Bab27 | Rumit
Ternyata, berharap selain kepada Allah selalu saja berujung kecewa. Itulah tanda, bahwa betapa cemburunya Allah pada kita. Dia merasa diduakan. Allah tak ingin kita terus berharap kepada makhluk. Karena sebaik-baik berharap hanyalah pada Allah.
Malam itu, terlihat Azam tengah duduk di atas rumput. Menikmati angin malam sambil memandang bintang di langit. Langit pada malam itu begitu gelap gulita. Namun, bintang-bintang meneraginya. Gelap hatinya sama seperti gelapnga malam. Entah apa yang mampu menerangi hatinya saat itu. Surat dari Fatimah satu minggu lalu sudah cukup memadamkan harapan cerahnya. Ia menghembuskan nafasnya kasar.
"Cepat atau lambat, pasti akan ada penerang hati ini. Huh, ku serahkan hati ini padaMu ya Rabb...," ucap Azam lirih.
Dari surat itu, Azam belajar banyak hal mengenai keikhlasan dan kesalahannya dalam menaruh harap. Saat ini, dia mulai paham. Pasal jodoh, dia tak bisa memutuskan sendiri. Karena telah ada yang menuliskan takdirnya dari jauh-jauh waktu. Saat itu, hatinya mulai tenang.
Tak lama setelah itu, tiba-tiba suara benda jatuh tertangkap oleh indra pendengarannya. Azam menoleh reflek. Ia terkejut, karena didapatinya seorang gadis telah menjatuhkan piring berisi donat yang saat itu semuanya terjatuh.
"Ups, afwan!" ucap gadis itu.
Azam bangkit dari duduknya. "Ukhty ngapain, kesini?"
Gadis itu sibuk mengambil donat-donat meises yang kotor karena terjatuh. "Bantuin dulu, kek?" dengusnya kesal.
"Itu udah." Azam mendapati gadis itu telah selesai mengambil donat yang jatuh. "Ukhty ngapain kesini?"
"Aku tau Ustadz Muda suka donat, makannya aku bawain donat buat Ustadz. Tapi, donatnya udah jatuh. Kalo Ustadz mau, nih, makan aja. Belum lima menit kok," ucapnya polos sambil menyodorkan piring berisi 5 buah donat yang sudah terjatuh semua itu.
Bibir Azam berkedut mendengar kepolosan gadis itu. Polosnya sama persis seperti Fatimah. "Hehe, kamu ini ada-ada aja," kekehnya.
"Akhirnya Syifa bisa bikin Ustadz Muda ketawa juga. Dari tadi Ustadz Muda murung terus, kenapa?"
"Loh, kok kamu tau?"
Syifa gelagapan. Jangan sampai Azam tau jika sedari tadi Syifa...
"Kamu ngintip ya?"
Di sana Syifa tak bisa berbohong. "Tapi niat Syifa cuma mau ngasih donat doang, kok." Ia menunduk.
Azam terkekeh pelan. "Hehe, iya iya. Saya hargai niat baik kamu. Cepat kembali ke asrama. Tidak baik kita cuma berdua di sini."
Apa benar, Ustadz Muda ini adalah Ka Ali, seperti yang Ustadzah Aisyah bilang? Mau nanya, tapi ragu. Nanti aja deh, batin Syifa.
Syifa mengamati wajah tenang Azam. Wajah penentram hati itu. Wajah yang selalu Syifa rindukan. Wajah seorang kakak yang selalu melindunginya. Tapi dia bukan hanya sekedar Kakak. Dia terlalu hebat untuk itu. Syifa ingin menjadikannya lebih dari seorang Kakak. Ingin menjadikannya seperti janjinya dulu.
"Ustadz Muda... Jika Ustadz tengah mencari cinta yang hilang, ketahuilah, jika cinta itu sekarang sudah dekat. Hatinya tengah menanti sosokmu. Meski telah bertahun-tahun rasa itu terasingkan, kau tetaplah yang ia tunggu," ucap Syifa sambil tersenyum tipis dan lantas menundukan pandangannya.
"Maksud Kamu apa, Ukh?" Azam masih tidak mengerti.
"Kelak, Ustadz akan mengerti." Syifa lantas pergi dengan sepiring donat yang tak tersentuh oleh lelaki itu. Ia pergi dengan sekeping rasa penasaran. Ia masih ragu, jika harus bertanya apakah lelaki itu adalah Ali atau bukan. Yang pasti, berada di dekatnya ia merasa aman. Sama rasanya seperti dia berada di dekat Ali, dulu. Ia hanya perlu waktu, untuk membuktikan semua kebenaran.
Sedangkan masih di tempat yang tadi, seorang Azam justru tengah mencerna kata demi kata yang Syifa ucapkan tadi. Dia sedikit paham, ke arah mana jalan bicara Syifa. Namun, jika benar dia dugaan Azam, kenapa di surat itu Fatimah seperti akan menikah?
"Assalamualaikum, Azam!" sapa seseorang yang berhasil mengejutkan Azam.
"Eh, waalaikumussalam, Nurul. Kamu ngapain?"
"Aku lagi sweeping santri akhwat, takutnya malem-malem gini masih pada keliaran. Oh iya, tadi Syifa ngapain?" Nurul penasaran.
"Oh, gak tau. Katanya mau ngasih donat, tapi gak jadi karena jatoh."
"Oohh..."
"Nur... Surat kemaren, itu surat beneran dari Fatimah?" tanya Azam.
Nurul terdiam sejenak. "Eum... I-iya. Iya itu dari Fatimah. Kamu percaya kan, sama aku? Aku udah jadi temen kamu dari kecil. Dulu juga aku deket kan, sama Fatimah? Eum, atau perlu aku kasih tau Fatimah sekarang ada di mana?" ia terlihat ragu.
Azam menghembuskan nafasnya. Kini, ia sudah semakin yakin, jika Fatimahnya sudah pergi. Dia percaya pada Nurul, karena dia sudah tau Nurul sejak dulu. "Gak usah, Nur. Kamu kasih tau pun, buat apa? Fatimah udah sama yang lain, kan?"
Nurul menghembuskan nafasnya lega. "Udahlah, Zam. Buka lembaran baru kamu. Lembaran lama udah berdebu, dan gak bisa dibersihin lagi. Kamu itu terlalu bertahan pada seseorang yang kenyataannya dia udah lupa sama kamu. Tanpa kamu sadari, bahwa ada orang yang belasan tahun nunggu kamu. Yang beberapa tahun diabaikan karena kamu terlalu asyik melindungi dia. Selama ini, kamu anggap aku apa?"
Azam diam seribu bahasa. Mulutnya bungkam tak mampu berkata.
"Ah, lupakanlah, Zam! Aku gak bisa maksa. Berdoalah pada Allah, agar kamu diberikan yang terbaik."
Azam sekali lagi hanya diam. Saat ini, mengapa semuanya menjadi rumit? Sepusing inikah cinta?
Ku pikir, cinta selalu berujung indah. Namun, aku salah besar. Begitu banyak ujian di dalamnya. Mau tak mau, aku harus menerima kerumitan ini.
Dia telah pergi,
Meninggalkan semua kenangan yang masih kugenggam erat agar tak lupa.
Sekarang, aku bisa mengikhlaskannya. Tapi dia atas kerumitan ini aku merasa benar-benar gundah.
Allah, harus kemana hati ini mengadu selain kepadaMu? Engkaulah sebaik-baik tempat mengadu.
Tentang jodoh, aku serahkan pula padaMu, ya Rabbi...
____________________________________
Tok... Tok... Tok...
"Akhwat bangun, Akhwat!!! Tahajud!!!" teriak seorang divisi keamanan pada setiap kamar sambil mengetok-ngetok pintu dan jendelanya.
Tak lama setelah itu, semuanya serempak bangun. Di Kamar Makkah, ada satu ranjang yang kosong. Mereka tau, jika itu adalah ranjangnya Syifa. Mereka heran, jika biasanya Syifa selalu yang paling terlambat, sekarang justru dia yang paling dulu bangun.
Saat salah seorang santri akan berjalan menuju pintu untuk pergi berwudhu, tiba-tiba ia seperti menginjak sebuah tangan hingga terdengar suara, "Aww, sakiittt!"
Santri itu terkejut dan menoleh reflek ke sumber suara. "Eh, afwan. Loh, Syifa? Aku kira kamu udah bangun duluan. Kok, kamu tidur di bawah sih?"
Syifa yang terbangun syok itu masih dalam keadaan setengah sadar. "Hah? Jatoh dari ranjang deh, kayaknya."
"Hadeehh, masih aja suka jatoh."
Syifa nampak masih sedang mengantuk. Santri yang lainnya segera pergi ke masjid. Sudah banyak santri yang membangunkan Syifa, namun ia tak kunjung bangun.
Tak lama setelah itu, ada yang memanggil namanya dari belakang. "Fatimah!!!"
Syifa menoleh reflek dan mengernyitkan dahinya bingung. "Kamu siapa?"
"Penyelamat kamu."
Syifa semakin bingung. "Penyelamat?"
"Aku Ka Ali. Seandainya kamu tau, saat ini aku berada sangat dekat denganmu. Namun, kurasa kau masih ragu, Fa?"
"Maksudnya?"
"Jika kita tidak ditakdirkan bersama, semoga kita digantikan dengan yang lebih baik menurut Allah. Allah Maha Tahu dan Tak Pernah Keliru. Semoga kita semakin kuat dengan saling mengikhlaskan."
____________________________________
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro