🍁 33 🍁
Morning vibes. Salam dari Mamas Gi buat kelen-kelen yang masih antusias nungguin dia nonggol.
Uugh! Nyai dapet vibes positif juga neh. Hohohoho....
Cuzlah dibaca.
🌾🌾🌾🌾🌾
Terperosok dalam lubang yang sama untuk kedua kalinya, membuat Suri merasa dirinya begitu bodoh.
Bagaimana ia akan mengatakan kehamilannya kalau ternyata Giandra adalah suami dari wanita lain, sedangkan ia hanya istri siri yang sama artinya dengan istri simpanan.
Menatap ke luar jendela kamarnya, Suri merasa berada di persimpangan. Baik emosi dan logika kebolak-balik. Semua bercampur aduk, membuat Suri hanya bisa menghela napas berat berkali-kali.
Harusnya sedari awal ia menyadari status Giandra. Bukan salah pria itu juga sebenarnya, andai dulu ia mengiyakan penawaran Giandra untuk hubungan satu malam. Salahnya dulu ia mengajukan pernikahan sebagai syarat untuk memilikinya.
Terlalu naif.
Bisa jadi itu hanya alasan klise yang digunakan Suri, hanya untuk menutupi lubang di hatinya. Ada luka yang coba ia tambal dengan menghadirkan Giandra, tapi Suri lupa kalau semua tidak akan berjalan seperti apa yang sudah ia rencanakan.
Tidak ada akhir bahagia dan baik-baik saja, kalau hubungan yang dibangunnya di atas kesedihan wanita lain juga kebohongan. Rumah tangga seperti apa yang akan Suri bangun?
Kembali menghela napasnya, Suri tidak benar-benar bisa mengenyahkan desiran halus yang hadir ketika berada di samping Giandra.
Ada getar tak biasa ketika mereka bersentuhan, meski hanya sebatas saling menggenggam tangan.
Ada rindu yang tertahan kalau netranya tak mendapati Giandra dalam jarak pandangnya.
Ada senyum yang mengembang, begitu Suri mendapati Giandra terlelap di sampingnya saat mentari menyapa.
Dan juga kepakan sayap kupu-kupu saat Giandra memperlalukannya dengan manis.
Suri merindukan Giandra.
Suri berjengkit merasakan sentuhan di bahunya, membuat wanita yang masih menekuk lutut dan merapatkan ke dadanya kaget mendapati Bu Santi menatapnya dengan tatapan tak biasa.
"Kamu berhak bahagia, May, dengan atau tanpa suamimu. Lepaskan kalau itu memang sulit, jangan diterusin kalau pada akhirnya kalian saling menyakiti.
Cinta memang buta, tapi nggak membutakan logika. Ada kalanya melepaskan lebih mudah dari pada mempertahankan, bertahan atau melepas kadar sakitnya sama aja. Bahagiamu ada di tanganmu sendiri."
Suri mengigiti bibir bawahnya, menahan desakan yang membuncah dari dalam dadanya seolah tulang penyangga organ intinya melesak dan mencengkeramnya kuat-kuat. Begitu menyakitkan.
Bayang-bayang menjalani kehamilannya seperti saat hamil Keiyona dulu merasuk ke dalam otak Suri, membuat wanita itu tak kuasa menitikkan air mata.
Kembali ia akan merasakan sendirian, kesepian, tak berdaya dan tak berguna. Lalu ia harus bagaimana lagi? Suri tidak tahu bagaimana reaksi Giandra ketika mendengar berita kehamilannya, sedangkan hubungan mereka tak jelas seperti ini.
Dewi batinnya mencemooh keras. Hubungan yang mana? Seperti apa? Kembali ditampar kenyataan, kalau mereka sama sekali tak pernah punya hubungan selain married with benefit.
"Aku...kembali dibuang, kan?" Lirih Suri tak kuasa menahan bendungan air mata di pelupuk mata, meratapi nasibnya yang sangat mengenaskan.
Bu Santi meraih kepala Suri dan memeluknya dalam posisi duduk berhadapan di sebuah sofa. "Ssst...jangan nangis, Nduk. Kamu wanita kuat, kamu pasti bisa."
Bu Santi jelas tidak bisa untuk tidak menangis. Ia menangisi putri angkatnya yang jalan hidupnya begitu mengenaskan. Wanita paruh baya itu bagaimana tertekannya Suri menghadapi kehamilannya menjelang kelahiran Keiyona dulu. Bagaimana wanita dalam pelukannya ini berjuang demi anak satu-satunya, walau tidak mudah tapi Suri berhasil meski dengan langkah terseok-seok. "Jangan lupa bahagia, May."
Ketukan di pintu kamar Suri membuat kedua wanita berbeda generasi itu kompak menoleh ke arah pintu kamar yang terbuka lebar.
"Anu..., Bu, ada tamu."
Saling berpandangan bingung, Suri mengurai pelukannya, seraya berdiri. "Siapa, Bi?"
"Bapak-bapak, Bu,"
Kernyitan di dahi Suri semakin banyak. Bapak-bapak? Jangan bilang itu papanya, Heru. Ya Tuhan! Tidak!
"Saya akan ke bawah, Bi, tolong bilang pada tamunya saya mau cuci muka dulu, jangan lupa buatkan tamunya minum."
Dada Suri berdegup kencang, disertai dengan rasa gelisah yang tiba-tiba meluap tanpa permisi. Mendadak saja Suri merasakan firasat tak enak mengenai tamu yang akan ia temui.
Semoga aja nggak ada apa-apa.
.
.
.
Menjalani rutinitas harian tanpa Suri membuat Giandra tak bersemangat.
Sudah tiga hari ini ia tertahan di rumah, dengan segala rengekan dan permintaan dari sang Mama agar tetap di rumah saja untuk menemani Vanila.
Yang benar saja! Untuk apa ia harus memanjakan wanita itu, jelas-jelas bukan ia yang mengahamili istri sahnya.
Satu kali Giandra menyangkal kalau anak yang dikandung Vanila bukanlah darah dagingnya, tapi semua orang di rumah tak pernah mempercayai hal itu.
Diam-diam Giandra mengutus seseorang untuk menyelidiki dan mencari tahu kebenaran tentang siapa ayah dari bayi yang dikandung Vanila.
Paling tidak dengan menunjukan bukti kuat, orang tuanya tak lagi merongrong dirinya untuk selalu berada di sisi Vanila. Sedangkan hatinya ada pada Suri.
Ah, bagaimana kabarnya wanitanya saat ini? Sudah tiga hari Suri pulang dari rumah sakit, dan ia sama sekali belum melihatnya.
Keluar dari lift, Giandra menemukan lorong tempat kantornya berada sedikit sepi. Hanya ada si sekertaris yang sedang asyik memandangi layar ponselnya, tentu dengan makian dan sumpah serapah keluar dari mulut gadis lajang tersebut.
"Mampus lu pelakor! Bangsat emang nih cewek, bagus tendang aja, jambak terus, duh gue padamulah."
"Liat apa kamu?" Giandra menautkan alisnya melihat wajah bahagia sekaligus gemas dan jengkel secara bersamaan.
"Eh, Pak Andra." Wanita berpakaian blazer itu tergagap dan langsung berdiri tegak, hingga membuat ponselnya tergelincir dan terjatuh tepat di bawah kaki Giandra.
Memungut ponsel sang sekertaris, Giandra masih mendengar jelas teriakan yang keluar dari speaker ponsel.
Membalik ponsel tersebut, Giandra hanya menemukan video tentang wanita yang tengah menghajar wanita lainnya.
Adegan bagaimana wanita yang diteriaki pelakor terjatuh dengan kepala membentur paving blok membuat Giandra meringis. Pasti sakit.
"Dasar sundal! Jangan pernah lagi lo deketin Abang gue. Dasar pelakor nggak tau diri, lo."
Mendadak saja, wajah Giandra berubah pias begitu adegan selanjutnya ia mendengar teriakan dengan kamera yang menyorot langsung wajah wanita yang diteriaki 'pelakor' tengah pingsan dengan darah yang merembes dari belakang kepalanya. membuat napas Giandra tercuri begitu saja, membuat paru-parunya menciut.
Itu Maysuri, dan wanita yang jelas-jelas menghajar Suri adalah Nuria.
Sialan! Ia kecolongan!
Tanpa mempedulikan teriakan sang sekertaris, Giandra berlari keluar gedung perkantoran dengan menggunakan tangga darurat. Tanpa peduli jika ia tengah berada di lantai enam.
Keinginan Giandra adalah segera sampai ke rumah dan merengkuh Suri.
Bagaimana bisa istrinya tidak mengatakan apa-apa tentang kejadian itu. Ada banyak kesempatan untuk Suri membagi segala hal pada dirinya, tapi wanita yang kini mendiami sudut hatinya justru diam saja.
Pikiran Giandra saat ini hanya ingin segera sampai ke rumah. Akan ada buntut panjang dari viralnya video tersebut, dan Giandra tahu bagaimana kejamnya netizen jika menyangkut dunia perpelakoran.
Sanksi sosial jelas membayang dipikiran Giandra, dan Surilah korban utama dalam hal ini. Giandra tidak akan tinggal diam.
Ia yang menyeret Suri dalam kehidupan rumitnya, maka dari itu Giandra akan berusaha keras melindungi Suri.
Tubuh Giandra menegak dari dalam mobil, begitu ia melihat mobil Alphard putih terparkir sempurna di carport rumahnya dengan Suri. Mobil yang begitu Giandra kenali.
Memarkirkan mobilnya sembarangan, Giandra melompat dari dalam Mobil tanpa menguncinya terlebih dahulu dan segera berlari ke dalam rumah.
Napas Giandra ngos-ngosan melihat sosok tersebut tengah duduk di sofa tunggal dengan gaya angkuhnya yang khas, juga tatapa nyalang yang siap mengintimidasi siapapun tanpa terkecuali.
"Ngapain papa ke sini?"
🌾🌾🌾🌾
Surabaya, 29 Nopember 2020
—Dean Akhmad— (02.22)
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro