Bab10 | Belajar, belajar, dan belajar
Waktu memang kadang tak terasa. Seperti ketika sekolah, contohnya, pasti sudah tak terasa jika kita sudah melewati banyak masa-masa sulit. Masa-masa itu biasanya terdiri dari tugas yang segunung, ulangan harian, tes hafalan, tanya jawab lisan, hingga ulangan akhir semester. Dan yang akan Syifa hadapi lusa adalah UAS atau Ulangan Akhir Semester.
"Mampus!!! Masa lusa UAS, sih?" tanya Syifa pada Alya dengan ekspresi super paniknya.
Alya mengambil paksa boneka yang saat itu berada di pelukan Syifa. "Ya emang lusa, Syifa. Emang kenapa, sih?"
Syifa menatap Alya. "Siapa sih, yang berani-beraninya mempercepat tanggal UAS? Dasar, masa seenaknya gitu nentuin tanggal. Gue kan, belum sempet belajar serius," gerutu Syifa.
"Dasar Asyifa! Yang seenaknya itu elo, ngomong seenak jidat lo aja! Yang salah di sini itu elo, salah elo sendiri gak pernah serius kalo belajar."
"Gue gak mau tau, Al. pokoknya kita mesti demo! UAS harus diundur, seenggaknya seminggu lagi, kek."
"Sana demo ke Bu Rina, dijamin lo soak dengerin suara cetarnya Bu Rina, haha." Tawa Alya pun pecah.
Melihat itu, Syifa mengambil kembali boneka yang Alya pegang, kemudian ia lemparkan ke wajah Alya. "Terus ketawa, terus, sampe ada cowo sholeh yang ngajak lo pacaran!" Syifa beranjak dari kasurnya.
"Eh, lo mau kemana, Fa?" tanya Alya sambil mengikuti Syifa ke luar kamar.
Syifa melangkahkan kakinya menuju lantai bawah. Saat ia menuruni tangga, terlihat di ruang tamu ada seorang lelaki seperti tengah menunggu sesuatu. Saat Syifa memfokuskan lensa matanya pada lelaki itu, dia langsung tersadar, bahwa hari ini ia harus belajar ngaji dengan Azam. "Aduh! Gue lupa! Kan, sekarang mesti belajar ngaji," ucap Syifa lirih.
"Oh ... jadi yang suka lo panggil Ustadz muda itu dia, ya, Fa? Ganteng juga," puji Alya tanpa berhenti menatap Azam.
"Ganteng sih ganteng, tapi nyebelinnya pake banget!" Sesekali Syifa mencuri pandangan Azam.
"Yakin, nyebelin? Kalo gitu, boleh dong, dia buat gue?" goda Alya.
"Eh, jangan jangan," ucap Syifa cepat.
"Kok, jangan, Fa?"
"Kalo dia gak nyebelin, dia gak boleh buat lo!"
"Euuh, dasar! Kalo lo mau mah, booking dari sekarang. Entar dia keburu lamar orang, loh."
Syifa yang geram langsung menonjok lengan Alya hingga Alya meringis kesakitan. "Ish! Sakit, ah. Yaudah sono kalo mau belajar ngaji. Gue mau balik dulu." Alya mengambil tasnya yang berada di kursi tak jauh dari mereka berdiri.
Sambil melewati Syifa, Alya berkata, "Hati-hati Fa, entar lo tiba-tiba dilamar sama ustadz muda itu. Cowo kaya dia kan, gak mungkin pacaran Fa. Maka dari itu, lo harus siap mental biar bisa jadi ibu rumah tangga muda. Hahaha..." Kemudian Alya berlari menuju pintu keluar. Tentu saja Azam melihat Alya, karena pintu keluarnya berada dekat dengan kursi yang Azam duduki.
Syifa membulatkan matanya. Ia juga sempat melempar sandal jepitnya ke arah Alya, namun tidak tepat sasaran. Yang mendapat lemparan sandal itu justru Azam yang tengah duduk di ruang tamu. "Astagfirullah..." Terdengar suara istigfar, namun lirih dari ruang tamu sana.
"Aduh! Malah kena ke si ustadz muda, lagi." Syifa segera menghampiri Azam yang tengah mengusap-ngusap pelipisnya akibat lemparan sandal jepit Syifa tadi.
Azam bangkit dari duduknya dan berkata, "Ini sandal siapa?" Azam mengacungkan sandal jepit warna biru milik Syifa.
Syifa menunduk malu. Mau ditaruh dimana mukanya saat itu. "Itu sandal gue. Sorry ... gue gak sengaja."
Syifa kira Azam akan marah, atau melempar balik sandal itu, namun ternyata dugaan Syifa salah. Azam justru malah menyodorkan sandal itu ke arahnya sambil tersenyum. "Nih."
Syifa menelan ludahnya, saat secara tiba-tiba ada getaran aneh di jantungnya. Ah, tidak! Syifa tidak mungkin anu pada ustadz muda itu.
Dengan cepat, Syifa langsung mengambil sendal itu dan kemudian mengenakannya.
"Lekaslah ganti bajumu, dengan gamis, agar lebih tertutup," ucap Azam setelah melihat baju serba pendek yang Syifa kenakan.
Lo licik, Ustadz muda. Lo malah seenaknya bikin hati gue gemeteran, batin Syifa.
***
Sudah sekitar 2 jam Azam mengajar Syifa ngaji. Tentu, ia pasti merasa lelah mengajar Syifa lagi. terlebih jika ia harus mendengar ocehan-ocehan Syifa yang terus menolak ketika disuruh kembali membaca Iqra. "Gue udah tamat Iqra, so, ajarin gue baca Al-Quran aja," kata Syifa.
Ketika Syifa membereskan Al-Qurannya, tiba-tiba Arif dan Nisa datang menghampiri mereka berdua dengan membawa setumpuk buku pelajaran yang Syifa yakini itu adalah buku-buku pelajaran miliknya.
"Nak Azam sudah diizini Abi buat ngajarin Syifa Fisika, kan?" tanya Arif sambil menyimpan buku itu ke meja yang berada di hadapan Syifa.
Syifa menganga lebar melihat buku yang isinya dipenuhi dengan rumus itu, kemudian berkata, "Ayah apa-apaan, sih? Ini ngapain bawa buku ini? Gue gak mau belajar Fisika, gue gak suka sama pelajaran itu."
"Besok lusa kamu UAS, dan kamu harus belajar banyak sama Azam. Nilai Fisika kamu kan, selalu ancur. Ayah bakal kasih kamu hadiah, kalo nilai Fisika kamu di atas 7."
Mata Syifa langsung membulat sempurna. "Beneran? Hadiahnya apaan dulu?"
"Hadiahnya Ayah bakal modif mobil Ferarri kamu."
"Hah? Ayah gak bohong, kan? Kalo Ayah bohong dosa loh. Beneran, Yah?"
Arif hanya mengangguk. Jika bukan Nisa yang mengingatkan Ayah kalo kamu lusa UAS, mana sempat Ayah menyuruhmu belajar, Asyifa, batin Arif.
Jujur saja, Syifa benar-benar bosan mendengarkan Azam menjelaskan beberapa materi. Baginya, Fisika itu sulit. Namun, jika ada kemauan untuk belajar, tentu dengan cepat dia pasti bisa dan pandai menaklukan rumus-rumus Fisika.
"Coba Ukhti kerjakan soal nomber 2," perintah Azam sambil menggeserkan buku yang berisi kumpulan soal-soal Fisika kelas 10.
Syifa memperhatikan soal itu. Yang ia lihat adalah angka dan sebuah gambar. Jika itu sebuah persegi dengan angka di setiap sisinya, Syifa pasti langsung mengalikan setiap angka tersebut. Tak pernah ia peduli, apakah jawabannya akan benar atau salah. Syukur-syukur jika benar.
Bagi Syifa, Matematika jauh lebih mudah daripada Fisika. Jika dia benar-benar tidak mengerti dengan pertanyaan dari si soal, dia bisa berpikir melalui logikanya. Dan terkadang, mengerjakan matematika menggunakan logika itu benar. Namun tentu saja harus dengan cara yang masuk akal. Beruntungnya, Syifa selalu berhasil mengerjakan beberapa soal matematika yang menurutnya bisa diisi menggunakan logika.
Seperti contohnya Wendy, teman sekelasnya yang selalu menggunakan logika. Katakanlah ia adalah seseorang yang bandel bin nakal. Kerjaannya di kelas hanya mengganggu para wanita, bahkan saat guru menerangkanpun dia hanya disibukkan dengan barang-barang yang ia ciptakan dari bahan kardus, bahkan kertas. Dia memang kreatif. Tak disangka pula, dia bisa mengerjakan soal UN pas SMP dengan akal kreatifnya itu.
Saat itu –Ujian Nasional SMP− Syifa duduk di bangku belakang Wendy. Syifa tidak berani bertanya pada Wendy karena dia takut jawaban anak itu salah. Namun, ketika Wendy menjelaskan caranya, Syifa bisa sedikit percaya. Terlebih saat si juara umum sekolah mengatakan bahwa jawaban Wendy itu benar. Semua yang Wendy gunakan dalam mengisi soal matematika melenceng jauh dari rumus aslinya, namun jawabannya benar. Sssttt... hanya Asyifa yang tau cara menggunakan logika ala-ala nya itu.
Itu jika soal matematika, tapi ini adalah soal Fisika. Melihat soalnya saja sudah membuat Syifa migraine bukan main. "Gue gak bisa ngerjain soal yang ini." Syifa menjawab dengan enteng.
"Ukhti, saya baru saja menjelaskan materi tentang soal ini. Saya juga sudah memberikan contoh soal beserta jawabannya," ucap Azam dengan sabar.
"Ya udah si, gue emang udah ditakdirin gak bisa belajar Fisika. Kalo lo maksa biar gue bisa ngerjain soal ini, itu sama aja seperti lo nolak apa yang udah ditakdirin buat gue."
"Tapi kecerdasan dan kepintaran seseorang itu adalah takdir Muallaq, yaitu takdir yang bisa diubah dengan ikhtiar, kerja keras, usaha dan doa. Kita harus memilih, apakah kita ingin menjadi pintar atau bodoh?"
Syifa menyilangkan tangannya di depan dada. "Itu pertanyaan terbodoh. Pertanyaaan yang seharusnya enggak lo ucapkan."
"kenapa?"
"Karena tanpa lo ucapkanpun semua orang pasti ingin pintar. Siapa coba yang pengen jadi orang bodoh?"
"Maka dari itu, sebelum kita ulangan, maka belajarlah terlebih dahulu. Emang, Ukhti tidak ingin mendapat nilai bagus? Jika nilai Ukhti bagus, tentu apapun keinginan Ukhti bisa Ayah Ukhti berikan."
Ustadz muda ini bener juga ya? pinter banget dia. Kok, gue ngerasa kagum ya sama dia, pikir Syifa dalam hati. "Eh enggak, enggak, gak mungkin gue kagum sama cowo kaya gitu," lirihnya.
"Karena, tidak ada seorang pun yang rela disebut orang bodoh, istilah itu akan menjadikan seseorang rendah dan hina. Dan solusi agar terhindar dari kebodohan itu adalah dengan menuntut ilmu."
"Baiklah, Ukhti perhatikan lagi yah, penjelasan dari saya. Semoga Allah mudahkan pemahamanmu Ukhti," ucap Azam sambil tersenyum.
Syifa memperhatikan cara Azam menjelaskan sebuah soal yang menurutnya sulit itu. Dari mulutnya yang tak berhenti memberikan penjelasan, hingga gerak tangan yang mengikuti arah pembicaraannya, membuat Syifa terdiam untuk memperhatikan sejenak wajah teduh Azam. Benar-benar membuat hati Syifa tenang.
Lama kelamaan, Syifa jadi luluh oleh penjelasan Azam. Namun, sesekali Syifa menguap karena ngantuk. Semua penjelasan Azam tentang pelajaran itu ibaratkan musik pengantar tidur. Bagi Syifa, guru atau Azam sekalipun, jika sedang menjelaskan sebuah materi, pasti selalu membuat setiap muridnya mengantuk. Seperti Pa Yusuf, contohnya, ketika sedang menjelaskan tentang sejarah Islam. Itu pasti selalu berhasil membuat murid kelas 10 IPA2 mengantuk. Jelas bisa ditebak, ketika guru menenrangkan, pasti selalu ada saja yang mengantuk, menguap, bahkan sampai tertidur sekalipun.
Syukurnya, ada satu soal yang bisa Syifa kuasai. Dia diberi beberapa soal oleh Azam, dan senangnya ia bisa menjawabnya, walau hanya beberapa. Memang benar apa kata Azam lewat LINE waktu itu, jika usaha tidak akan menghianati hasil. Usaha Syifa adalah terus menyimak Azam, ditambah lagi dengan latihan-latihan soal. Jujur saja itu bisa membuat Syifa mudah menguasai soal. Syifa memang lebih menyukai belajar dengan cara mendengarkan. Dan gaya belajar yang paling optimal untuknya adalah dengan suara, musik, dan bahasa.
Hmm ... asik juga belajar Fisika sama si ustadz muda, batin Syifa.
Azam meniutup buku-buku yang tadi digunakannya untuk mengajari Syifa. "Nanti malam, Ukhti harus banyak-banyak latihan soal ya, biar makin paham."
"Males!" keluh Syifa sambil mendelikkan matanya.
"Gimana Ukhti bisa mengerjakan soal jika tanpa berlatih?"
"Kalo lo yang nemenin, gue mau."
Deg!
Azam langsung terdiam saat Syifa mengatakan itu. Jujur saja itu membuat jantungnya bergetar hebat.
"Hmm ... no baper deh. Gue cuma bercanda."
Huft ... Azam menghembuskan nafasnya lega. "Kalo boleh, saya mau izin pulang," ucap Azam.
"Ya udah, silahkan. Jangan lupa besok dateng lagi buat ngebimbing gue." Syifa terkekeh pelan ketika melihat wajah Azam yang mulai merah merona, jujur, itu membuat Syifa semangat menggoda Azam. "Ngebimbing jadi istri yang sholehah buat lo, Pa ustadz muda, hahaha." Tawa Syifa pun pecah, sampai-sampai Syifa memegangi perutnya karena tertawa.
"Assalamualaikum." Azam mengucapkan salam, sebelum akhirnya pergi ke luar dari rumah Syifa.
"Bye, Ustadz muda. Sampai ketemu lagi besok ... ups, gue lupa, waalaikumussalam." Jujur, ini pertama kalinya Syifa menjawab salam dari Azam.
***
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro