Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab26 | Asyifa Fatimah Azzahra

Kadang, masalah datang tanpa di undang. Setelah di selesaikan, datang lagi masalah baru. Banyak orang yang tak ingin menghadapinya dan justru malah mundur. Padahal, masalah datang untuk di hadapi. Namun, bagaimana jika masalah datang karena kesalahan orang lain?

Itulah ujian. Betapa ingin taunya Allah level keimanan seseorang.

"Syifa benci cewe itu, Umi," keluh Syifa sambil menangis sesenggukan dipelukan Uminya.

"Ssstt... Syifa gak boleh bilang gitu. Coba ingat-ingat, siapa yang ngelahirin Syifa?" Nisa menenangkan Syifa sambil menghapus air yang mengalir di pipi Syifa.

"Umi... Fiany punya kekuasaan yang tinggi di sekolah. Dia punya hak buat ngeluarin orang sekehendaknya. Dan Syifa di keluarin sama Fiany. Tadi ada surat dari kepala sekolah," kata Syifa dengan isakan tangisnya.

Nisa tersenyum. "Mungkin, ini cara Allah. Besok, kamu ke pesantren aja langsung. Sudahlah, lupakan masalah ini. Mending mencari ilmu aja," nasehatnya.

Isakan tangis Syifa terhenti. Ia memandang mata Sang Ibu tiri. Mata indah penuh harapan itu tidak pernah membohongi Syifa. Ah, Syifa sayang Umi... Syifa segera memeluk Nisa erat.

____________________________________

Hari ini adalah hari Minggu yang seharusnya menjadi hari istirahat bagi lelaki berkaca mata yang sedang sibuk di dapur itu. Dengan lincah ia mengiris bawang merah dan bawang putih. Di sampingnya terdengar suara penggorengan yang di dalamnya ada ikan.

"Zam, abis itu jangan lupa bikin sambel. Cabenya jangan terlalu banyak. Abis itu goreng tahu sama tempenya, jangan lupa cuci barang-barang yang kotor. Terus kalo udah, beresin rumah ya, teru-" ucapan Uminya terpotong.

"Terus apa lagi?" Tampaknya Azam mulai kesal.

Aisyah, Uminya menyengir kuda. Betapa cerewetnya ia menjadi seorang Ibu. Namun ia tetap memaklumi, karena itulah ciri khas seorang Ibu.

"Emang siapa yang mau dateng?" Azam penasaran dengan hal yang membuat Uminya sesibuk ini di dapur.

"Kalo kamu tau orangnya, pasti seneng."

"Emang siapa?"

"Ituloh, temen kamu waktu kecil."

Azam terdiam. Otaknya berputar saat mendengar kata, "temen kamu waktu kecil." Secercah harapan menerangi hatinya. Benarkah Fatimah akan kembali?

"Beneran? Mi?" tanya Azam ragu-ragu.

"Itu loh anaknya Almarhum Pak Arif. Yang namanya Syifa kalo gak salah."

Entahlah, cahaya di hatinya tiba-tiba pudar. Bukan Syifa yang ia harapkan, tapi Fatimah teman masa kecilnya dulu.

"Oh, itu mah bukan temen kecil Azam. Mi, Azam beresin ruang tamu ya." Azam pergi dengan segenggam kekesalan.

Tak lama setelah itu, tiba-tiba datanglah Nurul dari pintu belakang rumah. Ia menghampiri Aisyah. Nurul adalah salah satu santri di sana, dia memang dekat dengan Aisyah, jadi ia sering datang untuk sekedar membantu.

"Assalamualaikum, Ustadzah," ucapnya sambil mencium tangan Aisyah.

"Eh, Nurul, Waalaikumussalam."

"Ustadzah, katanya mau ada tamu, ya?" tanya Nurul.

Aisyah sibuk dengan penggorengan. "Iya nih, itu loh, Fatimah temen kecilnya Azam mau dateng. Tapi Ustadzah tuh bingung, kenapa si Fatimah jadi suka di panggil Syifa. Ustadzah juga baru ngeuh kalo Fatimah itu anaknya Almarhum Pak Arif, ya pastinya Syifa dong. Secara kan, beliau cuma punya anak perempuan satu."

Nurul terdiam. Hatinya mulai resah. Kalo Azam tau, Syifa itu Fatimah, bisa jadi dia balik lagi ke Fatimah, batinnya.

"Mereka dulu deket banget, ya, Ustadzah. Nurul aja dicuekin mulu sama Azam. Padahal, Nurul juga temennya Azam." Nurul mengerucutkan bikirnya kesal saat mengingat masa lalu.

"Ah, begitulah Azam. Kalo udah suka sama seorang, ya dia bakal terus suka. Sama kaya Abinya dia tuh," jelas Aisyah.

Di sisi lain, Azam tengah menyapu ruang tamu. Dengan cekatan ia menyapu ruangan itu.
Ia sangat menyukai kebersihan, jika sedikit kotor, pasti ia akan langsung membersihkannya.

Selesai menyapu, ia beralih untuk membersihkan debu-depu di meja dan kursi menggunakan kemoceng. Di atas meja, ada beberapa foto keluarga yang menampilkan sosoknya, Kakaknya, Zidan, Aisyah, dan Faqih, Abinya. Di foto itu, ada seorang gadis tengah merangkul pundaknya. Gadis itu adalah  kakaknya. Seorang Kakak yang lahirnya hanya berbeda 7 menit saja dengannya. Dia memang kembaran Azam, dan dia adalah yang paling dekat dengan Azam. Dia selalu paham keadaan Azam.

Zahra Azima Thalibah, namanya. Saat ini, dia bersekolah di Mesir. Berbeda dengan Azam, Zahra justru mengambil program beasiswa hingga bisa terbang ke sana. Itulah salah satu yang Azam kagumi dari Kakaknya. Sedangkan Azam saat ini masih berjuang menuntut ilmu di pesantren milik Abinya.

Katanya, Zahra akan pulang sekitar beberapa minggu lagi untuk berlibur di tanah air. Biasanya, Zahra tidak pulang ke Indonesia karena jauh. Zahra justru lebih sering berlibur di Cairo, di tempat Pamannya.

Tak lama setelah pikirannya mengingat sosok Sang Kakak, tiba-tiba Nurul datang dari arah dapur menuju ruang tamu.

"Hay, Zam!" sapa Nurul sambil membawa baki yang berisi kue-kue basah.

Azam terperanjat kaget. "Eh, Nurul? Ngapain?"

"Bantuin Umi kamu," ucapnya sambil tersenyum. "Kamu lagi apa, Zam?"

"Beres-beres."

Nurul menyimpan piring berisi kue itu ke atas meja. "Tamu yang mau dateng, anaknya Pak Arif, ya, Zam?" tanyanya.

"Iya..." Azam sibuk merapikan foto-foto keluarga tanpa sedikitpun melirik ke arah Nurul.

"Zam, masih inget Fatimah, gak?"

Azam langsung menoleh. "Kenapa?"

"Kamu gak tau kabar tentang dia, gitu?"

"Dia di mana pun aku gak tau. Dia pergi, dan membawa semua, tanpa pernah memberi kabar." Azam terlihat sedikit murung.

Nurul membawa baki ke pelukannya, dan lantas duduk di atas sofa. "Seandainya kamu tau, kabar Fatimah. Pasti kamu bakal berhenti mencari-cari sosoknya."

"Maksud kamu?"

"Nih...." Nurul menyodorkan sepucuk surat pada Azam.

Azam menerimanya dengan ragu. "Surat apa?"

"Liat aja, tapi nanti deh, kalo kamu lagi sendiri."

Azam memasukan surat itu ke saku baju kokonya. Ada rasa penasaran, namun ia tetap menahan sifat terburu-burunya.

"Hey, ayo bantuin bawa makanannya dari dapur. Tuh, liat, mobil mereka udah dateng." Aisyah menunjuk ke arah jendela yang benar saja menampilkan mobil hitam milik tamu.

Azam bergegas ke dapur. Sedangkan Nurul malah diam sambil tersenyum tipis yang tak bisa didefinisikan artinya.

"Eh, Nur. Tadi kamu nulis apa di dapur? Pake acara minjem pulpen sama minta amplop segala?" tanya Aisyah.

Nurul gelagapan. "Hah? Engh, anu..." ucapnya terpotong.

"Assalamualaikum," ucap seseorang di luar sana.

"Waalaikumussalam," jawab Aisyah dan Nurul.

"Ustadzah, Nurul pamit ya. Mau mantau piket santri." Nurul lantas pergi menuju pintu belakang rumah Aisyah. Dia berlari dari pertanyaan Aisyah tadi. Semoga, ustadzah gak nanya itu lagi, batinnya.

Tamu yang datang saat itu adalah keluarga Syifa. Nisa, Sang Ibu, berniat menitipkan Aisyah di Pesantren milik Faqih, Abinya Azam. Karena Syifa sudah dikeluarkan tanpa alasan, dan itu memang keinginan Syifa juga. Agar masalah Ibunya di luar sana tidak membawa-bawa lagi namanya.

"Ka Aisyah, Nisa juga sekalian mau nitip Ilham nih. Dia juga gak mau kalah semangat mau menuntut ilmunya," ucap Nisa pada Aisyah.

Aisyah tersenyum, dan melirik ke arah Ilham sekejap. "Oh, iya, tentu saja, Nis. Ilmu Allah memang menjadi haknya selama ia hidup. Asalkan ia mau berusaha untuk mendapatkannya."

"Selamat bergabung dalam menuntut ilmu di sini ya Ilham, Syifa. Oh iya, kok sekarang nama kamu jadi Syifa sih, dulu kan, nama kamu Fatimah?" tanya Aisyah.

"Kok, Ustadzah tau?"

"Yang saya inget itu, Fatimah itu anaknya Almarhum Pak Arif. Eh, pas kemaren saya baru nyadar pas Pak Arif meninggal ada kamu yang katanya anak Almarhum Pak Arif. Ya otomatis kamu pasti Fatimah, dong?"

Syifa tampak berfikir sejenak, dan lantas terkekeh dengan keadaan yang masih setengah paham.

"Kok, jadi dipanggil Syifa, sih?"

"Nama aku, Asyifa Fatimah Azzahra, Ustadzah. Nama Fatimah itu hanya panggilan khusus untuk Ka Ali."

"Kalo di sini ada Ka Ali, kamu mau, dipanggil Fatimah lagi?"

Syifa terdiam. Dia masih belum paham dengan alur pembicaraan Aisyah. Syifa menggelengkan kepalanya pelan, tanda bahwa ia ragu pada sosok Ka Alinya itu.

___________________________________

^•^••^•^

Assalamualaikum :)

Hay, Ka Ali! Kaka masih inget Fatimah, kan? Sekarang temen kecil Kakak ini udah tumbuh besar dan cantik,loh, hehe.

Azam membaca surat dari Nurul. Dan ternyata yang ia ketahui surat ini dari Fatimah. Hatinya begitu senang. Tawa ringanpun tak henti-henti, saat membaca surat itu. Fatimah emang udah besar, tapi masih saja seperti anak kecil, batinnya sambil terkekeh. Ia kemudian melanjutkan membacanya.

Makasih banyak ya, kak. Udah selalu lindungin Fatimah waktu masih kecil. Sekarang Fatimah udah berani loh. Kak Ali bangga, kan?

Membaca bagian itu Azam tersenyum dan bergumam, "Kakak bangga banget. Biar kamu gak terlalu berisik lagi kalo lagi takut sesuatu." Azam terkekeh akibat gumamannya sendiri.

Makasiiih banget kak.
Nanti, Ka Ali gak usah cape-cape jagain Fatimah lagi. Fatimah udah aman, kok. Setelah Fatimah lulus, Fatimah bakal punya penjaga sendiri sekaligus pendamping hidup. Kalo Fatimah inget, Fatimah bakal undang Kaka, kok. Tapi kaka jangan pernah lupain Adik kecilnya kakak yang udah besar ini yaaa....

Semoga Kaka baik baik saja ;)

^•^••^•^

Membaca bagian terakhir itu, tiba-tiba dadanya sesak. Seseorang yang pernah berjanji akan menunggu itu justru menghianati dirinya yang sedang berusaha mencari sosoknya. Selupa itukah, Fatimah pada Pelindung masa kecilnya?

Azam meremas kertas beserta amplopnya. Rahangnya mengeras. Dadanya naik turun menahan sesak dan amarah. Segera ia melafalkan istigfar. Rasa kecewa dan menyesal berkecamuk di hatinya.

Ia berusaha menahan itu. Mencoba mengintropeksi diri. Siapa tau kekecewaan itu adalah kesalahannya.

"Aku baik-baik saja," ucapnya lirih.

___________________________________

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro