Bab31 | Luka
Happy Reading🎉
Wahai hati yang rapuh, sembuhlah dengan membaca kalam Allah yang indah. Percayalah, lukamu akan segera sembuh:)
•°•°•°•°•
Ada sebagian orang, yang ingin kembali kembali ke masa lalu, padahal itu tidak mungkin. Ada lagi sebagian orang, yang ingin melupakan sebuah masa lalu kelam. Namun, bagaimana jika masa lalu itu begitu indah? Hingga membuat sulit untuk melupakannya.
Angin malam berhembus pelan, namun dinginnya menusuk kulit, hingga membuat gadis bernama Syifa itu tak henti mengusap-ngusap lengannya. Malam itu ia tengah berada di Kafe Anggrek, ia menunggu kedatangan Alya. Untuk reuni, katanya. Saat itu ia tak sendiri, namun ditemani oleh Vivi, temannya di pesantren.
Syifa tau sekali sosok Alya yang lama dan paling suka ngaret jika diajak bertemu. Biasanya, Alya lama dalam memilih baju yang bagus, padahal semua bajunya bagus dan bermerek. Akhirnya, Syifa dan Vivi memesan terlebih dahulu, menunggu kadang membuat kita lapar. Karena menunggupun butuh energi.
Tak lama setelah itu, orang yang mereka tunggu pun datang. Namun, ada yang berbeda dengan Alya. Gaya berpakaiannya ada yang berubah drastis. Jika dulu Alya suka memakai mini dress atau kemeja pendek dan jeans, sekarang ia justru memakai baju lengan panjang dan jeans yang tidak terlalu ketat. Yang membuat Syifa kagum adalah saat rambut cantik Alya, kini dibalut dengan pasmina. Itu memang terbilang belum syar'i, tapi hijrah memang harus sedikit demi sedikit, agar mudah untuk istiqomah.
"Ini beneran Alya?" Syifa menatap Alya tak percaya.
Alya tersenyum. "Allah memang baik, Fa."
"Aku salut sama kamu, Al," Syifa menggenggam tangan Alya. "oiya, kenalin, ini Vivi. Dia temen aku di pesantren."
Vivi dan Alya bersalaman dan memperkenalkan diri satu sama lain.
Dan malam itu, mereka habiskan dengan membicarakan banyak hal. Mulai dari menceritakan masa SMA, hijrahnya Alya, bahkan membuat target bersama.
Saat-saat seperti itulah yang membuat Syifa lupa akan masa lalunya, meski ia harus selalu siap, jika cepat atau lambat ia akan ingat kembali pada masa lalunya.
"Syifa, Vivi, jujur deh, aku gak bakal sesemangat ini ngebicarain tentang target tanpa kalian. Aku aja hijrah sendirian. Temen-temen SMA masih sama kaya dulu, Fa. Orang tua aku juga masih agak sinis ngeliat perubahan aku. Aku sampe pernah sedih dan ilang semangat saat itu. Padahal niat aku udah bulat pengen hijrah," curhat Alya yang lantas menyedot minuman yang dipesannya.
Dengan sisa kunyahannya, Vivi berkata, "Hijrah itu memang butuh perjuangan. Gak akan selalu mulus juga jalannya. Pasti adaa aja ujiannya. Bukan semata-mata Allah tak Sayang, tapi karena Allah ingin menguji keimanan hamba pilihanNya."
Merekapun melanjutkan makan malamnya. Ada banyak canda dan juga tawa di dalamnya. Biar saja mereka larut di dalam hangatnya sebuah ukhuwah islamiyah.
Tak lama setelah makanan mereka habis, tiba-tiba ada seorang lelaki di depan pintu Kafe melambaikan tangannya pada Alya. Alya tau lelaki itu siapa, dan sepertinya lelaki itu tak ingin Syifa tau. Setiap Syifa menoleh ke arah yang sama dengan Alya, lelaki itu segera menyembunyikan diri di balik pintu.
"Ada apa, Al?" tanya Syifa penasaran.
"Eum, kayaknya ada yang mau ketemu sama aku. Bentar deh, aku liat dulu." Segera Alya menemui lelaki itu di depan Kafe.
Selangkah ia keluar dari Kafe, ia mendapati Bagas berdiri di sana.
"Loh, Kak Bagas? Aku kira siapa. Ada apa, Kak?" tanya Alya.
"Itu Syifa?" tanya Bagas.
Alya mengangguk. "Iya," ucapnya.
"Dia lagi liburan?"
"Iya, Kak. Emang, kenapa?"
"Oh, enggak. Tolong jaga dia, ya."
Alya terkekeh pelan. "Oke kak. Udah, itu aja?"
Bagas terlihat kikuk. "Eum, i-iya. Udah kok."
Tak lama setelah perbincangan mereka berdua, Syifa keluar dari Kafe. Betapa terkejutnya ia ketika melihat mantan pacarnya dulu. Bola matanya bertemu dengan mata tenang Bagas. Segera Bagas menunduk dan bergegas pergi. Namun, langkahnya terhenti saat Syifa menahannya.
"Ka Bagas?" Entah kenapa saat itu bibirnya memanggil nama itu reflek. Syifa merutuki dirinya telah berbuat salah.
Duh, kok aku manggil Kak Bagas sih, batinnya.
Beruntung, saat itu Bagas tak menoleh sedikit pun dan langsung meninggalkan Syifa.
___________________________________
Pagi yang cerah. Sang mentari menyambut pagi dengan cahaya terangnya. Suhu pada malam kemarin cukup dingin, hingga meninggalkan embun-embun indah di tumbuhan.
Taman depan rumah yang terbilang cukup luas itu memberikan kesejukan yang luar biasa setiap paginya. Bukan hanya terdapat beberapa pohon sebagai peneduh, namun banyak juga bunga-bunga hias bermekaran, hingga terkadang mengeluarkan semerbak baunya yang sedap.
Syifa yang sedang duduk di bangku taman depan rumahnya pun tersenyum tipis sambil menaburkan bulatan-bulatan kecil sebagai makanan ikan kesayangan Ayahnya. Dia begitu bersyukur pagi hari itu. Bernafaspun merupakan nikmat Allah yang luar biasa, apalagi masih diberi kesempatan untuk berinteraksi dengan lingkungan.
"Fa!" Seseorang memanggil Syifa. Membuatnya terkejut hingga tutup toples makanan ikannya jatuh ke kolam ikan.
Syifa beristigfar, "Astagfirullah."
Ia menoleh ke sumber suara. "Ya Allah, Ka Ilham, Syifa kira siapa. Ih ngagetin aja deh!"
Ilham terkekeh sambil duduk di samping Syifa. "Fa, ke Masjid At-Taqwa yu!"
"Hah? Mau ngapain ah? Mau ketemu sama Kak Nurul, ya?" tebak Syifa.
"Kakak kangen sama dia."
"Idiih, lebay banget sih!" ledek Syifa sambil mengendik tak suka.
"Ayolah, Fa! Nanti kakak cariin deh, itu si Ali, temen masa kecil lo!" tawar Ilham.
Namun, kali ini itu bukanlah tawaran yang menarik lagi bagi Syifa. Wajahnya kini terlihat murung dan tak semangat.
"Fa? Kok, murung sih?" tanya Ilham.
"Kak, kakak tau kan, kemaren pas di Pesantren mata Syifa merah bekas nangis. Padahal, hari itu adalah hari perpulangan yang bagi semua santri hari membahagiakan."
"Oh iya, kenapa nangis, Fa?"
"Syifa gak punya harapan lagi. Orang yang selama ini Syifa nanti, justru telah melupakan Syifa. Kakak tau Ustadz Muda nyebelin itu? Ustadz nyebelin yang ngajarin Syifa ngaji, masih inget?"
Ilham mengangguk mantap.
"Dialah yang selama ini Syifa tunggu. Tapi, dia udah lupa sama Fatimahnya Kak. Fatimah kecil yang manja, yang selalu memohon minta es krim, dan takut sama laba-laba."
"Kamu tau dari mana dia lupa?"
"Dia sendiri yang bilang jangan menceritakan lagi tentang masa lalu itu. Saat itu dia pergi, meninggalkan Syifa yang keadaannya begitu hancur."
"Dia cuma butuh keyakinan."
"Saat dia pergi, itu udah cukup membuatnya yakin, jika dirinya telah benar-benar melupakan Fatimah!"
____________________________________
Mau tak mau Syifa harus ikut Ilham. Ilham memang paling bisa membuat Syifa mengatakan 'Ya'.
Untuk sampai ke sana, mereka tidak membutuhkan waktu lama. Cukup 5 menit perjalanan menggunakan Ferarri yang dikendarai Ilham. Masjid itu memang letaknya tak jauh dari rumah mereka.
Sesampainya di sana, dengan cepat Ilham keluar dari mobil dan lantas membukakan pintu untuk Syifa. Saat itu Syifa seperti diperlakukan bak putri oleh Ilham. Syifa yang mengenakan gamis abu-abu dan kerudung biru itu hanya tersenyum melihat perlakuan Kakaknya itu.
Dari luar masjid, tampak sekali banyak pasang sandal, yang diyakini pemiliknya ada di dalam dan menunjukkan ada banyak orang di dalam. Mereka pun masuk ke dalam. Ternyata, si dalam sana seperti ada sebuah acara penting.
Di dalam, Nurul berdiri di depan banyak anak-anak yang belajar ngaji padanya. Di sana ada juga beberapa ibu-ibu yang mengantar anaknya. Syifa dan Ilham pun duduk bersama barisan ibu-ibu.
"Ade-ade masih inget kan, sama kak Azam?" tanya Nurul ramah pada anak-anak.
Dengan serentak anak-anak itu menjawab, "Tauuu!!"
Mendengar nama itu, tiba-tiba Syifa terpaku. Rasanya ia mulai tak tahan. Ia pun segera pergi meninggalkan sang kakak yang masih terduduk memperhatikan Nurul.
Baru saja melangkahkan kaki untuk keluar, tiba-tiba dari arah depan ada seorang lelaki yang justru akan masuk. Syifa terperanjat kaget.
"Eh, afwan, afwan," ucap lelaki itu yang membuat Syifa menoleh reflek ke sumber suara.
Begitu ia terkejut, saat yang didapatinya adalah seorang lelaki yang justru tengah ia hindari. Ya, lelaki itu Azam.
"K-kak, Ali?"
Azam hanya diam dan menunduk. Entahlah, mengapa jantungnya tak bisa bergetar normal jika bertemu Syifa. Hingga akhirnya terciptalah suasana canggung.
"Afwan kak. Apa kakak masih tidak percaya jika aku Fatimah temen masa kecil Kakak?" tanya Syifa ragu sambil menunduk dalam. Matanya memejam karena takut.
"Afwan, mungkin Ukhty salah orang. Mungkin itu hanya kebetulan aja, kalo kita sama-sama punya temen masa kecil. Saya punya temen bernama Fatimah, dan Ukhty punya temen bernama Ali. Dunia begitu luas, Ukhty." Azam menolak keras jika Syifa adalah teman masa kecilnya.
Azam tau, jika setiap ia bertemu dengan Syifa, selalu saja hatinya merasa bahwa Syifa adalah Fatimah. Tapi, cukup yakin dengan Fatimah yang bilang akan menikah, waktu itu. Hatinya mulai ragu, sedangkan ia tak ingin larut terus di dalamnya.
"Kakak gak percaya? Kakak bilang, dunia itu luas, bagaimana jika pada kenyataannya dunia begitu sempit? Bagaimana jika aku adalah Fatimah yang selama ini kakak cari? Fatimah yang menunggu Ka Ali selama bertahun-tahun lamanya." Syifa menghembuskan nafasnya kasar.
"Afwan, Ukh. Saya tak tau apa yang sebenarnya terjadi pada Fatimah-Fatimah yang mendatangi saya. Kenapa dua-duanya mengatakan jika mereka teman masa kecil saya?" Azam mulai bingung.
Syifa menatap Azam sekilas, yang sedikitpun tak melirik ke arah Syifa. "Fatimah-Fatimah? Maksud, Kakak?" Ia penasaran.
"Ah, tapi, itu urusan pribadi saya. Afwan ya, Ukh. Saya benar-benar bingung."
"Kenapa Kakak bingung? Memangnya, ada masalah apa, ka? Apa yang terjadi dengan Fatimah yang juga mengaku teman masa kecil Kakak?"
"Dulu...," ucap Azam terhenti saat tiba-tiba Nurul datang.
Nurul melirik ke arah Syifa sekejap dan lantas berkata pada Azam, "Zam, ayo! Anak-anak nya udah nunggu kamu nyapein salam perpisahan!"
Nurul mendesak Azam agar bergerak cepat. Azampun segera masuk ke masjid, meninggalkan seorang gadis dalam keadaan terluka dan penuh rasa penasaran.
Syifa berusaha tegar, meski dengan lancangnya air mata terjatuh di pipi yang berhasil menghancurkan benteng pertahanannya selama ini.
Dunia memang begitu luasnya, tapi kuasa Allah lebih Luas. DenganNya, begitu mudah untuk menyatukan 2 Insan, meski jarak membuat semua rumit.
Dunia memang luas, tapi dengan KuasaNya, akan begitu mudah mempersempit dunia untuk mempertemukan 2 insan yang ditakdirkan bersama.
Syifa segera menghapus embun bening di pipinya. Dia tidak selemah ini. Jika menghadapi beratnya ujian hijrah saja ia mampu, mengapa karena cinta ia menjadi lemah? Tidak! Syifa menolak mentah-mentah jika ia lemah. Ia kuat!
____________________________________
Setelah acara di masjid selesai, anak-anak pun bersalaman pada Nurul dan Azam, begitupun ibu-ibu yang datang. Setelah semuanya pulang, di masjid hanya menyisakan Nurul yang sedang membereskan mushaf Quran dan Azam yang membereskan meja kecil untuk mengaji anak-anak.
Ilham memberanikan diri untuk menghampiri Nurul. "Nur!"
Nurul menoleh ke arah Ilham yang berdiri di samping kanannya saat ia membereskan Quran.
"Ilham?"
"Jadi, gimana, Nur?" tanya Ilham yang membuat Nurul tak paham.
"Maksud kamu apa?"
"Ituloh, hubungan kita." Ilham ragu.
Nurul menunduk dalam. "Kenapa? Kita temenan, kan?"
"Gue mau lebih dari itu!"
"Kita bisa kok, sahabatan."
"Lebih lagi dari itu!"
Nurul hanya diam. Sebenarnya, dia tau arah bicara Ilham kemana. Tapi, hatinya tidak untuk Ilham lagi.
"Tenang aja, sekarang, gue sholatnya sehari 17 rokaat kok. Dan bacaannya gak seburuk dulu. Gue suka sholat ke masjid, shafnya paling pertama dan selalu deket imam. Gue juga udah pernah khotbah jum'at. Gimana, gue udah bisa khitbah lo?"
Nurul hanya diam. Dia mengaku, jika perjuangan Ilham hijrah begitu luar biasa. Tapi ia akan menolak keras jika rasa itu hadir kembali. Setiap ada Ilham, hatinya selalu labil.
"Ham, kamu perbaiki diri aja dulu, dengan sebaik-baiknya memperbaiki. Kelak, kamu akan dipertemukan dengan orang yang baik juga."
"Udah ketemu kok." Ilham berkata mantap.
"Siapa?" Nurul penasaran dan terkejut.
"Nih, di depan gue!"
Saat itu juga Nurul bungkam. Ada sedikit rona merah di pipinya, lengkap indahnya dengan senyuman tipis di bibir.
Di sisi lain, Azam tengah memperhatikan mereka. Ia tampak tersenyum melihat Nurul dan Ilham. Ia tak berani mengganggu. Yang pasti, ia senang jika Nurul sahabatnya telah bertemu dengan lelaki serius.
____________________________________
"Fa, Ustadz Muda lo mau pergi loh!" goda Ilham saat mendapati adiknya yang cantik itu tengah menonton TV.
Tiba-tiba Syifa menghentikan aksi makan coklatnya. Entahlah, coklat pun akan terasa sangat pahit jika telinga harus mendengar berita pahit.
"Kakak gak usah ngomongin Ustadz itu lagi deh!"
"Beberan, dia mau kuliah di Kairo, katanya." Ilham duduk di samping Syifa.
Syifa terdiam saat mendengar kabar bahwa Azam akan pergi.
Setelah luka dan selalu pergi meninggalkan dalam keadaan perih hati, haruskah ia pergi jauh agar ia tak menorehkan luka lagi? Namun, bagaimana jika rindu kenyataannya begitu perih?
Syifa mencoba untuk menghapus semuanya. Biarlah rindunya pada Ali berlalu. Meski setiap melupakan, semakin rindu pada sosok itu?
Namun, bagaimana jika yang kita rindukan, justru malah pergi dengan meninggalkan kenangan berupa luka?
"Oiya, Fa. Bagas kayaknya kangen deh, sama lo!" Ilham mengalihkan pembicaraan pada hal yang tak terlalu menyakitkan.
"Ah, apaan sih?" Syifa mendelikkan matanya.
"Dia mau dateng sama orang tuanya ke rumah kapan-kapan, katanya."
Syifa tak menanggapi perkataan Ilham yang terdengar begitu serius.
"Tadi dia telfon gue. Mau khitbah lo, kayaknya."
____________________________________
Azam mengscroll pesan pribadinya dengan Syifa di WA. Dulu, ia pernah chat dengan Syifa. Dan entahlah, mengapa ia merindukan itu?
Namun, segera ia kembalikan ke menu utama. Ia merasa kacau dengan adanya 2 orang yang mengaku Fatimah. Membuatnya selalu bimbang luar biasa.
Besok, ia akan pergi ke Kairo untuk mempersiapkan segala kehidupan barunya di sana. Ia harus menghapus sejenak masalah Fatimah. Biarlah ia menuntut ilmu dengan sungguh-sungguh di sana, sebagai bekal perjalanannya selama di dunia menuju tempat terbaik di sisiNya.
Tangannya kembali beraksi mengetikkan satu kata dengan lihai. Ia pun mengirim pesan satu kata itu pada Syifa.
Afwan...
Tiada luka paling berbekas selain luka yang tertancap dalam hati. Tak ada yang dapat menyembuhkannya selain cinta yang tulus.
Luka, ternyata diakibatkan oleh sebuah kecelakaan hebat yang kita kendalikan sendiri.
Kecelakaan itu adalah saat berharap kepada selain Allah. Maka, terlukalah hati karenanya. Mebiarkan air mata terjatuh karenanya pula.
Wahai hati yang rapuh, sembuhlah dengan membaca kalam Allah yang indah. Percayalah, lukamu akan segera sembuh:)
____________________________________
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro