Bab38 | UNDANGAN
Mungkin, ada yang lebih baik dari dia. Makannya Allah jauhin dia dari kamu. (Ardhan)
Jangan terburu-buru, tapi disegerakan jika sudah siap segalanya. (Bagas)
Hatinya memang belum ada persiapan untuk menerima semua ini. Azam baru paham, bahwa itu adalah sebuah tolakan halus yang terlontar dari mulut Syifa. Dia tau ini hanyalah masalah dunia. Ini hanya masalah hati. Tapi ternyata itu terasa sakit.
Akhir-akhir ini Azam bersikap lebih dingin dan memilih untuk banyak diam dari biasanya. Dia masih bisa tersenyum, tapi sulit bagi siapa saja yang ingin mendapatkannya. Dia memang harus belajar lebih banyak lagi tentang kesabaran dan keikhlasan.
"Dhan, Ane nekat banget ya, ngelamar orang yang dulu pernah Ane sakitin?" curhat Azam pada Ardhan setelah mereka sholat sunnah ba'da Dzuhur di masjid Al-Ikhlas.
"Itu karena Ente gak hati-hati, Zam. Ente tuh terlalu ngikutin nafsu! Baru tau Fatimah itu Syifa, maen langsung panggil-panggil aja orangnya. Mana langsung ngelamar lagi. Pikiran Ente masih kacau sama kesalahan Nurul. Dan Ente pun gatau apa-apa tentang Syifa. Bisa jadi dia udah dilamar. Sedangkan kita gak boleh ngelamar orang yang udah dilamar," nasehat Ardhan sambil menepuk pundak Azam.
Hati Azam bagai teriris pisau tajam. Terasa ngilu.
"Berarti Ane harus ngikhlasin dia ya, Dhan?"
"Seratus buat Sepupu Ane yang ganteng ini."
"Berat banget," keluh Azam.
"Yaah jangan lemah gara-gara cinta! Percayalah, keikhlasan itu akan terbayar indah dengan apa yang jauh lebih baik dari Allah. Semua orang memang banyak yang jadi lemah gara-gara cinta. Tapi manusia sejati itu yang mampu kuat dan tegar menerima apapun yang terjadi. Seremuk apapun hatinya.
"Karena dia tau, ada Allah yang Maha Mengatur. Lagipula, Allah pula yang bikinin skenario kehidupan kita. Kita cuma Aktor yang berperan mengikuti alurnya. Adapun untuk menggapai hal yang lebih, kita perlu sungguh-sungguh ikhtiar yang dibarengi dengan doa.
"Gak perlu khawatir lah, masalah jodoh mah udah ditulis di lauh mahfudz. Mungkin ini cara Allah, agar kita lebih memperbaiki diri dan mempersiapkan diri. Barangkali kita belum sepenuhnya siap segala hal. Kan, Allah Maha Tahu.
"Mungkin, ada yang lebih baik dari dia. Makannya Allah jauhin dia dari kamu. Mungkin juga ada yang lebih baik dari kamu, makannya dia Allah jauhin." Nasihat Ardhan panjang kali lebar kali tinggi.
Ardhan benar. Tidak biasanya Ardhan bijak seperti ini.
Manusia memang harus selalu siap menghadapi hal apapun yang tak terduga terjadi. Itu semua tidak lain agar manusia bisa bersabar dulu dan mengembalikan semuanya kepada Allah.
"Makasih banyak ya, Dhan."
"Dengerin Ane ya, Zam. Terkadang seseorang menjadi bijak itu karena dia pernah mengalaminya. Haha, soalnya Ane ngalamin ditolak. Ente gak tau ya?" Ardhan terkekeh pelan saat mengingat kembali hari dimana ia ditolakoleh seorang gadis.
Azam terkejut. "Hah? Kapan Ente ngelamar orang, Dhan? Terus Ente ngelamar siapa?"
"Ah udaah, jangan ingetin Ane lagi sama masa lalu. Nanti Ane galau lagi, Zam."
"Seorang Ardhan bisa galau juga ya, haha."
"Ardhan juga manusia, Zam. Punya rasa dan punya hati."
Setelah mengobrol cukup lama dengan Ardhan, Azam pun masuk ke dalam ruangan khusus Sang Abi. Lebih tepatnya tempat untuk Abinya bekerja dan merenung. Di sana tak ada siapapun, hanya ada sepoian angin dari Air conditioner.
Ting!
Ponsel Azam berbunyi, tanda ada sebuah pesan masuk. Segera ia membukanya. Ternyata itu adalah pesan dari teman SMP nya dulu.
Entahlah ada hal penting apa, yang pasti saat itu Azam tidak ada kesibukan. Sekalian untuk mengisi waktu kosong, lumayan bisa ia isi dengan silaturahmi dengan Bagas, teman SMP nya. Azam pun bersiap-siap ke masjid untuk melaksanakan Sholat Ashar berjamaah karena beberapa menit lagi Adzan Ashar akan dikumandangkan oleh santri.
Setelah melaksanakan Sholat Ashar, bersama dengan para santri, Azam membaca Al-Ma'tsurat. Dia duduk diantara dua santri yang berjajar. Mereka semua membacanya dengan sangat khusyuk, mungkin kecuali orang-orang yang mengantuk saat itu. Sebagaian santri yang bertugas sebagai Ruhiyah membangunkan santri yang bahkan sampai ada yang tertidur saat Al-ma'tsurat. Jika sudah lebih dari tiga kali ketahuan tertidur, maka ia diberdirikan.
Selesai Al-ma'tsurat, Azam meminta izin pada Aisyah, Uminya untuk pergi. Setelah mendapat izin dia pun pergi.
Ketika berada di gerbang pesantren, motor yang dibawanya berpapasan dengan mobil Ferrari berwarna merah. Sepertinya Azam ingat itu mobil siapa. Ya, itu mobil yang dulu Syifa pakai saat SMA. Melihat itu, membuat Azam ingat kembali saat ia masih mengajari Syifa ngaji. Saat itu tingkah dan sikap Syifa sangat lucu. Tak jauh beda dengan tingkah anak kecil. Mobil itu berhenti.
"Assalamualaikum, Nak Azam," ucap seseorang yang berada di dalam mobil.
"Waalaikumussalam. Eh, Tante Nisa."
"Mau kemana, Zam?"
"Eh, ini ada janjian sama temen. Tante ada apa, ke sini?"
"Ini mau jemput Syifa. Ya udah, Tante duluan ya, Zam."
Azam mengangguk. Mobil merah itu pun melaju sedang menuju ke area Akhwat. Belum sempat Azam bertanya, "Memangnya ada apa?" Tapi rasanya itu sudah bukan menjadi urusannya lagi. Dan sudah sebaiknya dia tak tau apapun lagi tentang Syifa. Ia pun melajukan motornya dengan kecepatan cukup tinggi.
___________________________________________________
Sesampainya di Kafe Anggrek, Azam langsung masuk ke dalam dan didapatinya Bagas tengah duduk di meja yang berada di pinggir jendela. Tempat kesukaan Bagas dari dulu memang.
"Assalamualaikum, Bagas!" Azam datang sambil bersalaman dengan Bagas.
"Waalaikumussalam. Alhamdulillah dateng juga sohib SMP Saya, hehe. Gimana, Ustadz, pekerjaannya?" Bagas basa basi, lebih tepatnya ia ingin mengetahui lebih lanjut pula kabar sahabat SMP nya itu.
"Alhamdulillah baik-baik aja. Kamu gimana sekarang. Kerja apa?" Kali ini Azam yang bertanya.
"Alhamdulillah, lagi ngurusin cabang tempat les anak sekolahan, Zam. Doain aja."
"Wah, masyaallah. Semoga sukses."
"Aamiin. Ngomong-ngomong, tadi saya pesenin jus alpukat sama ayam bakar. Saya tentu saja masih inget lah makanan kesukaan sahabat yang satu ini." Bagas terkekeh pelan.
"Ah, Bagas dari dulu ingatannya emang kuat, haha."
"Hehe. Oh iya, saya ngajak kamu ke sini mau ngasih sesuatu."
Azam mengernyitkan dahinya. "Ngasih apa? Saya ulang tahun masih lama loh, Gas."
Bagas tertawa. "Haha, cowo sedatar kamu masih suka bercanda juga ya." Bagas menyodorkan kertas berplastik pada Azam. "Nih."
Azam menerimanya dengan senang hati. "Wahh, nikah, Gas?"
Bagas tersenyum misterius.
"Masyaallah. Barakallah, Gas."
Azam melihat sampul undangan yang terlihat indah itu.
Halaman pertama memang terlihat indah di mata. Tapi, mengapa saat ia membuka halaman berikutnya terasa sesak di hati? Dia mengenal betul nama cantik ini. Ini nama lengkap Syifa. Ini Fatimah teman masa kecilnya dulu.
Ngilu.
Azam hanya terdiam sambil menatap nanar undangan itu.
"Kamu masih inget, Zam, sama pacar aku pas SMP. Ini nih, orangnya. Ini yang dulu saya putusin karena saya tersadar oleh nasihat kamu. Alhamdulillah, InsyaaAllah nanti bisa bersama lagi. Dalam ikatan yang halal," ucap Bagas.
Azam tersenyum kaku dan menanggapi lirih, "Alhamdulillah."
"Kamu kapan, Zam? Ditunggu loh, undangannya. Dikirain kamu udah punya anak, Zam, haha."
"Haha. Saya mah masih perlu memperbaiki diri lagi, Gas. Tapi, kalo calonnya udah nemu, dan Allah mengizinkan, kenapa tidak dihalalkan. Ya, kan?" Saat itu Azam berusaha menahan perih di hati. Berat memang, untuk terlihat kuat sedangkan hati rapuh.
"Aamiin. Semoga cepet nyusul, Zam. Jangan terburu-buru, tapi disegerakan jika sudah siap segalanya."
"Haha, siap sob!"
Azam berusaha kuat di hadapan Azam. Dia tak boleh lemah hanya karena perasaan ini. Dia berusaha agar menjadikan ini pelajaran yang paling berharga baginya. Dia yakin, bahwa Allah tengah menyiapkan seseorang yang jauh lebih baik.
Sakit hati itu pasti, karena kita berharap pada makhluk. Mungkin sakit yang dirasa saat ini adalah teguran dari Allah, bahwa betapa cemburunya Allah saat hati kita berharap pada seseorang. Maka, Allah timpakan pedihnya rasa kecewa. Agar apa? Agar kita kembali berharap hanya kepada Allah saja.
Azam menghembuskan nafasnya dalam-dalam. Bismillahirahmaanirrahiim. Dengan sakit hati ini, alhamdulillah bisa membuatnya kembali mencurahkan segala cinta kepada Allah. Agar kelak, Allah pertemukan dia dengan orang yang mencintaiNya pula.
Percayalah, hidup ini begitu indah jika kita mampu bersabar dan bersyukur. Cukup dengan sabar dan syukur, kita bisa bahagia.
Jangan lupa bersabar jika diuji.
Jangan lupa bersyukur jika diberi nikmat:)
__________________________________________________
Siapa yang merasakan apa yang Azam rasakan? Hehe. Sakit hati memang.
Tapi, Azam aja berusa bangkit agar tidak larut dalam kesedihan. Masa kamu gak bisa move on? Upss. Kita hijrah yuk! Hehe. Semangat.
Salam,
Saifa Hunafa❤
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro