Bab6 | Sedih yang Terkalahkan
Budayakan memberi vote beserta comment tentang cerita ini. Author harap, komentarnya yg antimainstream, huaa.
***
Kemarin, bahkan hari ini Syifa merasa senang karena Bagas akan mengajaknya ke suatu tempat, namun tiba-tiba malah disuguhi wajah datar Bagas. Entah ada apa dengan Bagas. Kali ini, dia lebih banyak diam dan berbicara seperlunya pada Syifa.
Saat itu, Syifa sedang berada di dalam mobil milik Bagas. Bagas yang berada di sampingnya tengah fokus pada jalanan. Semakin lama, semakin Syifa merasa bosan. Dari tadi Bagas tak mengajaknya bicara. Syifa menatap lekat wajah teduh Bagas. Wajahnya, seperti menyiratkan kesal, sedih, dan kecewa. Apa Bagas sedang ada masalah?
"Kak..." Syifa memecah keheningan di antara keduanya.
"Hmm." Bagas hanya berdeham pelan.
"Lagi ada masalah, ya?" tanya Syifa namun tak di respon sama sekali oleh Bagas.
"Lo kenapa sih? Apa lo sakit? Apa gue ngelakuin kesalahan, hingga buat lo gak mau ngomong sama gue?" tanya Syifa.
Tak ada balasan dari Bagas. Adanya Syifa di samping Bagas ibarat angin, yang hembusannya terasa, namun tak terlihat.
Syifa berdecak kesal. "Gue kemaren udah belajar ngaji demi lo, Kak. Itu gue lakuin biar lo gak marah sama gue," ucap Syifa sambil menyilangkan kedua tangannya di depan dada.
Bagas menghembuskan nafasnya kasar. "Kamu belajar ngaji itu niatnya harus karena Allah, jangan karena aku."
Syifa senang saat Bagas kali ini berkata sedikit panjang dari sebelumnya. Meski Syifa juga kesal terhadap ucapan Bagas barusan. "Kakak kenapa sih?" tanya Syifa saat melihat ada perubahan sikap pada Bagas.
"Kenapa apa?"
"Sikap kakak jadi gini."
"Hmm... Nanti kakak jelasin."
***
Akhirnya mereka sampai di tempat tujuan. Yaitu di sebuah kafe Anggrek, tempat diamana dulu, Syifa dan Bagas pertama kali menjalin hubungan. Sudah lama mereka tidak mendatangi tempat itu, namun tempat itu masih sama seperti dulu. Syifa tersenyum, melihat sekeliling tempat yang menurutnya bagus itu. Termasuk lukisan-lukisan bunga anggrek dengan berbagai warna yang indah. Syifa menyukai itu.
Saat itu Bagas masih belum membuka suaranya. Dia menunduk, seperti tengah merangkai kata-kata yang tepat untuk menyatakan tujuannya. Bagas mengusap kepalanya kasar, ada rasa gelisah dan takut di hatinya. Sedangkan Syifa yang melihat itu hanya mengernyitkan dahinya bingung.
"Ka Bagas kenapa sih?" tanya Syifa, kemudian menyedot hot chocolate yang dipesannya.
"Emm, Kakak...," ucap Bagas terhenti karena kerauannya.
"Kakak kenapa? Kakak ada masalah? Atau ada apa kak? Ayolah jawab ka."
"Sepertinya, kita harus mengakhiri hubungan kita," ucap Bagas susah payah sambil menunduk.
Mendengar itu, Syifa langsung terpaku. Hatinya seperti tertusuk oleh ribuan duri-duri tajam, hancur sudah hatinya. "Kakak pasti bercanda, kan?" Syifa berusaha memastikan bahwa Bagas tidak sungguh-sungguh mengatakannya.
Berharap respon dari Bagas adalah anggukan sambil tersenyum jail ke arah Syifa. Namun Syifa salah besar, respon Bagas justru sebaliknya. Sebuah gelengan lemah dari Bagas, tanda bahwa iya tidak bercanda.
Sakit. Terasa sangat sakit sekali hatinya mendengar perkataan Bagas. Air matanya sudah menggenang. Baru kali ini seorang Syifa menangis karena cinta. Bagaimana tidak, Bagas ini adalah cinta pertamanya.
"Maafin kakak, Asyifa," ucap Bagas pelan.
Benteng pertahanannya seketika roboh. Syifa menangis, tepat dihadapan lelaki yang sangat ia sayanginya itu. Hatinya semakin sakit saat Bagas tidak memanggilnya dengan sebutan 'Fafa'−panggilan khusus untuk Syifa.
Syifa berusaha tersenyum, meski terasa kaku. "Gue pulang! Makasih udah bikin hati gue sakit, lo baik banget."
"Asyifa tunggu," tahan Bagas saat Syifa bangkit dari duduknya.
Lagi-lagi panggilan itu, kemana panggilan 'Fafa' yang dulu suka lo sebut? tanya Syifa dalam hati.
"Gue belum jelasin alasannya," lanjut Bagas.
"Gak usah repot-repot jelasin, gue udah cukup kecewa. Lo pasti mau balikan lagi sama Fiany, kan? Lo jadian sama gue karena lo mau manas-manasin si Fiany doang kan? Bukan karena lo sayang sama gue?" Syifa menangis sesenggukan.
"Bukan karena itu semua," ucap Bagas, "Fafa...," lanjut Bagas.
"Sekali lagi, makasih," ucap Syifa bergetar karena menahan tangisnya.
Syifa berlari, meninggalkan tempat itu. Tempat dimana dia memulai dan mengakhiri hubungannya dengan Bagas. Syifa juga sudah menduga, bahwa Bagas tidak sungguh-sungguh mencintainnya. Syifa hanyalah seorang anak kelas 10 yang terkenal dengan ketidak sopanannya pada orang yang lebih tua.
"Bodoh! Gue kan, gak bawa mobil, mau pulang gimana coba? Mana udah sore lagi," keluh Syifa sambil menghapus sisa air matanya.
Syifa berlari menuju pintu keluar, namun tanpa disengaja, dia menabrak seseorang yang tengah membawa segelas minuman. Hingga minuman itu tumpah ke baju Syifa. Dan saat itu Syifa sudah lupa, bahwa ia sedang bersedih. Rasa sedihnya telah terkalahkan oleh rasa kesalnya pada lelaki yang telah membasahi bajunya.
"Ish! Kalo jalan tuh, matanya dipake. Orang lagi sedih, lo, malah dibikin kesel," gerutu Syifa pada lelaki dihadapannya itu sambil menyeka air matanya.
"Eh, harusnya lo yang matanya dipake. Liat nih, minuman gue, tumpah semua kan?" balas lelaki dihadapannya itu.
"Tau ah! Lo mesti tanggung jawab!"
"Lo juga mesti ganti minuman gue!"
"Ah, minuman doang mah gampang. Tanggung jawab!!!"
"Yaudah, jadi gue mesti gimana hah? Beliin baju buat lo?" tanya lelaki itu.
Syifa seperti sedang berpikir sambil mengetuk-ngetuk jari telunjuk pada dagunya.
"Lo harus hibur gue," pinta Syifa.
"Hibur pake apa? Balon? Gue gak punya balon," ucapnya ketus.
Syifa mendelikkan matanya. "Lo harus bikin gue gak sedih lagi."
"Masa cewe judes kaya, lo bisa sedih sih?" ucap lelaki itu.
Syifa menunduk lesu, ia teringat pada Bagas. Tiba-tiba, ada seorang lelaki berkacamata yang datang menghampiri keduanya. "Zidan? Kamu lagi sama siapa?" tanya lelaki itu.
Reflek, Syifa menoleh ke arah sumber suara. Dan betapa terkejutnya Syifa saat ia tau bahwa lelaki itu adalah Azam. "Lo kenal, sama cowo nyebelin ini?" tanya Syifa pada Azam.
"Eh enak aja ya, gue disebut nyebelin."
"Ini adik saya, Ukh," ucap Azam sambil menampilkan senyum tipisnya.
Syifa tersenyum sinis. "Kakak sama adik sama aja, sama-sama nyebelin."
"Lo juga ngeselin!" Zidan tak mau kalah.
"Udah, Zidan. Sejak kapan sih, kamu bersikap kaya gini ke perempuan?" tanya Azam.
"Sejak ketemu sama cewe ngeselin ini."
Syifa menyilangkan tangannya di depan dada sambil mendelik ke arah lain. Cape. Mungkin itulah kata yang tepat untuk mendeskripsikan keadaan Syifa saat itu. Selain cape hati, dia juga cape beradu mulut dengan lelaki yang mengaku sebagai adik dari Ustadz muda yang kemarin mengajarnya mengaji.
"Udah ah, gue lagi sedih. Gue abis putus, sampe lupa deh kalo gue tadi lagi sedih," curhat Syifa sambil menampakkan wajah sendunya.
Mendengar itu, Zidan tertawa puas. "Haha, kasian banget."
"Sssttt! Kamu ini apaan sih, orang lagi sedih malah diketawain," ucap Azam.
"Eh Ustadz muda, itu adik lo gak punya hati ya? kok, bisa hidup sih?"
Azam tersenyum mendengar perkataan Syifa. "Maafkan adik saya ya, Ukhti."
Lagi, Syifa memutar bola matanya jengah. "Lagi dan lagi lo panggil gue Ukhti, udah gue bilang kalo gue Syifa. Mau sampai kapan sih lo panggil gue Ukhti? Sampe gue balikan lagi sama mantan gue?" gerutu Syifa.
Zidan yang berada di sampinya tertawa terbahak-bahak mendengar perkataan Syifa. Setiap kata, kalimat bahkan paragraph yang Syifa ucapkan seakan menjadi hiburan tersendiri bagi Zidan. "Lo itu, cewe ter-kocak yang pernah gue temuin," ucap Zidan dengan sisa tawanya.
"Terserah lo, gue gak peduli," ucap Syifa lantas pergi, berlalu dari Azam dan Zidan.
"Ukhti, tunggu," tahan Azam.
"Kenapa?" Syifa menoleh.
"Jika Ukhti lagi sedih, coba ambil wudhu, terus sholat dan ingatlah Allah. Insyaallah hati Ukhti akan tenang." Azam tersenyum.
"Terserah Pa Ustadz muda aja lah."
Lantas Syifa pergi, bukan hanya meninggalkan 2 lelaki itu, tapi juga meninggalkan adu mulutnya dengan adik dari Ustadz muda itu. Syifa mendengus kesal, saat dia ingat, bahwa ia tidak membawa kendaraan. Sialnya lagi, ponselnya mati karena kekurangan energy. Syifa berdiri mematung di pinggir jalan, berharap sebuah taxi kosong segera datang.
Kalo perlu, kirimin Syifa seseorang yang baik hati, yang dengan senang hati mengantar Syifa pulang ke rumah dengan selamat, Ya Allah, batin Syifa sambil memejamkan matanya.
"Fafa belum pulang? Ehm, maksudnya, Syifa." Ucapan itu berhasil membuat Syifa membuka matanya kembali.
Betapa terkejutnya Syifa, saat mengetahui bahwa yang menyapanya itu adalah pacarnya, ehm, mantan pacar maksudnya. Seketika, rasa sakit itu kembali terasa. Ia teringat kejadian tadi, saat Bagas memutuskannya, tepat di tempat Bagas menembaknya dulu. "Ngapain, lo nyamperin mantan lo ini?" tanya Syifa ketus.
"Kakak mau jelas-," ucap Bagas langsung terpotong.
"Engga usah, makasih!" ucap Syifa sambil berjalan, sedikit menjauh dari Bagas.
Syifa merasa, matanya ingin mengeluarkan air lagi. Namun Syifa segera menghapus air yang masih berada di pelupuk matanya itu. Lo gak boleh cengeng, cepat atau lambat, lo pasti bisa move on. Semangat Fafa cantik, batin Syifa.
Usahanya untuk menahan tangis ternyata nihil, tiba-tiba airmatanya meluncur lagi di pipi dengan bebas. Fafa cantik, adalah 2 kata yang sering Bagas ucapkan untuknya. Namun itu dulu.
"Ukhti kenapa nangis?" tanya seorang lelaki yang ternyata bernama Azam.
Syifa menoleh. Matanya terlihat sayu, membuat Azam tidak tega melihatnya. Syifa langsung mengusap kasar pipinya yang basah. Dia tidak ingin terlihat lemah dan cengeng.
"Bukan urusan lo juga, kan?"
"Ukhti, kenapa masih ada disini?"
Selalu saja. Azam selalu mengalihkan pembicaraan. Dan Syifa tidak menyukai itu. "Gue nunggu taxi."
"Ini sudah hampir malam, Ukhti tidak takut sendirian? Perempuan kan, tidak baik jalan sendirian."
"Mau lo apa? Hah? Kalo mau, anterin gue pulang."
Azam hanya diam. Dia tidak mungkin berduaan dengan Syifa di mobilnya.
"Kalo ga mau gapapa sih. Paling, besok jangan heran aja kalo gue gak belajar ngaji bareng lo lagi karena gue diculik orang."
Azam beristigfar. Gadis yang berada di sampingnya ini adalah anak dari kerabat Abinya, jadi, apa salahnya jika Azam menolong gadis ini?
Masalahnya, Azam tidak suka berdekatan dengan lawan jenis. Bukan karena jijik atau apa, tapi karena dia ingin menjaga pandangannya. Terlebih, Azam sendiri mengetahui bahwa lelaki itu mudah jatuh cinta dan jika itu terjadi, kadang akan sulit untuk menahan pandangan.
"Kak, ayo ah, kita pulang. Udah hampir magrib nih," ucap Zidan sambil menepuk pundak Azam.
O iya, hampir saja Azam lupa, bahwa iya bersama adiknya. Ah, Zidan memang kadang selalu terlupakan oleh Azam.
Melihat Zidan, Syifa memutar bola matanya malas. Euh, cowo nyebelin ini lagi, batin Syifa.
"Kita anter Ukhti Syifa pulang dulu," ucap Azam sedikit tegas.
Syifa melirik ke arah Azam. "Apa lo bilang? Ukhti Syifa? Ini nama apaan lagi sih, Pa Ustadz muda?"
Mendengar itu, Zidan tertawa, sedangkan Azam hanya terkekeh pelan. "Haha, udah ah, sekarang anggap aja impas. Lo manggil kakak gue Pa Ustadz muda, sedangkan kakak gue manggil lo Ukhti Syifa," ucap Zidan dengan sisa tawanya.
"Eh, adiknya Ustadz muda, emang dia gitu ya orangnya?" tanya Syifa pada Zidan.
"Gitu gimana?" Zidan mengerutkan dahinya.
"Suka ngubah nama orang."
Seketika, tawa Zidan semakin pecah. Sungguh, sudah tak tahan lagi ia mendengar perkataan Syifa. Zidan tau bahwa Syifa tak mengerti kata 'Ukhti' itu artinya apa, namun Zidan membiarkan Syifa tak tau artinya. Biarin lah, kapan lagi kan gue ngakak sama omongan cewe ini, kata Zidan dalam hatinya.
Melihat Zidan tertawa, Syifa menonjok pelan lengan Zidan. "Malah ketawa lagi."
Zidan langsung mengusap-ngusap lengan yang tersentuh oleh Syifa. "Eh, kita bukan mahram. Kalo mau pegang-pegang, kita nikah aja dulu!" ucap Zidan sambil terkekeh.
Sikap Zidan pada perempuan memang seperti itu; selalu menggoda. Tak memandang apakah perempuan itu bersikap lembut atau bahkan ketus seperti Syifa. Sikap itu tentu saja turun dari Ayahnya, Faqih.
"Eh, Pa Ustadz muda. Gue Cuma mau bilang tiga kata buat lo." Syifa memberi jeda sejenak. "ADIK LO, NYEBELIN!" ucap Syifa dengan memberi penekanan pada setiap katanya.
Syifa memang seperti itu. Setiap ada satu kejadian, pasti akan mudah dilupakannya dalam waktu sekejap. Itu terjadi, apabila ada orang yang berhasil membuatnya jengkel. Seperti saat ini, dia sudah lupa bahwa tadi dia tengah menangis karena telah diputuskan Bagas. Namun seketika tangisnya terhenti hanya karena rasa kesal dan marah.
Jika amarahnya telah reda, pasti, dia akan ingat kejadian sedih yang terjadi beberapa jam yang lalu. Saat orang yang ia cintai, justru menyakitinya. Syifa akan selalu ingat kejadian pahit tadi, ia akan lupa ketika dia sedang kesal pada seseorang saja.
***
#11062017
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro