🍁 37 🍁
Sebulan berlalu, tidak ada tanda-tanda Adrian menghubungi dirinya. Tentu saja hal itu membuat Giandra semakin gusar. Ia ingin segera terlepas dari belenggu yang menyesakan, dan kembali pada Maysuri.
Menyugar rambut yang sudah diberi pomade, Giandra mematut diri di depan cermin untuk memastikan penampilannya sudah sempurna.
"Abang sudah siap?" Tanpa menoleh Giandra hanya berdeham seraya membetulkan letak arloginya.
Vanila mengembuskan napas panjang ketika Giandra melewatinya begitu saja. Ia masih belum bisa menerima semua kenyataan ini. "Apa kita emang nggak bisa barengan, Bang? Aku udah maafin perselingkuhanmu, apa Abang ngga bisa maafin aku?"
Langkah Giandra terhenti, menoleh ke arah Vanila yang masih berdiri di depan pintu kamarnya. "Kamu lupa, La. Kalo sesuatu hal yang dipaksakan nggak akan pernah baik hasilnya."
"Tapi aku cinta sama Abang."
"Itu obsesi, La, bukan cinta." Memutar tubuhnya menghadap Vanila, Giandra bisa melihat genangan di kedua bola mata istrinya. "Aku nggak tau definisi cinta yang kamu pahami seperti apa? Karena bagiku mencintai keikhlasan, nggak memaksa juga nggak ada rasa pelampiasan."
Giandra mendekati Vanila dan mengelus rambutnya. "Aku minta maaf untuk segala kesakitan yang aku buat, termasuk menikahi May di belakang kamu. Kamu seperti Nuriah yang akan selalu aku jaga, meski ada kemunafikan untuk mencoba menerima pernikahan ini dan belajar cinta sama kamu. Tapi aku tetep nggak bisa, La. Kamu harus bahagia, La, dan itu bukan sama aku." Giandra berlutut dan memegang perut Vanila yang sudah terlihat agak membuncit dan mengelusnya perlahan.
"Dia patut mendapatkan kasih sayang orang tua yang lengkap, La. Dia butuh ayahnya, kamu bisa egois menahanku di sisimu, tapi anakmu yang akan menanggung semua keegoisanmu karena nggak mengenali ayah kandungnya." Giandra berbisik tepat di depan perut Vanila. "Jadi anak yang kuat, ya, baby. Jaga ibumu baik-baik."
Vanila tergugu ditempatnya berdiri, bahkan setelah Giandra menghilang dari pandangan. Ia tidak tahu lagi harus bagaimana sekarang? Bertahan pun sulit, melepaskan juga terasa menyakitkan.
Memegang kusen pintu, tubuh Vanila meluruh ke lantai dan menangis sesengukan. Kali ini ia menyadari kalau dirinyalah yang salah.
Ia serakah.
Ia ingin memiliki Giandra.
Benar kata Giandra, cinta itu keikhlasan, bukan paksaan atau rasa pelampiasan.
Ia memaksakan kehendaknya untuk memiliki Giandra, melakukan segala cara. Termasuk meminta pada orang tuanya mengatur perjodohan mereka, sedangkan ia terlalu abai dan menutup mata pada perasaan Giandra. Ia menganggap bahwa berjuang demi cinta adalah satu hal yang sah untuk dilakukan.
Tapi kini hatinya yang babak belur, bahkan belum sanggup menerima jika semua telah berakhir. Mungkin sudah saatnya ia berhenti dan memikirkan kebahagiaannya sendiri.
*****
Giandra menatap rumah mewah yang berada di kawasan Menteng. Sejenak ia menatap rumah megah yang bagian depannya menyerupai bangunan kuil Pantheon di Yunani.
Rumah orang tuanya yang berada di Kemang sudah termasuk mewah, tapi kini terpatahkan dengan bangunan di hadapannya.
Ia terpaksa mengikuti acara makan malam ini, karena juga berkaitan dengan rencana perjodohan untuk Nuriah. Giandra sebenarnya malas, hanya saja ia tak punya alasan yang bisa dipakai untuk menghindar.
Tak perlu diragukan lagi, bagaimana megahnya rumah keluarga ini. Bahkan sanggup membuat Giandra berdecak kagum.
Dari pintu masuk saja ia sudah disuguhi beberapa lukisan surealis yang Giandra sendiri tidak tahu siapa-siapa saja pelukisnya, ia hanya tahu aliran surealis dari mahasiswa di perpustakaan yang selalu bercerita mengenai hal itu pada temannya. Dan kebetulan, ia ikut mendengarkannya.
Seorang wanita paru baya dengan dandanan sederhana menyambut mereka, meskipun begitu siapa pun tahu di balik kesederhanaan yang ditampilkan nyonya rumah ada harga fantastis melekat di sana.
"Mbak Ratih."
"Mbak Hesti.
Setelah saling bersalaman dan cium pipi, sang tuan rumah beralih menyalami laki-laki yang mempunyai jiplakan wajah dari ayahnya.
"Giandra, Tante." Giandra mencium punggung tangan Hesti dengan takzim, yang kemudian diikuti oleh Nuriah dan Vanila.
"Ayo duduk dulu," Ajak Hesti yang mempersilakan tamu mereka duduk di sofa. "Vanila apa kabar?"
"Baik, Tante," jawabnya seraya mengelus perutnya dengan gerakan memutar. Hal itu pun tak luput dari perhatian Hesti yang tersenyum melihat gerakan Vanila.
"Sudah berapa bulan?"
"Baru jalan lima bulan, Tan."
"Wah, beda satu bulan sama putri tante. Semoga sehat terus, ya, buat bayi dan ibunya."
"Makasih, Tan."
Tak lama setelah pembantu meletakkan minuman di atas meja, tergantikan dengan kedatangan dua lelaki yang juga pemilik rumah. Salah satunya tengah duduk di atas kursi roda, yang didorong oleh pria yang lebih muda.
Giandra mengerutkan kening begitu melihat pria yang mendorong kursi roda Ayahnya. Mengais memori di kepala, ia menemukan apa yang dicarinya.
Mengepalkan kedua tangannya, Giandra meyakini jika profil pria ini adalah sosok yang pernah dituduhkan Nuriah sebagai selingkuhan Maysuri.
Sialan, jadi ini rumah keluarga Abraham Sapta.
Ingin sekali ia meraih Abraham dan menghajarnya sampai puas, tanpa peduli etika dan tata krama. Maka yang Giandra lakukan hanya menatap tajam dengan buncahan amarah yang terlihat jelas di wajahnya.
Tanpa memedulikan obrolan orang tuanya, Giandra memilih menunduk seraya mendinginkan kepala. Ia tidak mau mempermalukan keluarganya.
Ia sama sekali tak menyangka kalau pria yang akan dijodohkan untuk Nuriah adalah Abra. Lelaki berkemeja batik dengan warna coklat yang mendominasi hanya bisa menarik kesimpulan, kalau Adiknya ini merasa cemburu. Membuat dia melakukan kekerasan yang melibatkan Suri hingga masuk ke ke rumah sakit.
"Ma, Pa, Kami mau pergi...."
Mendengar suara lain yang menginterupsi, Giandra mengangkat kepalanya dan menemukan seseorang yang tak pernah ia sangka akan berada di tempat yang sama seperti dirinya.
"Pak Aksa," panggil Giandra langsung berdiri dari duduknya.
"Lho...Giandra kenal sama Pijar?"
Giandra yang menoleh sebentar ke arah Hesti hanya mengangguk singkat, sedangkan yang lainnya secara bergantian menatap ke arah Giandra dan Pijar.
"Pak Aksa rekan bisnis saya, Tante."
"Oh, nggak nyangka bakalan ketemu di sini. Pijar ini Ayah dari Cucuku, juga sahabat dari Abra. Kebetulan dulu rumah kami bertetangga, jadi sampe sekarang tetep silaturahmi."
"Cucu?"
"Iya, saya sudah punya Cucu, Mbak. Umurnya udah sembilan tahun lebih."
Mereka sama sekali tidak menyadari ketegangan yang tercetak di wajah Pijar, juga tanda tanya besar di kepala Giandra.
Mendadak saja, suasana jadi hening begitu sosok gadis usia sembilan tahun muncul dari dalam rumah dan langsung mengandeng tangan Pijar.
"Keiyona," panggil Giandra yang langsung menghampiri Keiyona yang sama kagetnya.
"Papa," panggil Keiyona mengunakan bahasa isyarat yang sedikit Giandra pahami.
Kedua orang tua Giandra jelas kaget, melihat anak sulungnya mengenali sosok gadis cilik itu. Apalagi melihat mereka berdua akrab, bahkan tidak ada kecanggungan.
"Kamu ke mana aja? Papa kangen sama kamu." Ucapan Giandra didengar jelas oleh seluruh orang yang berada di sana, meski menggunakan bahasa isyarat dia juga mengumamkan kata-kata tersebut.
Ratih langsung berdiri mendengar Giandra mengumamkan kata Papa. "Apa maksudmu, Yan?"
Sedangkan Hesti yang juga sama kagetnya hanya saling pandang dengan Abra dan suaminya, ia sama herannya kenapa Giandra bisa kenal dengan Keiyona. Padahal mereka sama sekali belum membuat pengumuman tentang cucu mereka.
Interaksi Giandra tak luput dari tatap Januari Basukiharja, ia sama sekali tidak menduga hal ini.
"Giandra, jelaskan pada kami. Dari mana kamu kenal sama Cucu Pak Heru?"
Giandra yang menyadari keganjilan tentang keberadaan Pijar di rumah ini menerjang hebat. Menatap Pijar lekat-lekat, ia baru menyadari jika Pijar Ayah dari Cucu keluarga Sapta...itu artinya?
"Ma, Pa, aku mau pergi dulu." Kali ini semua orang menoleh ke sumber suara yang tidak asing di telinga Giandra.
Orang tua Giandra berikut Nuriah dan Vanila, terbelalak kaget tak percaya. Namun, sayangnya hal ini nyata. Saking kagetnya mereka kompak berdiri dari duduknya, dan menatap horor pada wanita yang berdiri tak jauh dari Keiyona. Tatapan mereka tertumbuk pada perut buncit yang tertutupi oleh dress bunga-bunga kecil.
Wanita hamil itu sama kagetnya melihat keberadaan satu keluarga yang selama ini mati-matian ia hindari. Seakan semesta berkonspirasi, mereka dipertemukan kembali dalam formasi lengkap dan di rumahnya sendiri.
Takdir macam apa ini, Tuhan?
🌾🌾🌾🌾🌾
Done! Makasih yang udah nungguin. Monmaap kalo ada salah2 feel/kata dll.
Fresh, barusan ngetik lgsg publish. Selamat membaca gais, semoga suka.
Surabaya, 7 Maret 2021
-Dean Akhmad-
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro