Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

🍁 35 🍁

Merhaba....

Nyai balik lagi nih. Hihihihi, juga mau pamer.
Ceilah. Wkwkwkwkwkwk... Udah bisa dong aku bikin book trailer, meski tak sebagus yang lainnya. Nyai cukup puas sama hasilnya. Sorry kalo ada kesalahan dan typo. Wkwkwkwkwk. Perdana bikin begituan. Harap maklum ye.

Udah nangkring di youtube, juga tiktok. (Wkwkwkwk, otore sangklek)kali aja mau mampir. 😁😁

Cuz kuy lah di baca.

🌾🌾🌾🌾🌾

Pemandangan Giandra sedang menekuri layar tabletnya menyapa Suri, saat ia memasuki kamar mereka.

Suaminya itu sedang duduk bersandar di atas kasur dengan wajah seriusnya. Untuk kesekian kali Suri begitu menyukai ekspresi datar Giandra yang sesekali menampilkan kerutan di kening, alis yang naik turun saat menemukan sesuatu yang ia baca.

Sesekali pria itu menggaruk kecil keningnya, kemudian beralih pada hidung. Lalu beberapa kali menyugar rambutnya ke belakang dan kembali menekuri layar 8" Inch miliknya. Terlihat biasa memang, tapi bagi Suri Giandra lebih seksi dengan raut wajah seriusnya.

Mungkin ini akan menjadi terakhir kalinya ia melihat Giandra yang seperti sekarang. Entah kapan lagi ia bisa melakukannya.

Hari ini adalah hari yang sudah Suri janjikan pada Ayah Giandra, ia bahkan tidak melakukan hal apa pun untuk Giandra selain menempeli pria itu.

Tiga hari ini pun, Suri meminta Giandra untuk selalu menemaninya. Menempeli dan bermanja-manja pada pria yang masih berstatus suaminya meski siri.

Bisa jadi ini salah satu dari dorongan hormon kehamilan yang sedang menerjangnua di trisemester pertama ini. Siapa pun itu, wanita hamil di mana pun pasti ingin bermanja-manja dengan suaminya. Tak terkecuali Suri.

Ia ingin melakukan apa yang ingin ia lakukan bersama Giandra, tapi tidak pernah ia rasakan saat dulu sedang hamil Keiyona. Beberapa kali Suri merepotkan Giandra dengan ngidamnya yang memang tidak terlalu mainstream.

Pergi menonton bioskop berdua saja dengan Giandra, selayaknya pasangan muda lainnya. Walau dari segi umur Giandra sudah dikatakan pria matang. Ia hanya ingin diperhatikan selayaknya ibu hamil.

Menghirup banyak-banyak udara untuk mengisi paru-parunya, Suri mengembuskannya pelan dan menghampiri Giandra yang masih tertunduk pada layar pipih tersebut.

"Ngerjain apaan, Mas?" tanya Suri yang tiba saja menyusup di antara lingkaran tangan Giandra yang memegang tablet, dan berakhir dalam dekapan dada lebar suaminya.

Mencium kening Suri sekilas, Giandra kemudian meletakkan tabletnya di atas nakas dan kembali mendekap erat tubuh Suri. Menciumi puncak kepala dan kening Suri banyak-banyak.

Saking nyamannya dekapan Giandra, Suri semakin menikmati perlakuan kecil suaminya itu.

"Manjanya istri aku." Kali ini tangan Giandra menyingkirkan anak rambut Suri dan menyelipkannya di telinga. "Hari ini mau ngapain?" Suri menggeleng.

"Tumben? Mau kencan lagi, nggak?" Suri menggeleng lagi.

"Udah makan belom?" tanya Giandra melirik jam tangannya. Waktu makan siang.

Gelengan Suri membuat Giandra melonggarkan pelukannya dan menatap lurus ke arah istrinya. "Kamu kenapa, May?"

Bukan tanpa alasan Giandra menanyakan hal itu. Karena jujur saja, ia merasa begitu was-was pascakedatangan ayahnya ke rumah ini. Ia tidak tahu perjanjian apa yang istri dan kepala keluarga Basukiharja itu lakukan.

Belum lagi sikap Suri yang mendadak manja dan menempelinya seperti ini. Tiga hari ini istrinya melakukan hal-hal di luar kebiasannya sehari-hari yang terlihat cuek dan terkesan mandiri tanpa bantuannya.

Seperti ada sesuatu yang salah.

Genggaman tangan Suri menyadarkan Giandra dari lamunannya, dan mendapati sang istri menatap lekat.

Tiba-tiba saja ia merasakan jantungnya berdetak dengan tak nyamannya. "May...,"

"Gimana kabar kehamilan Vanila?" tanya Suri pelan.

Matanya menatap tangan Giandra yang ia genggam, seraya mengelus punggung tangan Giandra pelan. Ia tidak berani menatap langsung ke mata pria yang hanya memakai kaus putih andalannya.

Butuh keberanian lebih untuk apa yang akan ia ucapan. Ia takut bagaimana reaksi Giandra, mengingat jika dirinya sama sekali tidak terlalu memahami bagaimana watak suami sirinya ini.

Mereka hanya hidup bersama dalam beberapa bulan. Bukan bertahun-tahun seperti ia dan Pijar walau dalam ikatan pernikahan juga sama hitungan bulan saja.

"Kenapa tiba-tiba nanyain Vanila? Papa ngomong apa aja sama kamu, May?" Menarik tangannya dari genggaman, Giandra justru memegangi bahu Suri memutarnya agar saling berhadapan. "May, please."

Suri terdongak mendengar suara lirih suaminya yang sarat akan keputusasaan, bertatapan langsung dengan netra hitam Giandra. "Mas...."

"Papa ada ngomong apa aja sama kamu?" Kali ini ia tak bisa menyembunyikan kegetirannya.

"Apa yang memang dilakukan orang tua untuk nyelametin rumah tangga anaknya." Lagi-lagi Maysuri tertunduk.

"Apa yang harus diselametin, May? Nggak ada."

"Aku orang ketiga, Mas. Dan nggak seharusnya hadir."

Merangkum wajah Suri, kali ini Giandra tidak ingin pandangannya teralihkan. "Bersama kamu adalah hal yang benar, seperti hatiku yang emang pengen kamu ada terus di sisi aku. Kamu kebenarannya, May, kamu! Bukan Vanila."

Cengeng memang. Apalagi didukung hormon kehamilan, yang membuat hatinya sedikit saja disentil airmatanya pasti melorot tanpa minta ijin. Seperti saat ini.

Ia butuh Maysuri yang kuat dan tegas, bukan yang dengannya ampun-ampunan seperti ini. Sialanya lagi, ia benar-benar merasa lemah sekarang. Suri butuh dirinya yang lama untuk mengakhiri semua ini dengan baik-baik.

Ia tidak mungkin kabur lagi seperti dulu, jadi yang harus Suri lakukan adalah menghadapinya langsung. Toh, pada akhirnya sama-sama menyakitkan.

"Aku udah janji buat ninggalin kamu dalam waktu tiga hari, dan hari ini adalah akhirnya." Jantung Giandra mencelus masuk ke perut, bersatu dengan usus dua belas jari hingga menimbulkan efek melilit sekaligus mual secara bersamaan. Anehnya justru kenapa dadanya yang terasa begitu menyakitkan.

"May, kamu bercanda, kan, Sayang?" Suara Giandra tertahan di tengorokan, serti ada yang memenyumpalkan bongkahan duri menyakitkan.

"Aku nggak bercanda, Mas." Suri memegangi kedua tangan Giandra yang merangkum wajahnya. "Hubungan kita dibangun atas kesedihan banyak orang. Bukan hanya Vanila yang notabene istri sahmu, tapi ada orang tuanya yang ikut sedih gara-gara rumah tangganya disusupi orang ketiga. Jangan seperti ini, ya?"

Giandra menggeleng keras. Menghempaskan genggaman Suri, pria itu memilih berdiri menghadap jendela seraya berkacak pinggang. "Sampe kapan pun, aku nggak akan ngeleapsin kamu."

Menghapus lelehan airmatanya, Suri ikut beranjak dan berdiri di samping Giandra yang memilih memandang ke luar jendela yang terbuka.

"Ini bukan pertama kalinya aku menjadi orang ketiga dalam rumah tangga orang lain." Giandra menoleh cepat sebagai respon dari ucapan Suri. "Aku masih muda, dan begitu terobsesi memiliknya. Kegilaanku bikin aku mampu ngelakuin apa aja, termasuk menghancurkan rumah tangganya. Aku lupa...kalo apa yang aku dapetin dari mencuri bukan sesuatu hal yang mendatangkan bahagia. Aku mencuri kebahagiaan orang dan hal itu berbalik ke aku sendiri.

Kebahagiaanku pun diambil dan karma burukku diberikan pada Keiyona. Itu semua ulahku, Mas. Sampe detik ini aku begitu ngerasa bersalah sama dia. Seharusnya ia bisa menjadi gadis normal lainnya, bisa bersekolah di sekolah umum, bisa bermain dan bercengkeramah dengan teman-temannya dan masih banyak lainnya."

"May, cukup!"

"Aku nggak mau jadi serakah lagi. Sebelum semuanya semakin rumit, ayo kita akhiri, Mas." Giandra jelas terperangah mendengar permintaan Suri.

Meskipun ia sudah menduganya, tetap saja hatinya tak siap menerima kalimat yang diucapkan Suri. Dan efeknya sama-sama dahsyat seperti serangan bom nuklir yang sukses melantakan asa.

"Biarin aku pergi, Mas." Menjangkau wajah Giandra, Suri menatap lamat-lamat wajah pria yang harus ia akui ketampanannya dan mematri dalam ingatannya. "Ayo kita selesaikan saat ini juga."

Giandra menggeleng lemah, dibarengi dengan lelehan airmata yang tiba-tiba saja keluar bersamaan dengan permintaan Suri.

Hati keduanya sama-sama memerih, saling memaku kesedihan yang coba disembunyikan tapi tetap saja berdarah-darah tanpa bisa mengelak.

"Jangan jadiin aku orang jahat untuk kedua kalinya, Mas. Aku mohon lepasin aku," pinta Suri dengan suara yang semakin mencekiknya.

"Enggak, Sayang, enggak. Aku mohon tetep bertahan di sampingmu. Jangan pergi." Tubuh Giandra melorot ke lantai, dalam posisi berlutut dan memeluk perut Suri.

Keduanya sama-sama larut dalam kesedihan dan tangisan mereka. Masing-masing tahu jika jalan yang dipilih adalah kesalahan, tapi sayangnya cinta memang membutakan logika dan mengaburkan apa saja yang dianggap tidak sejalan dengan pilihannya.

"Jangan pergi, May. Aku mohon jangan."

Suri mendekap kepala Giandra yang semakin erat memeluk perutnya. "Jangan tinggalin aku."

Tidak ada obrolan lagi di antara mereka. Yang tersisa hanyalah keheningan, membiarkan dua insan saling mendekap dan mencurahkan apa yang tersisa dari mereka.

"Aku cinta kamu, Mas. Already did."

🌾🌾🌾🌾

Kelar gaes.

Memungkinkan 4-5 bab lagi bakalan tamat. Meski aku nulisnya gak pake otlen, seenggaknya aku udah bisa ngebayangin endingnya gimana.

Selamat menikmati, maaf kalo lama nungguinnya. Otornya lagi tepar soalnya. Hehehehehe.

See yu next chapter, yak.

-dean akhmad-
16 Januari 2021 (02.45)

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro