
🍁 36 🍁
Melihat Giandra pulang malam dalam keadaan mabuk, sudah menjadi hal biasa bagi Vanila selama empat bulan terakhir ini.
Ia tak memungkiri hatinya begitu bahagia, Giandra mau pulang ke rumah mereka. Meskipun perlakuan yang ia dapat tidak sesuai harapannya.
Giandra memang pulang ke rumah, tapi sikap dingin lelaki itu malah semakin menjadi-jadi saja. Mereka layaknya dua orang asing yang terpaksa tinggal dalam satu atap.
Vanila berusaha memperbaiki keadaan dengan menjadi istri yang baik, tapi sayangnya Giandra tak peduli akan hal itu. Terlalu sering diabaikan, membuat Vanila kebal akan sikap ketus Giandra.
"Kita cerai setelah anakmu lahir. Sampe saat itu, jangan urusi hidupku. Ingat satu hal, La. Aku akan temukan lelaki sialan itu. Pria yang seharusnya tanggung jawab atas dirimu."
Vanila seperti mendapatkan vonis mati, bahwa ia akan kehilangan Giandra. Akibat kebodohannya, ia harus rela melepas status sebagai istri suling Basukiharja.
Melepasnya keinginannya sejak bertahun-tahun lalu, sama seperti menghancurkan mimpi dan hidupnya.
Vanila menyukai Giandra pada pandangan pertama, saat Nuria memperkenalkannya. Kemudian berkembang menjadi cinta lalu berakar kuat seperti saat ini.
Alih-alih berjuang mendapatkan hati dan perhatiannya, Vanila justru mengambil jalan pintas dengan meminta orangtuanya menjodohkan mereka. Ia memang mendapatkan raganya tapi tidak hati Giandra.
Lalu kemudian berita tentang pernikahan siri Giandra menyambangi telinganya, membuat Vanila kalap dan terpuruk. Pada akhirnya ia yang kalah walau kini mereka kembali bersama.
Lalu untuk apa kembali, jika nanti akan berpisah. Akan lebih baik Giandra menceraikannya sekarang. Toh, sakitnya kehilangan sama saja.
Hari itu ia sama sekali tidak akan pernah menduga, kedatangannya ke club malam menjungkir balikan hidupanya. Ia hanya berencana datang sebentar dan mengucapkan selamat ulang tahun pada teman kuliah, tapi kedatangan mantan kekasihnya membuat Vanila mengurungkan niat untuk segera pulang.
Ia terlena. Seraya berbincang Vanila juga membiarkan alkohol singgah ke tenggorokannya, membuat Vanila mabuk dan kehilangan kesadaran. Dan esoknya terbangun di sebuah hotel tanpa busana dengan Adrian yang terlelap di sampingnya.
Pagi itu juga Vanila menyadari jika hidupnya tidak akan lagi sama, dan kehancurannya hadir dalam bentuk janin tak berdosa.
Sempat berpikir untuk mengugurkannya dengan meminum jus nanas muda yang dicampur sprite, tapi sayang Giandra memergokinya.
"Bayi itu nggak berdosa, La. Jangan bunuh dia hanya gara-gara dia hadir dengan cara yang salah. Dia berhak hidup."
Pagi itu Vanila menyadari kesalahannya. Menatap nanar punggung Giandra yang menghilang dari balik pintu kamarnya, Vanila menangis tergugu di tempatnya berdiri.
Duduk berjongkok, Vanila menggelamkan wajahnya di antara lipatan lengan dan menangis seorang diri.
"Maafin aku. Maafin aku...."
Sejak hari itu, baik Giandra pun Vanila masih melakukan aktivitas masing-masing. Meski tidak sedingin awal-awal Giandra kembali ke rumah, itu sudah cukup bagi Vanila.
Setidaknya Giandra masih perhatian, walau tak sehangat dulu sebelum pernikahan ini terjadi, sebelum kehamilannya juga sebelum-sebelum yang lainnya.
Ia tahu rumah tangganya telah kandas, tidak akan ada lagi harapan yang tersisa bahkan puing-puingnya saja tak ada. Kini yang Vanila lakukan hanya menjalani apa yang ada di depan mata. Sampai nanti waktunya habis.
Giandra sendiri sudah bertekad untuk mencari tahu siapa sebenarnya lelaki yang menghamili Vanila. Walau tidak ada cinta di antara mereka, tetap saja ia masih memegang tanggung jawab atas diri gadis yang ia anggap seperti adiknya sendiri.
Tak sia-sia selama ini ia berakhir mabuk-mabukan hampir di setiap malam, Giandra mencoba melepaskan belenggu kerinduan yang menjeratnya.
Setidaknya ia sedikit bisa melupakan perpisahannya dengan Maysuri. Hatinya masih meneriakan nama mantan istri yang sudah ia talak tiga bulan lalu.
Meskipun ia kembali bersama Vanila, tapi hatinya tetap digenggam erat oleh Maysuri. Percuma saja ia marah-narah dan menyudutkan Vanila. Sebanyak apapun ia melampiaskan kemarahannya, tidak akan bisa mengubah apa yang sudah terjadi.
Ia tetap kehilangan Maysuri.
Hingga tiga bulan lamanya, Giandra bersikap masa bodo dan terlampau dingin terhadap Vanila. Menganggap jika gadis itulah akar semua permasalahan dalam hidupnya.
Dipaksa menikah dengan wanita yang tidak dicintai, hingga akhirnya kehilangan wanita yang menjadi cinta pertamanya membuat Giandra menyalahkan semua orang.
Papanya yang keras hati selalu saja memaksakan kehendak, tidak peduli jika anak-anaknya akan menerima keputusan itu atau tidak. Karena bagi pria Basukiharja itu, kedua anaknya harus menjadi penurut.
Sedangkan sang Mama yang selalu membelanya saat dulu ia melakukan kesalahan, justru menyuruhnya untuk menerima perjodohan yang benar-benar tak ingin ia lakukan. Namun pada akhirnya Giandra tidak bisa menolak lagi, semakin bersikeras saat itu juga sang Mama mengalami serangan jantung. Mau tidak mau akhirnya Giandra menerima pernikahan itu, walau dalam keadaan setengah hati.
Dan sebagai sulung Basukiharja, Giandra tak berkutik. Ia dituntut menjadi sosok anak yang sempurna tanpa cela. Menurut saja saat dijadikan bidak oleh ayahnya sendiri yang lebih mementingkan nama baik dan harga dirinya dari pada kebahagiaan anaknya.
Mengusap pelan layar ponselnya dengan ibu jari, potret Suri saat berada di hutan Tangkahan terpampang jelas sebagai wallpaper. Senyum simpul Suri membuat gemuruh dalam dadanya semakin bergolak.
Ia merindukan si pemilik hati.
Bagaimana kabarnya? Bagaimana Keiyona? Di mana ia tinggal sekarang? Apa ia juga tengah merindukannya seperti ia saat ini? Semua pertanyaan itu hanya bisa terlontar dalam otak Giandra.
Ponsel Suri jelas-jelas mati, begitu wanita itu keluar dari rumahnya. Melemparkan pandangannya keluar jendela sejenak, lalu menatap ponselnya yang menampilkan kontak Suri. Mencoba peruntungannya dengan menekan kontak Suri yang sudah empat bulan ini mati.
Berdering!
Giandra menegakkan tubuhnya di kursi, menunggu hingga dering ke empat dan...
"Halo!"
Suara itu membuat letupan dalam dada Giandra membuncah tanpa terkontrol, bahkan pria yang akhir-akhir ini terlihat lebih dingin menyungingkan senyum.
"Mas Ian..."
Tidak ada yang tahu bagaimana bahagianya Giandra mendengar suara Suri, tanpa sadar pria bersetelan kemeja dengan lengan ditekuk sesiku itu menitikkan air mata saking senangnya.
"May...Mas kangen sama kamu." Menjepit kedua ujung matanya, agar air mata tak lagi jatuh. Sebisa mungkin Giandra mengontrol nada suaranya agar tidak begitu bergetar.
"Aku juga kangen sama Mas Ian. Jangan telat makan, jangan pulang kemalaman, jangan sering begadang, jangan kebanyakan minum kopi, dan jangan-jangan yang lainnya. Baik-baik di sana, Mas. Aku sayang kamu, Mas."
Klik!
Sambungan terputus. Giandra tidak lagi menahan desakan air matanya, meski tidak terlalu deras tapi mampu meruntuhkan segala hal yang selama ini ia tahan.
Kembali menjepit kedua ujung matanya, Giandra kembali mengontrol desakan ingus yang juga ingin keluar bebarengan dengan dengan air matanya.
Biar saja ia dikatakan cengeng, sungguh ia tak peduli. Kenyataannya memang ia sebucin itu terhadap Suri.
Menopangkan sebelah tangannya yang masih menjepit ujung matanya, Giandra berusaha menenangkan diri dari perasaannya yang kacau.
Ia sedang menunggu seseorang. Orang yang akan mengubah masa depannya dan penentu hidupnya kelak.
"Maaf, saya terlambat. Saya Adrian perwakilan dari Heksagonal."
Mengangkat kepalanya, Giandra menatap lurus ke arah lelaki yang setelan kerja sepertinya. "Langsung saja ke pokok permasalahannya," pinta Giandra yang diangguki ragu-ragu oleh pria tersebut.
"Begini...kami sudah menyiapkan beberapa desain yang bisa Anda pilih—"
"Itu bisa langsung dengan bagian yang bersangkutan. Saya ke sini ingin membahas soal Vanila."
Adrian jelas terperangah mendapati Giandra menyebut nama mantan kekasihnya.
"Saya suaminya, sampai saat ini. Tapi, saya ingin Anda bertanggung jawab atas kehamilan Vanila."
"Ha—hamil?"
"Ya!" Giandra mengangguk. "Akuilah kaloau kandungan Vanila itu anakmu, jadi secepatnya saya akan mengurus percerainnya."
"Ta—tapi saya sudah punya kekasih."
Giandra menaikan sebelah alisnya, memandang sinis ke arah Adrian dengan tatapan mencemooh. Jadi pecundang seperti ini ayah dari janin yang dikandung Vanila.
"Itu urusan kalian. Saya tidak peduli, cepat lakukan hal itu atau saya bisa menghancurkan karir Anda saat ini juga! Ah, atau mungkin juga kekasih Anda."
Tanpa menunggu jawaban dari pria di seberang, Giandra berdiri seraya mengansurkan selembar kartu nama. "Temui saya segera!" perintahnya.
Menepuk bahu Adrian yang kamu, Giandra berjalan santai meninggalkan sosok lelaki yang masih duduk dengan ekspresi linglung itu sendirian.
🌾🌾🌾🌾
Kira-kira seperti ini rupa dedek Keiyona.
Kira-kira kalo anaknya Suri sama Giandra cowok, seperti itu kalo dia remaja.
Kalo ini versi cewek. Hihihi. Cakep kan. Dahlah, emang bibit unggul mau diapain jg tetep cakep.
Sorry kalo gak ada feelnya. Hehehe, semoga suka ya. Anggep sebagai traktiran yak. Hihihihihi, hari ini Nyai ulang tahun. 🐼🐼 kuy ramaikan.
Surabaya, 13 Februari 2021
-Dean Akhmad-
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro