🍁31🍁
Setelah adegan pengakuannya semalam, baik Pijar atau Suri tak ada lagi percakapan yang terjadi di antara mereka. Bahkan mantan suaminya itu tidak lagi menampakan batang hidungnya di pagi ini.
Suri tahu Pijar memilih tidak mengatakan kehamilannya pada siapapun, termasuk Janaka dan orangtuanya. Ia berbohong pada sahabatnya kalo Suri terjatuh di tangga darurat. Dan Janaka percaya begitu saja, kalau saat itu ia tengah kembali dari mengunjungi temannya di rumah sakit yang sama.
Eru dan Ayudia pun sama. Ke dua orang tua itu, memilih untuk diam tak berkata apapun. Walau sedikit banyak Suri menduga mereka sudah mengetahui apa yang sebenarnya terjadi.
Hari ini Keiyona sudah dibolehkan pulang, sedangkan Suri masih harus menunggu observasi lanjutan lagi. Karena orangtua Suri sedang tidak ada di Jakarta, maka mereka sepakat membawa Keiyona pulang ke rumah keluarga Pijar sementara waktu.
Bu Santi sebenarnya bisa menemani Keiyona sendirian, tapi orangtua Pijar bersikeras membawa cucu satu-satunya dan merawatnya hingga Suri bisa kembali ke rumah.
Suara ketukan di pintu membuat kepala Suri tertoleh, mengabaikan berita gosip yang sedang tayang di televisi.
Dari balik pintu, Suri melihat sosok Kanigara berdiri di sana dengan anggun dan elegannya. Wanita itu terlihat sempurna sebagai pendamping Pijar, atau mungkin...Kanigara memang tercipta untuk membersamai sosok tegas Pijar.
Nggak seperti dirinya.
Jiwa remaja labilnya lebih mendominasi, menganggap cinta adalah segala-galanya. Sisi kekanakannya timbul-tenggelam, sesuai dengan mood saat itu. Tidak heran kalau Pijar sama sekali tak meliriknya.
"Hai, Suri," sapa Kanigara melambaikan tangannya yang sedikit canggung.
Meletakan keranjang buah di atas nakas, Kanigara memundurkan kursi yang berada tidak jauh dari ranjang pasien dan mendudukinya.
Suri juga sama canggungnya. Ia sama sekali tidak menduga kalau Kanigara akan membesuknya. Rasanya benar-benar aneh.
"Gimana kabarmu, dan...kandunganmu?" Mata Suri membulat tak percaya, mendengar pertanyaan Kanigara. "Nggak usah kaget, Pijar cerita semuanya ke aku. Kamu tenaga aja, rahasiamu aman."
"Oh! Kabarku baik...juga kandunganku." Suri tersenyum sumir mendengar jawaban Kanigara.
"Pijar...hanya nggak pengen aku cemburu sama kamu, meski kenyataannya aku emang cemburu sama kamu." Cemburu? Yang bener aja?
"Apa yang perlu dicemburuin dari aku, Mbak? Kami udah nggak ada hubungan apa-apa lagi."
Ada kecemburuan, kecewa, luka, dan kesedihan di mata Kanigara yang Suri tangkap sesaat tatapan mereka bertubrukan.
"Aku cemburu, kamu bisa hamil. Lebih-lebih kamu udah ngelahirin anak buat Pijar, sedangkan aku enggak." Bibir Suri terjatuh, tidak tahu harus menjawab apa.
Cuma ada dua kemungkinan hingga kini Kanigara tak kunjung hamil. Entah karena Tuhan belum menitipkan rezeki pada keduanya, atau...ah, sudahlah, bukan urusannya juga.
"Aku tau hubungan kalian udah berakhir, jika saat ini kalian kembali dekat itu karena Keiyona, bukan yang lainnya." Yang lainnya? Suri mengerutkan keningnya.
Maksud yang lainnya apa? Rujuk? Astaga!
"Maksud, Mbak, rujuk?" Tak ada jawaban dari Kanigara, yang itu artinya iya bagi Suri. "Apa Mas Pijar nggak bilang sama, Mbak?"
"Apa?"
"Kami nggak pernah bisa rujuk, Mbak. Mas Pijar ngasih aku talak tiga. Mbak Rara jelas tau apa artinya itu."
Kali ini Kanigara terkesiap mendengar penuturan Suri yang terbilang tenang, bahkan sedikit kekehan di akhir kalimatnya. Untuk bagian ini Pijar sama sekali tidak menceritakannya.
"Kalo Mbak ke sini cuma buat kasih aku ultimatum, Mbak nggak perlu lakuin hal itu. Aku sama Mas Pijar hanya terhubung karena adanya Keiyona, nggak ada yang lainnya. Silakan Mbak Rara keluar, karena percakapan kita udah selesai."
Merasa mendapat pengusiran, Kanigara berdiri tanpa berkata-kata lagi. Sepertinya dia salah datang ke sini. Dan Suri sudah muak, kembali disalahkan karena dianggap orang ketiga.
Tidak bisakah mereka berhenti menilainya seperti itu lagi? Hanya karena pernah melakukan kesalahan di masa lalu, bukan berarti ia tidak bisa berubah.
Aku lelah, ya, Tuhan. Kapan semua ini berakhir.
.
.
.
"Argh!" Teriakan Vanila mengema di setiap sudut kamar mandi.
Tubuhnya merosot ke lantai dalam keadaan lunglai. Tangisannya pecah begitu saja saat ekor matanya melihat benda pipih bergaris dua.
Demi Tuhan ia benci keadaan seperti ini.
Ia memimpikan hal itu, pun berharap dengan sangat. Tak sedikit doa yang ia panjatkan agar segera diwujudkan impiannya dalam bentuk nyata.
Tapi bukan dengan cara seperti ini.
Yang ia mau, keberadaannya akan menjadi perekat untuk ia dan Giandra. Tapi dia hadir karena kesalahan.
Vanila kembali berteriak histeris seraya memukuli perutnya dengan membabi buta. Ia benci kehadiranya. "Aku benci sama kamu! Kenapa kamu mesti hadir di saat seperti ini? Kenapa? Pergi kamu! Pergi!"
Vanila tidak bisa lagi membendung segala hal yang tengah menghimpit dadanya, dengan memukuli perutnya sendiri.
Seharusnya janin ini tidak hadir, disaat ia tengah berjuang mendapatkan hati Giandra. Sedikit lagi...suami yang ia cintai akan segera menjadi miliknya. Permintaan mama Ratih membuat harapan Vaila melambung tinggi, ia yakin jika rumah tangga mereka kali ini akan berhasil.
Cukup Giandra meminta maaaf, karena kekhilafannya, maka ia akan memberi maaf dan memulainya dari awal lagi. Kali ini tidak akan ada drama penolakan, hanya akan ada perasaan cinta yang mengebu-gebu.
Harapan Vanila lantak, begitu garis dua yang ia dapati. Jawaban dari semua keanehan pada dirinya dua bulan terakhir ini.
Ia hamil.
Seharusnya hal ini tidak boleh terjadi sekarang. Nanti...kalau Giandra telah menyerah sepenuhnya pada dirinya.
"La, lo lama banget, deh," sembur Mutia yang sudah berdiri di ambang pintu kamar mandi.
Cepat-cepat Vanila menghapus jejak air matanya, dan beringsut mengambil tes pack yang tergeletak di lantai. Namun sayangnya, Vanila kalah cepat dengan gerakan Nuria yang sudah mengambil benda itu dengan wajah yang tak percaya.
"Ya ampun! Kyaaa...akhirnya, lo hamil, Kakak Ipar. Alhamdulillah." Vanila membeku ditempatnya begitu mendapatkan pelukan erat dari sahabat juga Adik Iparnya ini.
Ia tidak siap. Sangat-sangat tidak siap.
Nuria membantu Vanila berdiri, dan kembali memeluknya. "Mama pasti bahagia bakalan punya cucu. Akhirnya...."
Vanila yang masih merasa linglung, malah mendapati kamar mandinya kosong. Nuria justru sudah pergi dengan teriakan hebohnya. "Mama bakalan punya cucu."
Jika Vanila kembali merosot di lantai kamar mandi, berkebalikan dengan Giandra yang memandang horor ke arah Nuria yang mengatakan kalau Vanila tengah hamil.
"Beneran kamu?" Nuria menyodorkan test pack bekas pakai milik Vanila pada sang Mama.
"Ya ampun. Akhirnya mama punya cucu," pekik Ratih bahagia. "Kali ini Mama nggak mau tau. Tinggalin gundikmu itu, karena Vanila lagi hamil. Anakmu perlu bapaknya dan keluarga lengkap."
"Enggak! Aku nggak mau, Ma. Berapa kali aku ngomong sama Mama. Aku nggak bisa dan nggak akan pernah mau ninggalin May."
"Giandra! Keputusan Papa udah bulat, atau kamu mau Papa sendiri yang misahin kalian. Pilih salah satu." Putusan pria paruh baya final. Demi keutuhan keluarganya, ia bahkan rela menyingkirkan apa saja yang menghalangi kebahagiaan keluarganya.
"Tapi, Pa...."
"Atau kamu mau aku melenyapkan mereka?"
Giandra beranjak dari duduknya, dan berjalan cepat ke arah kamarnya semasa bujang. Ia menemukan Vanila tengah duduk di tepian kasur dengan kepala tertunduk.
"Katakan padaku siapa ayah bayimu?" desis Giandra dengan tatapan kemarahan yang tidak lagi ditutupi.
Vanila terhenyak dari lamunannya. Serta merta ia berdiri dan menatap mata nyalang Giandra takut-takut. "Bang...."
"Katakan, La. Siapa ayahnya?" Gelengan Vanila semakin membuat geraman Giandra terdengar mengerikan dengan rahang yang mengetat.
"Bang...a-aku bisa jelasin."
"Aku tanya siapa ayah bayimu, Ila?" Suara Giandra naik hingga dua oktaf, membuat Vanila berdiri gemetaran di tempatnya.
Hanya dengan beberapa langkah lebar, Giandra berhasil memangkas jarak di antara. "Jadi...siapa ayahnya?"
🌾🌾🌾🌾🌾
Done!
Rajin, kan, Nyai? Wkwkwkwkwkwkwk.
Sori buat typonya. Ketik langsung publish soalnya.
Buat yang udah komen, maap belom bisa balesin satu2. Sebisa mungkin, curi2 waktu buat ngetik. Biar cepet tamat
Oke, bay. Nyai mau tidor.
Markibo.... 😘
Surabaya, 14 Nopember 2020.
-Dean Akhmad- (00.30)
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro