunuh.

Tapi ya. Jika lawannya begitu banyak, apa yang bisa ia lakukan?

"Tampaknya akan ada acara makan besar nih!"

Sahutan tidak dikenal lalu merangsek di tengah situasi seperti ini. Tidak! Itu bukan suara Maki, Carla, ataupun Hiruzen.

Suaranya seperti seorang pria, dengan nada bicara yang sedikit dibuat centil, dan arahnya berasal dari salah satu sudut lintasan roller coaster dibelakang Musashi.

Belum lagi Musashi memikirkan apa yang sebenarnya terjadi. Sebuah lubang hitam misterius tiba-tiba aja muncul dibawah mereka berdua, membuat Musashi serta Julia terjatuh ke dalamnya.

Kegelapan memenuhi segala hal. Namun, di dalam kegelapan ini pula, Musashi dengan jelas mampu melihat berbagai macam benda-benda aneh tampak berterbangan bagaikan tak memiliki gaya gravitasi.
Sementara dirinya justru seperti tertarik menuju bawah dari tempat aneh ini.

Satu hal yang segera Musashi sadari adalah, ia diselamatkan oleh Maki.

Segera setelah itu. Sebuah lubang lainnya segera Musashi lewati, membuatnya dan Julia terjatuh di atas lantai sebuah gerbong kereta yang kumuh.

Rasa penat dan lelah menghajar benaknya.
Perlahan, matanya mulai tertutup, dan dari kejauhan samar ia dengar suara penuh gelisah dari Carla.

Namun... Musashi sudah teramat lelah untuk menanggapi.

Maka, Musashi lebih suka untuk terlelap dalam tidurnya.

Menunggu ke mana kendaraan ini membawa mereka.

TBC.

Arc selanjutnya

"Kita dan Mereka"

.
.
.

Kapak kepunyaan Musashi.

Namanya: Taring Hiu
Ilustrator: Miracle Pencil

Pistolnya nyusul :v

Oh ya, kasih kritik dan saran juga, bye :)

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro