Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab28 | Rasa pembawa Luka

--Rabb, bolehkah ku liat takdirku? Agar aku bisa mencari sosoknya. Aku takut, jika saat ini aku tengah menanti jodoh orang. Itu akan membuatku kecewa Ya Rabb...--

°•°•°•°•°

"Aku Ka Ali. Seandainya kamu tau, saat ini aku berada sangat dekat denganmu. Namun, kurasa kau masih ragu, Fa?"

"Maksudnya?"

"Jika kita tidak ditakdirkan bersama, semoga kita digantikan dengan yang lebih baik menurut Allah. Allah Maha Tahu dan Tak Pernah Keliru. Semoga kita semakin kuat dengan saling mengikhlaskan."

"Kamu bilang kamu Ka Ali? Tapi, selama ini aku mengenalmu sebagai Ustadz Muda atau Ka Azam." Syifa mulai bingung.

Lelaki itu menghembuskan nafasnya. "Azam adalah Ali. Dan Ali adalah temannya Fatimah waktu kecil. Saya tau, Syifa itu adalah Fatimah. Dan maksud saya saat ini, saya ingin... Saya ingin mengkhitbah."

"Ta-tapi, kenapa ka Azam memilih saya untuk dijadikan pendamping?"

"Bukannya kakak tau, dulu sikapku pada kakak seperti apa? Seorang Syifa yang gak tau adab dan sopan santun pada Ustadz yang mengajarinya," lanjut Syifa.

Azam terdiam sekejap. "Tapi itu dulu kan?" tanyanya singkat.

"Dan masa laluku sangatlah buruk. Aku tak pantas untuk kakak. Kakak itu agamanya sangat baik, sedangkan aku?"

"Tapi kamu tidak hidup di masa lalu lagi. Kamu akan hidup di masa depan. Dan aku yakin kamu pasti menjadi wanita yang lebih baik." Azam berkata dengan nada santai.

"Aku tak pantas untuk kakak," Syifa menundukkan kepalanya.

"Kenapa?"

"Aku ingin memperbaiki diri dulu."

"Aku yang akan membimbingmu."

"Lelaki yang baik, untuk perempuan yang baik, pun sebaliknya. Kakak baik tapi aku tidak."

"Berhenti merendahkan dirimu. Kamu memang belum baik sepenuhnya, tapi kamu sedang berusaha menjadi baik, kan? Aku akan membimbing mu."

"Tapi kak..."

"Apa ini tanda kamu menolak lamaranku?"

"Tidak begitu..."

"Semua terserah padamu. Aku akan menunggu jawabannya."

Syifa terdiam, mencerna kata demi kata membingungkan dari Azam. Ternyata, Azam itu benar Ali. Kini, keraguannya hilang seketika. Namun, justru yang ia ragukan saat ini adalah menerimanya atau tidak? Ia benar-benar merasa tak pantas jika harus secepat ini dikhitbah. Dia merasa ini terlalu cepat.

Saat Syifa tengah berfikir keras, tiba-tiba ada yang mengguyurnya dengan segayung air. Ia terperanjat kaget dan terbangun dari tidur panjangnya. Ia mengadu kedinginan oleh air yang saat itu membasahi rambutnya.

"Santri yang lain udah pada berangkat sekolah. Kamu masih tidur, di sini?" tanya seorang Ustadzah yang disegani banyak santri.

"Astagfirullah. Afwan, Ustadzah." Syifa menunduk malu.

"Nanti siang, kamu menghadap Ustadzah Aisyah di rumahnya! Sekarang, bersihkan dirimu, dan segera ke sekolah!" ucap Ustadzah itu tegas.

Syifa mengangguk paham.

Syifa terlalu nyenyak tidur, sampai bermimpi indah. Seandainya, itu adalah kenyataan. Tapi, ternyata hanya mimpi. Namun, benarkah Azam adalah Ka Ali?

Sampai kapan hati ini harus menanti? Menanti orang yang masih kuragukan keberadaannya. Rabb, bolehkah ku liat takdirku? Agar aku bisa mencari sosoknya. Aku takut, jika saat ini aku tengah menanti jodoh orang. Itu akan membuatku kecewa Ya Rabb...

___________________________________

Di depan kelas XI, tampaklah Syifa tengah mondar mandir. Dia menggigit telunjuknya. Tadi, kata Ustadzah Amel, pulang sekolah dia ditunggu oleh Ustadzah Aisyah du rumahnya. Dia takut jika harus dihukum seperti kemarin lusa, harus menyapu seluruh halaman depan rumahnya yang begitu luas. Bukan masalah lelah, tapi ia belum menghafal untuk setoran nanti sore.

"Syifa, kamu kenapa?" tanya seorang kakak kelas 12.

"Eh, Kak Nurul. Syifa dipanggil sama Ustadzah Aisyah gara-gara tadi telat bangun plus telat sekolah. Syifa gak mau dihukum, Ka."

"Itulah resikonya gak taat aturan. Mau gak mau kamu harus terima. Kamu harus tanggung jawab atas kesalahan kamu!" ucap Nurul.

Syifa menyengir kuda, hingga menampilkan sederet gigi putihnya.

Setelah Nurul pergi, ia pun bergegas menuju rumah Ustadzah Aisyah masih dengan baju seragamnya.

Tak perlu memakan waktu yang lama untuk sampai di rumah sederhana milik Ustadzah Aisyah. Dalam waktu sekitar 2 menit saja dari kelas ia sudah sampai di depan rumahnya. Syifa mengetuk pintu sambil mengucap salam.

"Assalamuala-," belum saja salamnya terucap sempurna, pintu sudah terbuka, hingga menampilkan seorang lelaki.

"Waalaikumussalam," jawab lelaki itu. "Loh? Kayaknya, gue kenal, deh," ucapnya.

Syifa menunduk, saat mengetahui bahwa lelaki itu adalah Adiknya Ustadz Muda. Seorang lelaki yang menurutnya sangat menyebalkan.

"Kalo gak salah ini namanya Syifa, ya?" tebak lelaki yang tak lain itu adalah Zidan.

"Aku mau ketemu Ustadzah Aisyah. Beliau ada, kan? Coba panggilin!" perintah Syifa.

"Dih, nyuruh-nyuruh ke tuan rumah. Gak sopan, tau?"

"Ah, terserah lah. Cepetan ih!"

"Bilang dulu gue ganteng," pinta Zidan.

"Ih, ogah!"

"Gue juga ogah manggilin Umi."

Syifa mulai geram. Daripada ia harus bilang Zidan ganteng, lebih baik ia pulang ke asrama Akhwat, dan kembali ke rumah Ustadzah Aisyah di lain waktu. Syifa membalikkan badannya, dan ia dikejutkan saat ia membalik ia langsung berhadapan dengan Azam.

"Astagfirullah," ucap keduanya lirih.

Syifa yang menunduk memejamkan matanya malu dan hanya melihat kaki Azam yang beralas sandal capit.

"Syifa? Kamu ngapain?" tanya Azam sambil menjauh selangkah dari jarak yang cukup dekat tadi.

Syifa menyengir kuda. "Itu, anu, mau ketemu Ustadzah Aisyah. K-kak Azam tau, Ustadzah Aisyah di mana?" Saking gugupnya saat itu, ia tak sadar jika ia memanggil Azam dengan 'Kak.'

"Ayo masuk ke dalam!" perintah Azam, tak menghiraukan pertanyaan yang amat penting bagi Syifa.

Syifa melongo bingung. "Loh, kok?"

"Udah deh, lo jangan banyak ngomong. Ka Azam orangnya emang gitu. Ikutin aja apa kata dia!" Kali ini Zidan angkat suara.

Syifa pun masuk dan duduk di atas sofa setelah Azam menyuruhnya untuk duduk. "Bentar lagi Umi dateng kok. Tunggu aja!"

Syifa mengangguk sebelum akhirnya Azam pergi masuk ke dalam ruangan lain. Entahlah, dari sejak kapan ia selalu gugup jika bertemu dengan Azam. Saat itu pun tangannya berkeringat dingin. Jantungnya berdebar tak henti-henti.

Tak lama setelah itu, datanglah Aisyah bersama seorang gadis, yang diakui Syifa gadis itu sangat cantik. Kerudungnya yang lebar, gamisnya yang menjuntai panjang, dan wajah yang cantik bersih tak bernoda. Sempurna.

"Assalamualaikum. Eh, Syifa," ucap Aisyah.

Syifa mencium tangan Aisyah dan tersenyum kepada gadis yang datang bersama Aisyah. "Waalaikumussalam."

Azam datang dengan membawa secangkir teh untuk Syifa. "Eh, Umi. Udah pulang?" Ia mencium tangan Uminya.

"Loh, Ara?" ucap Azam sambil menunjuk ke arah gadis itu.

Gadis yang dipanggil Ara itu tersenyum. "Hay Azam."

"Zam, kamu ajak Ara jalan-jalan keliling pesantren aja dulu. Dia pasti lupa sama lingkungan pesantren," kata Aisyah.

Azam mengiyakan perintah Uminya. Lantas mereka pun pergi setelah pamitan. Syifa melihat Azam begitu dekat dengan gadis bernama Ara itu. Apalagi, ia lihat Ara merangkul Zidan yang menyebalkan. Sangat akrab.

"Hukuman kamu, bantu Umi masak ya?"

Syifa mengernyitkan dahinya. "Ustadzah. Syifa udah ngelakuin kesalahan besar. Syifa telat bangun dan telat sekolah. Kenapa hukumannya masak?"

Aisyah tersenyum. "Anak SMA di sini udah jarang dihukum. Kebanyakan pelanggar itu dari santri SMP. Nah, kalo udah SMA, Ustadzah bakal ngelatih dia buat ngerjain pekerjaan rumah."

"Kok, gitu?"

"Buat latihan aja."

"Latihan apa?"

"Latihan jadi istri shalihah."

Syifa membulatkan matanya. Hah? Istri? Batinnya.

____________________________________

Betapa mudahnya bagi Allah membolak balikkan hati ini.
Tiba-tiba saja dulu benci.
Tiba-tiba juga saat ini aku jatuh cinta.
Jatuh cinta pada orang yang mungkin tak memiliki perasaan apapun padaku.
Ah, kenapa hati ini harus jatuh pada lelaki yang tidak mencintaiku?
Kenapa cinta ini justru hanya membawa luka?
Jujur saja, luka ini lebih sakit daripada ketika diputusin Ka Bagas. Jika demikian, besarkah rasa ini pada Ustadz Muda itu?

Sedari tadi, Syifa memperhatikan mereka. Azam dan Ara sudah seperti layaknya orang berpacaran. Mereka tengah duduk di bangku depan rumah Ustadzah Aisyah sambil bercerita dan bercanda ria bersama. Sesekali tertawa, dan semaki membuat hati Syifa panas.

"Kak Ali gak mungkin bohong! Kak Ali udah janji bakal nemuin aku. Ustadz Muda itu pasti bukan Ka Ali. Kak Ali gak mungkin lupa sama Fatimah!"

Hapus saja rasa ini, agar luka yang menyakitkan ini segera sembuh. Tenang saja, milikku sudah tercatat di lauh mahfudz. Tak perlu khawatir:)

___________________________________

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro