Bab17 | Membimbing? (2)
"Emm ... lo mau ngebimbing gue gak?" tanya Syifa yang berhasil membuat Azam terdiam untuk beberapa saat.
"Bimbing gue jadi cewe sholehah?"
Azam menelan ludahnya dengan susah payah. Jujur Azam tak mengerti maksud terdalam dari perkataan Syifa. Yang Azam tau jika membimbing wanita agar menjadi sholehah ya harus menghalalkannya dulu. Jadi, maukah Azam menghalalkan Syifa, lantas membimbing Syifa menjadi sholehah?
"Hmm ...." Hanya dehaman pelan sebagai jawaban dari Azam. Dan tentu Syifa tak mengerti.
Saat itu ekspresi Azam benar-benar sedang gugup. Syifa saja sudah tak tahan ingin menumpahkan tawanya. "Bhahaha ... lo lucu banget sih, ditanya gituan doang juga. Cepetan, mau bimbing gue gak?"
Azam gelagapan. Tak tau harus menjawab apa. Telah berusaha keras ia berpikir agar segera menjawab pertanyaan Syifa, karena ia tau Syifa tak suka menunggu. Dengan satu tarikan nafasnya, Azam menjawab, "Insyaallah, jika Allah menghendaki." Susah payah Azam.
"Beneran?"
Azam hanya mengangguk pelan.
"Serius?"
Azam menangguk untuk kedua kalinya.
"Yakin?"
Azam terdiam, dan hanya menunduk.
Tok ... Tok ... Tok ...
Suara ketukan pintu itu ibarat menjadi penyelamat Azam yang saat itu tak tahan dengan perasaannya yang sudah tak karuan. Jantungnya pun ibarat berlarian ke mana-mana. Guguuup sekari.
"Eh ... Ustadz, Ustadzah, masuk aja. Pasti mau ketemu sama Umi kan?" tanya Syifa. Sok tau, lebih tepatnya.
Dua orang yang ditanya hanya tersenyum dan sesekali saling berpandangan.
"Mari masuk, duduk aja dulu. Oiya, itu ada Ustadz muda juga di dalem."
Dua orang tamu itu mengernyitkan dahinya. "Mungkin Azam, dia kan di sini, lagi ngajar ngaji," bisik Aisyah pada Faqih, dua orang yang Syifa panggil dengan sebutan ustadz-ustadzah.
Tanpa harus menunggu lama, Nisa datang tanpa dipanggil oleh Syifa. Tentu saja ia tau ada tamu. Bagaimana tidak, suara bising di ruang tamu masih bisa terdengar sampai dapur.
"Eeh ... Umi peka juga ya. Belum dipanggil udah dateng. Ya udah deh, Syifa mau ke kamar aja. Siapa tau mau bicara penting." Baru saja Syifa akan melangkah untuk pergi, Aisyah segera menahannya, "Tunggu dulu, Syifa. Kita juga mau ngobrol sama kamu."
Syifa berjalan mundur, untuk duduk di sofa. Yang tersisa saat itu hanya satu tempat, yaitu di samping Azam. Kecuali jika Syifa mau duduk di tempat di mana ia diserang laba-laba. Tentu saja ia lebih memilih duduk di samping lelaki yang akhir-akhir ini ia akui tampan.
Baru saja Syifa duduk, Azam segera menggeserkan badannya sedikit, agar jaraknya tetap terjaga.
"Kita ke sini cuma mau silaturahmi aja. Sekalian kan, Azam nanti udah gak ngajar Syifa lagi. Kan, mau fokus sama UN terus sama tasmi," terang Aisyah.
Nisa tersenyum paham. "Oh iya, kita juga ngerti kok alasannya. Nanti kalo Syifa masih mau ngaji, saya carikan guru yang lain."
Asal Umi tau, Syifa gamau ngaji lagi kalo gak sama Ustadz muda, batin Syifa sambil mendengus kesal.
Obrolan demi obrolan, topik drmi topik mereka bertiga-Nisa, Faqih, dan Aisyah- obrolkan. Hingga berakhirlah obrolan mereka. Mereka bertiga sedari tadi sibuk mengobrol. Membiarkan Azam dan Syifa larut dalam pikirannya masing-masing.
Azam menunduk. Memainkan jari jemarinya, tak ada pekerjaan. Ada satu hal yang mengganjal di hatinya. Ia ingin mengobrol dengan Syifa. Waktu minimal 30 detik pun rasanya cukup baginya.
Sedangkan Syifa hanya diam. Mendengarkan obrolan-obrolan yang tak ada sangkut paut dengan dirinya. Sesekali ia melirik ke arah Azam yang hanya menunduk. Namun Syifa bisa menebak, jika Azam sedari tadi ingin berkata sesuatu. Bisa dilihat dari wajah gelisah tegangnya. Lo lucu banget sih, batin Syifa sambil terkekeh kecil.
Baru saja Syifa akan berkata, Azam justru sudah lebih dulu memberi kode dengan bangkit dari duduknya. "Umi, Abi, Tante. Azam mau berbicara sebentar drngan Syifa. Boleh?" tanya Azam yang lebih ditujukan pada Abinya.
"Boleh. Asal, ajak Zidan. Gak baik berdua duaan. Zidan ada di mobil," ucap Faqih.
Azam mengangguk. Kemudian, sebelum ia melangkah pergi, ia menatap Syifa sekilas. Sebagai kode, agar Syifa mengikutinya.
Mereka berada di taman depan rumah Syifa. Ketiganya-Azam, Zidan, dan Syifa- belum ada yang bersuara. Semuanya menatap kolam ikan di depannya. Tak ada yang duduk, walau tersedia beberapa bangku di sana. Semuanya berdiri. Suasana dingin. Hening. Tak ada suara.
"Jangan lupa tilawah." Pernyataan itu keluar dari mulut Azam sebagai pemecah pertama suasana yang sempat hening beberapa saat.
Syifa mendelikkan matanya. "Iya." Ada nada kurang ikhlas.
"Anti udah lumayan lancar baca Quran, sekarang. Tinggal rajin tilawah. Anti juga udah boleh ngafal surat-surat.
" Nih ..." Azam menyodorkan barang yang Syifa kira itu adalah buku diary kecil bersleting.
Sambil menerima, Syifa bertanya bingung, "Ini buku diary?" tanyanya polos.
Yang sedari tadi diam, tiba-tiba tertawa sampai terbahak-bahak. Zidan. Dia yang tertawa.
"Hahaha.... Diary katanya? Baca dong itu arabnya. Itu Al-Quran," ledek Zidan.
Syifa menggaruk tengkuknya malu. Ia juga menyempatkan untuk memberi tatapan tajamnya pada Zidan. "O oh, Al-Quran?"
"Biar Anti mudah membawanya. Biar Anti bisa membacanya di mana saja," ucap Azam tanpa senyuman. Tanpa ekspresi. Wajahnya datar. Tak melirik sedikitpun ke arah Syifa.
"Lo yakin, gak mau ngajarin gue ngaji lagi?" Syifa mengangkat sebelah alisnya.
Azam menggrlengkan kepalanya pelan. "Biar waktu yang menjawabnya. Dan jika Allah berkehendak, kita pasti akan dipertemukan kembali. Entah bertemu untuk apa. Entah hanya untuk sekedar bertemu, mengobrol, belajar mengaji lagi, dan entah dipertemukan untuk menjadi sep-," Azam tak meneruskan pembicaraannya. Azam saat itu sudah terlalu frontal dan jauh dari Azam si dingin seperti sebelumnya.
Zidan mengernyit bingung mendengar penuturan langka Kakaknya. Dan untungnya, Syifa lemot. Ia kurang paham atas perkataan Azam.
"Bisa gak, diperjelas lagi bahasanya? Syifa beneran gak ngerti."
Azam gelagapan. "Euh.... enggak jadi."
"Gak bisa! Lo harus jelasin!" bentak Syifa.
Azam mencari alasan. "Insyaallah ya, jika Allah berkehendak kita belajar ngaji lagi."
Good. Alasan yang masuk akal. Syifa hanya mengiyakannya saja.
"Kalo soal membimbing, gimana? Lo yakin, mau?" tanya Syifa polos.
Duh, bahasannya udah ke situ lagi, batin Azam.
Dengan satu tarikan nafas, Azam berkata, " Lupakan dulu soal itu. Anti perbaiki diri aja dulu."
"Ya tapi gue butuh orang buat ngebimbing jadi orang baik itu. Gue butuh keyakinan."
Azam mengira dan selalu mengira jika maksud Syifa adalah dengan cara menghalalkannya. Padahal, Syifa hanya butuh orang untuk selalu mengingatkannya.
Pikiran mereka berbeda. Azam terlalu serius dan berpikir terlalu jauh. Sedangkan Syifa dengan polosnya meminta dibimbing. Bukan dibimbing menjadi istri Shalihah, seperti yang Azam pikir. Tapi hanya dibimbing jadi wanita yang baik. Kata 'bimbing' tidak selamanya menjurus pada menghalalkannya dulu, kan?
"Anti sekolah aja dulu. Saya juga mau ujian dulu. Untuk masalah itu, nanti aja..." lagipula, aku harus berusaha untuk tidak memilihnya. Pilihanku masih pada orang yang berjanji akan menungguku, lanjut Azam dalam hati.
Syifa mengeryitkan dahinya bingung. Semakin lama, semakin ia tak mengerti dengan jalan pikiran Azam. "Cowo aneh...." dengusnya kesal.
"But, makasih." Syifa tersenyum tipis pada Azam. Maniiss sekali. Azam menatap Syifa sekilas. Segera ia palingkan dari wanita yang ia takutkan dapat menggoyahkan hatinya. Yang dapat membawa keduanya ke dalam Zina.
"Sama-sama." Hanya itu jawaban dari Azam. Kemudian berlalu pergi ke dalam rumah untuk menemui orang tuanya.
Baru saja Azam akan masuk, kedua orang tuanya justru malah akan keluar. Mungkin pembicaraannya telah selesai, pikirnya.
"Insyaallah, nanti kita silaturahmi lagi ya, ke sini. Entah nanti kita akan membicarakan apalagi. Bisa jadi membicarakan Azam sama Syifa," ucap Aisyah sambil melirik ke arah Azam yang kebingungan dan ke arah Syifa yang baru saja datang.
"Membicarakan apa?" Azam penasaran.
"Jika Allah menghendaki, ya membicarakan hubungan kalian," jawab Aisyah.
Azam terlihat seperti tengah menghembus kasar nafasnya. Entah mengapa, seperti ada sesak di hatinya. Ia tak tau, krnapa bisa jantungnya berdegup begitu kencang jika nama 'Syifa' terdengar oleh telinganya. Apa ia.... jatuh cinta?
Tidak!!! Di sana ada yang menungguku! Fatimah menungguku. Jangan labil, Zam. Tetap saling mendoakan dengan Fatimah, batin Azam.
Seandainya Syifa mendengar suara batin Azam, mungkin sudah tumpah air matanya.
***
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro