🍁 8 🍁
"Gimana kabarmu?" Menoleh cepat, Suri menatap wanita yang duduk di seberangnya.
"Seperti yang mbak liat." Suri kembali menunduk. Malu.
Iya. Dirinya merasa malu. Kembali dipertemukan dengan Bunga membuat memori terkelam dalam hidupnya seakan berlomba-lomba ingin keluar dari kotak pandora yang coba ia tutup rapat.
Bunga sendiri tak tahu harus bagaimana ia menyimpulkan kehidupan Suri yang sekarang. Wanita yang di makan usia itu kini bukan lagi sosok gadis manja, yang menghalalkan segala cara untuk mendapatkan keinginannya. Termasuk Pijar. Gadis itu susah bertransformasi menjadi seorang wanita.
Tak ada baju bermerk mentereng melekat padanya, tergantikan dengan jeans usang dan kaos yang warnanya sudah mulai memudar saking seringnya dipakai. Suri yang dulu selalu cantik karena make up, kini hanya ada Suri dengan wajah natural tanpa make up dan rambut kusam tanpa perawatan salon seperti dulu. Meski terlihat lebih dewasa, tapi wajah lelah Suri terlihat jelas di mata Bunga saat ini.
Seberat apa kehidupan Suri yang sekarang?
"Suri...kenapa kamu berada di sini?"
"Aku cukup tau diri buat nggak balik ke rumah orang tuaku. Setelah menghancurkan rumah tangga kalian, lalu membunuh bayimu. Apa aku masih punya keberanian itu? Meski sejuta maaf terucap pun nggak akan bisa ngembaliin apapun yang udah kurusak."
"Kamu nggak membunuhnya," sangkal Bunga yang menunduk mengaduk minumannya dengan sedotan.
Tak urung memori ketika ia sengaja mendorong Bunga dari lantai dua, membuat ribuan penyesalan dalam hati Suri. Ia hanya berniat mencederai Bunga, tanpa maksud membunuh janin yang masih berusia delapan minggu tersebut. Ia sama sekali tak mengetahui kehamilan Bunga. Selicik apapun dia, bukan berarti ia bisa membunuh siapa saja. Apalagi janin yang tak berdosa. Dirinya tak sekejam itu.
"Sejak awal kandunganku emang lemah, dan...itu bukan pertama kalinya aku keguguran." Suri terbelalak tak percaya. "Itu yang kedua kalinya aku kehilangan janinku."
Suri mengatupkan bibirnya. Kenyataan jika Bunga pernah keguguran, baru pertama kalinya ia mendengar hal itu.
"Maaf untuk kehilanganmu." Bunga menggeleng cepat.
"Kalo saja aku nggak gugurin anakku yang pertama, mungkin kandunganku yang kedua nggak serentan itu."
"Gugurin?" Suara Suri tersekat di tenggorokan. Satu fakta yang tak pernah Suri tahu sebelumnya.
"Aku masih muda saat mengugurkan kandunganku. Aku masih ingin kuliah dan menikmati masa muda, yang berakhir ngambil keputusan bodoh itu. Pijar akhirnya tahu jika aku pernah gugurin anaknya, dan dia begitu marah."
"Ada campur tanganku pula atas kehancuran rumah tangga kalian." Bunga meraih tangan Suri yang ada di atas meja dan menggengamnya erat.
"Awalnya emang iya. Aku beranggapan kalo kamu pihak ketiga yang udah ngancurin rumah tanggaku sama Pijar. Tapi...semakin kesini, aku semakin sadar. Kalo sedari awal rumah tanggaku nggak baik-baik aja. Kebohonganku dari awal sedikit banyak membuatku tertekan, karena nggak jujur."
"Obsesimu mengerikan!"
Suri tersenyun sumir. Ia menyadari jika obsesinya kepada Pijar begitu mengerikan. Bahkan dulu ia tak segan-segan mengatur adegan perselingkuhan antara Bunga dan pria yang ia sewa untuk berpura-pura menjadi pria idaman lain Bunga. Belum lagi manipulasi keadaan yang semakin memperburuk keadaan.
"Maaf untuk semuanya." Bunga kembali menggeleng.
"Aku udah denger semua yang nimpa kamu tujuh tahun yang lalu."
"Ya...begitu lah. Mungkin itu juga karmaku karena terlalu maksain milikin apa yang nggak seharusnya aku milikin." Suri masih tak bisa menatap langsung manik Bunga. Ia tahu bahwa dirinya juga salah satu penyumbang kepedihan hidupnya. "Kamu bahagia, Mbak?"
Kali ini Bunga tersenyum lebar dan mengangguk mantap. "Sangat! Aku udah nikah, kalo kamu mau tahu. Dan...aku udah punya anak meski itu kembali menghantarkanku di ambang kematian."
"Syukurlah kalo mbak Bunga bahagia, paling nggak perasaan bersalahku berkurang."
Jujur saja, Suri memang berharap Bunga bahagia. Apalagi mendengar mantan rivalnya itu sudah menikah dan punya anak, tak urung satu beban terangkat dari pundaknya. Dulu ia memang berharap Bunga mau kembali pada Pijar. Namun melihat prianya itu sudah menikah dengan wanita lain, harapan Suri pupus seketika untuk berusaha memperbaiki apa yang sudah ia rusak.
Dihantui perasaan bersalah membuat hidup Suri tak bisa tenang. Agaknya pertemuan tak terduga ini, tak semengerikan yang Suri bayangkan. Paling tidak Bunga Sekartaji telah bahagia dengan hidupnya yang sekarang.
"Kamu juga harus bahagia, Maysuri."
Untuk ucapan yang digaungkan Bunga, Suri sangsi bahwa kebahagiaan akan menghampirinya. Karena setahu Suri, satu kata yang setiap orang idam-idamkan termasuk dirinya, ada hal yang tidak mungkin ia gapai.
Tuhan masih ingin menghukumnya.
.
.
.
Ratusan undangan memadati area kolam renang yang menjadi venue tempat sebuah resepsi pernikahan, membuat lalu-lalang orang tak ada habisnya. Kebahagiaan dan canda tawa jelas menguar ke segala penjuru, tapi sayangnya ada satu pria yang tak menunjukan keceriaan.
Pria bersetelan jas mahal tersebut memilih menyendiri di taman resort tersebut, mengeluarkan sebatang nikotin dari tempatnya yang ia simpan di kantong celananya kemudian menyulut dan menghisapnya perlahan.
Rokok sudah menjadi kebutuhannya setelah kejadian tujuh tahun lalu. Mengendapkan hasil pembakaran nikotin dalam tengorokannya membuat Pijar sedikit merasakan ketenangan.
Teringat jika Keiyona mengalami kebocoran klep jantung, membuat pijar terburu-buru melemparkan putung rokok yang masih sisa separuh ke paving dan menginjaknya kuat.
Hari ini terakhir ia berada di kota Malang, besok pagi dirinya akan kembali ke Jakarta dan melanjutkan aktivitasnya kembali. Dan itu tanpa Keiyona putrinya.
Hanya sehari yang mampu ia raih untuk mengukir sebuah kenangan indah antara ayah dan anak, tapi mampu membuat dada Pijar dialiri kebahagiaan yang membuncah.
Ia memang ayah yang buruk. Mengusir ibunya dan menendang Suri dulu dalam keadaan hamil, kembali menghantarkan denyut kesakitan itu. Bahwa apa yang ia lakukan tujuh tahun lalu berakibat fatal sekarang ini.
Dirinya bahkan tak segan-segan akan membelikan mainan dan boneka yang banyak, tapi putrinya itu hanya meminta dibelikan boneka beruang yang besar dan sebuah papan magnetick. Alasannya agar lebih efisien dan ia bisa menulis tanpa membuang-buang kertas.
Mengambil ponselnya dari saku dalam jasnya, Pijar membuka file galeri dan menemukan satu folder yang berisi foto dirinya dan Keiyona. Ia sengaja mengambil banyak gambar kebersamaan mereka hari itu, sebagai pengingat jika ia telah mempunyai putri yang manis.
Mengelus layar ponselnya yang kini menampilkan potret dirinya dan Yona yang tertawa lebar, hati Pijar kembali menghangat. Jika saja dulu ia tidak gegabah, mungkin anaknya akan baik-baik saja. Meski tak mencintai Suri, paling tidak ia bisa mencurahkan cintanya untuk Keiyona Aruna Sapta.
Pijar menghela napas panjang dan berat. Besok ia kembali ke Jakarta. Lalu apa yang harus ia lakukan di Ibukota? Karena justru hatinya tertinggal di sini bersama Keiyona.
Mau tak mau ia kembali menyeret sepasang kakinya kembali ke kolam renang, nyatanya menyendiri karena merindukan Keiyona dan memandangi foto ceria sang putri tak serta-merta melegakan hatinya.
"Aksa! Kamu dari mana aja?"
"Merokok!" dan merindukan putriku. Tak mungkin ia mengatakan secara gamblang hal itu pada Kanigara. Karena yang istrinya tahu adalah ia duda tanpa anak dengan Bunga Sekartaji. Tidak ada Maysuri Sheallegra Sapta dalam sejarah pernikahan Pijar. Tak bermaksud menyembunyikannya, hanya saja ia tak mau membuka luka kelam masa lalu yang sekarang justru kembali menariknya.
"Ada sesi foto keluarga, aku nyariin kamu dari tadi."
Pikiran dan hati Pijar tak benar-benar berada di tempat ini, karena yang ia pikirkan oleh hati dan pikirannya adalah Keiyona dan Suri-meski hanya perasaan bersalah yang mendominasi.
Harus bagaimana ia meminta maaf, akan perlakuannya dulu terhadap Keiyona saat berada dalam kandungan. Karena hingga saat ini, bayang-bayang ia menganiaya Suri dan mengusirnya setelah mentalak tiga wanita itu begitu menghantuinya.
Suri memang tak menunjukan aura permusuhan tapi Pijar tahu, jika wanita itu begitu menghindari segala hal yang berhubungan dengan dirinya. Ia hanya terbawa emosi ketika mengatakan akan mengenyahkan Suri ketika ia kembali muncul dihadapannya, tapi tak benar-benar ingin melakukan hal itu.
Tak mungkin Pijar mengajak wanita itu rujuk kembali, karena dengan lantang ia telah mentalak tiga Suri yang itu artinya ia takkan bisa kembali sebelum ibu dari anaknya itu menikah dengan orang lain.
Pikirannya semakin frustasi saat memikirkan Keiyona memanggil pria lain dengan sebutan Ayah, semakin membuat Pijar tak kuasa menahan perasaan sesak itu.
Jadi begini rasanya dirundung penyesalan, karena rasanya begitu menyesakan.
🍁🍁🍁🍁🍁🍁
Sori geje....
Semoga kalian suka.
Sidoarjo, 19 November 2019
-Dean Akhmad-
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro