Bab32 | Kembali pada Allah
Allah.
Allah Maha Baik.
Allah Maha Membolak Balikan Hati.
BersamaNya hidayah.
BersamaNya ampunan yang luas.
Masih mau meragukan Rahmat Allah?
______________________________________
"Akting kamu bagus, Sarah!" ucap Nurul.
Gadis yang mengaku Fatimah tadi menunduk. "Kamu licik, Nur!" ucapnya.
"Kenapa licik? Ini taktik, Sarah!"
"Kamu cinta kan, sama Azam?" tanya gadis yang ternyata bernama Sarah itu.
"Ya, tentu!"
"Kenapa kamu ngelakuin hal bodoh ini? Lihatlah orang yang kamu cinta! Dia sedih, bahkan terluka hatinya!" bentak Sarah.
"Biarlah dia terluka. Aku yang akan menjadi pengobat hatinya. Percayalah, Sar, cinta akan tumbuh seiring dengan berjalannya waktu." Nurul mengambil sesuatu dari tas kecilnya. Beberapa uang kertas berwarna merah.
"Cinta tidak dibayar dengan uang. Tapi cinta dibayar dengan ketulusan hati. Cara kamu salah, Nur!" ucap Sarah.
"Kamu gak mau uang? Aku tau kok, kamu butuh uang."
"Maaf, aku gak mau!" Lantas Sarah pun pergi meninggalkan Nurul.
____________________________________
Afwan...
Sebuah pesan singkat yang berhasil membuat Syifa terkejut. Di hatinya, ada desakan harapan pada Azam. Namun, ia sudah cukup kecewa atas segala kata yang Azam ucap.
Astagfirullah...
Dia tak tau kata lain untuk menyikapi semuanya selain berdzikir dan terus memohon pada Sang Pemilik Hati. Memohon agar selalu diberikan kebaikan.
"Assalamualaikum Syifa," ucap seseorang di ambang pintu kamarnya sambil membawakan segelas air putih.
Syifa menoleh reflek ke arah Uminya. "Waalaikumussalam, Umi."
Nisa, Sang Umi menghampiri anak tirinya itu dan lantas duduk di samping Syifa. "Nih, minum dulu. Jangan sampe kurang minum. Gak baik," ucapnya lembut.
Syifa tersenyum. "Makasih Umi." Syifa meneguk segelas air yang diberikan uminya.
"Kamu kenapa, Fa?" tanya Uminya tiba-tiba.
Syifa mengernyitkan dahinya bingung. "Kenapa? Syifa sehat kok, Mi. Syifa baik-baik aja."
"Hati kamu? Baik?"
Syifa terdiam. Kembali ia tengok hatinya yang kemarin sempat rapuh. Ternyata belum baik-baik saja.
"Umi memang belum tau pasti apa yang terjadi sama kamu. Tapi, kamu jadi beda. Banyak murung. Banyak di kamar. Kalo kakak kamu bilang sih, masalah temen masa kecil kamu."
"Sudahlah, Mi. Syifa sadar sendiri betapa pahitnya berharap pada manusia. Bertahun-tahun Syifa menanti dia, tapi dia malah nyakitin Syifa."
"Mungkin ini teguran dari Allah. Agar kamu hanya bergantung dan berharap pada Allah. Kamu tau, betapa Allah cemburu saat kamu berharap pada dia?" Nisa mengelus pundak Syifa.
Syifa mengelengkan kepala sambil menunduk.
"Naah, sekarang, saatnya kamu bangkit dari kesedihan ini. Saatnya kamu kembalikan cintamu pada Sang Pemilik Hati. Percayalah, cinta Allah jauh lebih besar." Nisa tersenyum untuk menyemangati Syifa.
____________________________________
Hari pun berganti. Sang mentari yang menyambut Hari Jum'at ini. Pagi itu terasa sejuk. Sesuai dengan statusnya, Syifa lari pagi di sekitar komplek sendirian. Tadinya dia berdua dengan Bi Inah, tapi karena Bi Inah merasa kelelahan, akhirnya dia lari sendiri. Sedangkan Bi Inah menunggunya di taman komplek yang berjarak tak jauh dari rumahnya.
Setelah merasa lelah, Syifa pun berlari menghampiri Bi Inah yang sedang khusyu' memakan bubur ayam. Syifa terkekeh pelan melihatnya.
"Bibiiii!" sapa Syifa yang lantas duduk di samping Bi Inah. Ia meluruskan kakinya, agar tidak kram.
"Eh, Neng Syifa. Mau bubur, Neng?" tawar Bi Inah.
Syifa menggelengkan kepalanya sambil tersenyum. "Engga, ah. Syifa nanti aja di rumah sarapannya."
"Bibi juga nanti di rumah makan atuh, Neng."
"Lah, kok makan lagi? Ini kan udah?" Syifa dibuat Bi Inah bingung.
"Eh, atuh ini mah bukan nasi, Neng."
Syifa tertawa lepas mendengar pernyataan Bi Inah. Syifa memahami Bi Inah yang notabene Orang Sunda itu. Selalu beranggapan belum makan jika belum makan nasi. Padahal, bubur itu ya nasi. Ah, Syifa tak bisa membayangkan betapa lucu dan uniknya Orang Sunda. Meskipun dia sendiri Orang Sunda asli yang hidup di lingkungan yang modern.
"Alhamdulillah. Ayo pulang, Neng!" Bi Inah bangkit dari duduknya dan segera menggandeng tangan Syifa untuk pergi.
"Eh, eh, Bu! Bayar dulu buburnya!" tahan Tukang Bubur.
Bi Inah pun menghentikan langkahnya. "Eh iya lupa. Nih," Bi Inah menyodorkan selembar uang berwarna ungu. "sok diambil aja kembaliannya."
"Lah, orang uangnya pas." Tukang Bubur itu menggelengkan kepalanya.
Mereka pun berjalan menuju rumah. Syifa tak henti terkekeh melihat tingkah Bi Inah yang super lucu itu. Selalu saja dia mampu melukiskan senyuman Syifa dengan sikap polosnya.
"Nih udah nyampe rumah. Udah atuh, Neng. Jangan ngetawain Bibi mulu. Bibi tau Bibi lucu kok," ucap Bi Inah saat mereka telah sampai di depan gerbang.
Saat itu mereka berhenti sejenak, dan menatap asing mobil sedan silver yang terparkir tepat di depan gerbang rumahnya.
"Bi, ini mobil siapa?" tanya Syifa.
"Gak tau, Neng. Ayo masuk!" ajak Bi Inah.
"Assalamualaikum," ucap Syifa dan Bi Inah.
"Waalaikumussalam," jawab yang ada di ruang tamu.
Syifa menyapu isi ruang tamu. Ada seorang wanita yang baginya sudah asing. Nisa yang berada di samping wanita itu melambaikan tangan pada Syifa dan mengkode untuk duduk di sampingnya.
Ilham duduk di shofa yang berbeda saat itu wajahnya merah penuh amarah. Syifa membuang muka dari wanita itu.
"Ada apa, Mi?" tanya Syifa pada Nisa.
"Kalian masih ingat sama Bunda kalian?" tanya Nisa lembut pada Ilham dan Syifa.
"Gak!" jawab Ilham cepat.
Wanita yang ternyata adalah Ibu kandung Ilham dan Syifa itu terlihat menunduk. Menghapus air mata yang mengalir di pipinya.
"Bunda mau minta maaf...," ucap wanita yang bernama Shilla itu.
"Maaf gak bakal nyembuhin kekecewaan kita selama berbulan bulan, Bu!" Ilham berucap kembali dengan kesal.
Syifa hanya bisa diam dan menunduk.
"Bunda tau, kalian bakal benci. Tapi mohon, maafin Bunda." Shilla kembali memohon.
"Umi, Syifa cape abis jogging sama Bi Inah. Syifa mau ke kamar dulu, mau beres-beres." Syifa lantas pergi, meninggalkan obrolan itu di ruang tamu.
"Ilham juga mau ke kamar dulu, Mi." Ilham pun pergi, meninggalkan wanita paruh baya yang telah melahirkannya sekaligus menanamkan luka di hatinya.
"Tolong, jaga mereka, Nis," pesan Shilla pada Nisa.
Nisa tersenyum. "Tentu, Mbak. Mereka sudah seperti anak kandung saya. Oh iya, apa Mbak ada masalah?" tanya Nisa.
"Kamu tau? Saya baru saja keluar dari penjara," ucap Shilla terhenti.
Astagfirullah, batin Nisa sambil mengusap dadanya..
"Tapi itu hanya pemeriksaan selama beberapa hari. Dan akhirnya terbukti saya tidak bersalah. Ini masalah korupsi yang dilakukan Ayahnya Fiani. Saya dekat dengan dia, dan saya yang telah membuat keluarga Fiany rusak."
"Tapi saya ingin berubah, Nis," ucapnya.
"Kembalilah pada Allah, Mbak. Allah Sang Pemberi Hidayah." Nisa mengelus pundak Shilla dengan lembut.
"Bagaimana caranya?"
"Taubat, Mbak. Dengan sepenuh hati memohon ampun dan tak ingin mengulanginya kembali. Allah suka orang yang bertaubat, Mbak."
"Sekotor saya ini, Allah masih mau nerima?" Shilla bertanya tak yakin.
"Jangan meragukan ampunan Allah yang begitu luas, Mbak. Allah Maha Baik."
Shilla kembali meneteskan air mata. Ia menangis sesenggukan saat mengingat kembali semua kesalahannya di masa lalu. Ia ingin berubah. Ia sendiri lelah jika terus berdosa.
"Jangan pernah berputus asa dari rahmat Allah, Mbak. Kapanpun Mbak meminta dan memohon ampun, Allah akan perkenankan bagi yang berharap penuh padaNya."
Allah. Betapa Allah Sang Pemberi Hidayah. Yang menerangkan kegelapan dengan cahaya hidayahnya. Betapa sayangnya Allah pada Hamba-hambaNya. Sekalipun hambaNya itu berpaling, namun tak henti Dia menawarkan hidayah untuk kembali.
Allah.
Allah Maha Baik.
Allah Maha Membolak Balikan Hati.
BersamaNya hidayah.
BersamaNya ampunan seluas-luasnya.
Masih mau meragukan Rahmat Allah?
_____________________________________
#05042020
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro