🍁 6 🍁
"May, kamu jadi pergi sama Yona?" tanya seorang wanita seumuran ibu kandungannya itu.
Suri menoleh cepat mendapati wanita itu duduk di sampingnya yang tengah menata bekal makan siang untuk dibawa Yona.
"Enggak, Buk." Suri kembali menekuri kegiatannya.
"Kenapa?"
"Ayahnya yang akan pergi ngajak, Yona."
"Ayahnya?" Wanita itu mengernyit bingung.
"Ibuk inget, nggak? Sepasang suami istri yang nganterin aku pulang setelah tertabrak mobil istrinya. Suami wanita itu ayahnya Yona, Buk."
Mata wanita itu membulat tak percaya. Indonesia yang seluas ini, kenapa mereka harus bertemu di Kota Apel ini? "Kenapa bisa?"
"Aku juga nggak tau, Buk." Suri menghela napasnya sebentar kemudian kembali tangan terampilnya menata makanan tersebut ke dalam wadah plastik. "Aku nggak pernah berharap ketemu lagi sama dia, apalagi begitu tau dia udah punya istri lagi. Rasanya sakit, Buk. Saat tau ternyata dia emang nggak cinta sama aku." Lirih Suri yang menunduk seraya mengigit bibir bawahnya guna menahan isakan.
Santi hanya bisa menggelus punggung Suri yang membungkuk. Ia tahu jika wanita muda ini begitu mencintai mantan suaminya, hanya saja takdir melemparnya pada keadaan yang serupa dengan dirinya di masa muda dulu.
Santi sendiri tak tahu harus berkata apa, ia hanya bisa berdiam diri sembari mendengarkan isakan kecil l0x l)z)keluar dari mulut wanita yang sudah ia anggap sebagai putrinya tersebut.
Rupanya cinta mampu membuat siapa saja kehilangan logika.
Hidup selayaknya sebatang kara membuat Suri bertemu dengan ibu Santi, wanita tua yang ia temui di Stasiun Kereta Api Malang kala mengalami kesusahan setelah terserempet mobil. Ibu Santi yang hidup seorang diri, begitu terkejut mendapati Suri berbaik hati menolongnya bahkan merawat dirinya yang mendapati luka yang cukup membuat dirinya tak mampu menggerakkan tubuhnya saking nyeri yang melanda.
Kisah hidup ibu Santi ternyata tak jauh berbeda dengan Suri, wanita itu juga pernah menjadi pihak ketiga dalam rumah tangga orang lain. Sayangnya kisah ibu Santi lebih memilukan. Setelah mengalami keguguran dan kehilangan rahimnya, wanita separuh baya itu dibuang bahkan dianggap hina karena menjadi seorang pelakor. Sama se0erti dirinya.
Merasa kesamaan nasip yang berakhir terasingkan membuat ibu Santi menerima Suri yang saat itu sedang hamil besar untuk tinggal di rumah kecilnya. Suri berterima kasih karena Ibu Santi memberinya tumpangan juga merasa terbantu dengan kehadiran Ibu Santi, apalagi setelah dirinya melahirkan. Ibu Santi lah yang merawat Keiyona dari bayi hingga sebesar sekarang ini, dan sebagai gantinya ia lah yang berkewajiban mencari nafkah untuk kehidupan mereka bertiga.
Bisa saja Suri dan ibu Santi pindah ke rumah yang cukup bagus, tapi Yona lebih membutuhkan uang dari penghasilannya untuk pengobatannya. Ibu Santi sendiri pun menolak saat Suri mengusulkan untuk pindah dari rumah ini. Ia audah berterima kasih karena Suri sudah menghidupinya, wanita itu tak mau membebani Suri jika harus pindah ke rumah baru lagi.
Meski kecil, tapi Santi begitu menikmati hidupnya yang sekarang. Menjadi seorang nenek juga ibu pengganti untuk Suri dan Keiyona. Walau hanya hidup berkecukupan, Santi begitu bahagia.
Ketukan di pintu rumahnya membuat Suri beranjak dari tempat duduknya, setelah adegan tangisan tadi cepat-cepat Suri menyelesaikan tugasnya.
Semenjak Yona menanyakan di mana ayahnya, Suri tak pernah menutupi siapa jati diri ayahnya. Selembar foto saat mereka akad nikah menjadi bukti, jika dirinya hadir dalam sebuah pernikahan yang sah. Sedari awal juga Suri telah mengatakan jika ayahnya mungkin sudah mempunyai keluarga bahagianya sendiri, dan menanamkan pemahaman untuk tidak berharap lebih jika ayahnya akan datang menjengkuk.
Lalu kejadian tak terduga itu kembali menghantarkan Pijar bertemu dengan Yona, gadis kecilnya terlihat bahagia begitu mengetahui jika Pijar datang walau sedetik kemudian menyadari jika ayahnya datang dengan istri barunya.
Hari ini Pijar ingin mengajak Yona jalan-jalan hanya berdua saja, lelaki itu mengatakan jika dirinya ingin merasakan satu moment di mana ia bisa menghabiskan waktu bersama Yona. Putrinya.
"Masuk! Yona sedang siap-siap." Pijar hanya menganguk kemudian mengikuti langkah Suri masuk ke dalam rumah.
Sekali lagi mengedarkan pandangan ke segala penjuru rumah, ada sebuah retakan dalam rongga dadanya mengetahui jika putrinya tumbuh di dalam rumah kecil seperti ini. Ada sebagian dari hatinya yang tak tega mengusir Suri kala itu, namun kedengkian dan kebenciannya yang mendalam pada Suri membuat ia mematikan perasaannya.
Ia tahu dirinya lelaki brengsek, saat itu logikanya seakan mati karena semua kebusukan Suri untuk menjeratnya dalam sebuah pernikahan terbongkar.
Seperti apa kehidupan Suri selama tujuh tahun ini?
"Sudah siap?" tanya Suri, dengan bahasa isyaratnya yang Keiyona angguki dengan semangat.
Berjongkok di depan putrinya, Suri membantu Yona memakaikan tas ransel yang berisi baju ganti, juga beberapa bekal jika nanti ia kelaparan. Perlahan ia memakaikan alat bantu dengar yang dikhususkan oleh penyandang tuna runggu di telinga kanan Yona.
"Ingat kan pesan, Ibuk?"
Iya, Yona ingat, buk.
"Jangan nakal! Jangan nyusahin Ayah juga!"
Tentu.
"Buku?"
Sudah.
"Pulpen?"
Sudah juga.
"Obatmu?"
Yona menangkup wajah Suri dan memperhatikannya intens, kemudian mengecup kening Suri dengan durasi agak lama. Kembali Yona menarikan jemarinya membentuk sebuah jawaban.
Jangan khawatir, Buk. Yona bawa obatnya kok. Yona udah hapal waktunya.
"Gadis pinter." Suri membenarkan letak poni Yona dan mengelus pipi putrinya itu.
"Jangan lari-larian! Jangan terlalu capek!" Yona mengangguk antusias kemudian mencium kedua pipi Suri.
Suri bisa melihat senyum lebar yang mengembang di wajah putrinya itu kala menghampiri Pijar yang sudah berdiri. Pijar tak pernah menduga jika melihat interaksi antara Suri dan Yona mampu membuat dadanya terenyuh sekaligus menghangat.
Ia tahu dirinya terlalu arogan dan angkuh, saat menginginkan pertemuannya dengan Yona. Dirinya harus mengancam Suri untuk membawa Yona pergi dari sisinya. Bagaimana pun, ia seorang ayah. Pijar merasa bahwa ia juga berhak atas diri Yona.
Ada rasa gengsi mengakui kesalahannya karena mengusir Suri dulu, tapi ia juga tak ingin dianggap lemah hanya karena memohon untuk dipertemukan dengan putrinya. Maka jalan satu-satunya adalah menunjukan arogansi seorang Aksadaru Pijar Mahameru.
Suri mencoba berdamai dengan luka masa lalunya, ia berusaha menerima kenyataan jika harus berurusan kembali dengan mantan suaminya itu. Meski kenyataannya tak semudah itu mengahapus jejak masa lalu.
Suri menutup pintu penumpang yang berisi Yona yang sudah duduk manis dengan sabuk pengaman melilit tubuh kecilnya.
"Ehm++...Mas Pijar. Bisa kamu menyetel alarm tepat pukul satu siang?" Pijar mengambil ponselnya kemudian mengutak-atik benda persegi tersebut.
"Ingetin Yona buat minum obatnya."
"Obat?"
"Setiap pukul satu siang, Yona harus minum obat agar jantungnya baik-baik aja."
Pijar terbelalak tak percaya mendengar penuturan Suri, seolah ingin mengkonfirmasi secara langsung pada Yona. Gadis itu mengangguk perlahan.
"Apa maksudmu?"
"Klep jantung Yona mengalami kebocoran. Usahakan jangan terlalu lelah."
Jantung Pijar seolah terhantam batu besar mengetahui satu fakta lagi mengenai Yona. Selain bisu dan tuli, putrinya juga mengalami gangguan pada jantung.
Ya Tuhan! Apa yang udah aku lakukan?
🍁🍁🍁🍁🍁
Sidoarjo, 05 november 2019
-Dean Akhmad-
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro