Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

🍁29🍁

"Lepasin perempuan itu. Seenggaknya lakukan demi mama, Ndra."

Ucapan sang Mama tempo hari saat di rumah sakit selalu terngiang di pikiran Giandra. Apa yang harus ia lakukan? Giandra begitu menyanyangi Ratih sebagai wanita yang melahirkannya. Keinginannya adalah titah bagi Giandra, tapi kalau harus melepas Suri...ia tidak bisa melakukannya.

Giandra menghembuskan napas panjang juga melelahkan. Sudah tiga hari sang Mama pulang dari rumah sakit, tapi ia tak bisa melepaskan diri dari rumah besar keluarga Basukiharja begitu saja.

Ratih benar-benar mengikat kaki Giandra agar tidak bisa pergi ke mana-mana, selain ke kantor, padahal ia teramat ingin menemui Suri.

Logikanya kalah oleh hati.

Giandra merindukan Maysuri, tanpa peduli jika istri sirinya itu punya hubungan dengan pria lain. Giandra benar-benar tidak peduli. Ia mencintai Maysuri.

Ada bongkahan rindu yang ingin dipecah. Berjauhan dengan Suri sangat melelahkan, ia hanya ingin memeluk wanitanya dan menghirup aroma lavender khas Suri untuk sedikit menenangkannya.

Suri punya cara tersendiri untuk mengurai kekusutan hari-harinya di kantor. Wanita itu dengan telaten menyuguhkan teh jahe hangat dengan tumbukan daun mint, membuat kinerja otot-otot Giandra mengendur rilex setelah dihajar dengan tumpukan pekerjaan.

Sekalipun ia meminta pembantu di rumahnya untuk membuatkan teh yang sama, tetap saja lidahnya tidak menemukan rasa yang cocok seperti keinginan hatinya.

Karena bukan Suri yang membuatnya.

Pikiran Giandra benar-benar bercabang ke mana-mana. Mamanya, Suri, Keiyona, dan Vanila.

Bagaimana caranya meyakinkan mamanya jika Suri adalah wanita yang tepat mendampinginya. Apa yang harus ia lakukan?

Bagaimana caranya melepas belengu pernikahannya dengan Vanila, tanpa harus menyakiti gadis itu lebih dalam lagi.

Bagaimana kabar Suri dan Keiyona. Wanita itu sendirian di sana, hanya ditemani oleh Bu Santi saja. Kalau saja ada pintu ajaibnya Doraemon, Giandra meminta ijin menggunakannya saat ini untuk menemui Suri dan memeluknya. Membisikan kata bahwa ia tidak lagi sendirian.

Sayangnya khayalan Giandra hanya sekedar angan-angan.

Sialan! Giandra mengerang dalam hatinya. Masa bodo dengan semuanya. Ia hanya butuh Suri. Ia butuh memeluk Suri dan mengurai kerinduannya.

Beranjak dari duduknya, Giandra menyambar kunci mobil yang tergeletak di atas meja kerjanya. Ia harus menemui Suri.

"Batalkan semua janji hari ini. Aku ada urusan." Suara tegas Giandra membuat sekertarisnya telonjak dari tempat duduknya.

"Baik, Pak," jawab si sekertaris setelah bosnya berlalu menjauh dari ruangan.

Jantung Giandra berdegup kencang ketika mobilnya mendekati rumah sakit yang sama tempat mamanya di rawat. Bodoh! Umpat Giandra dalam hati, menyadari kebodohannya tempo hari.

Harusnya ia menanyakan perihal keberadaan Suri di tempat yang sama dengan dirinya, tentu juga tentang pria yang terlihat dekat dengan istrinya.

Lagi-lagi Giandra hanya bisa mengumpat seraya memukul kemudinya. Kecemburuan nya membuat logikanya tumpul.

Di saat ia mulai menyadari perasaannya pada Suri, Giandra dihadapkan dengan kedekatan istrinya bersama pria yang ia kenal.

Jujur saja, Giandra sempat mendiamkan Suri tanpa menghubunginya karena tengah dilanda kecemburuan. Dan hari ini ia menyesali hal itu.

Ia tidak di sana saat Suri membutuhkan seseorang untuk bersandar dan berkeluh kesah. Bukannya menenangkan Suri, ia malah menjauhinya.

Pengecut!

Harusnya Giandra mengmengonfirmasi perihal kedekatannya dengan pria itu, bukan malah menjauhinya dan berujung rasa bersalah yang bercokol sengit.

"Maysuri!" seru Giandra mendapati Suri tengah berbincang-bincang dengan seorang Dokter.

Dari balik bahu sang Dokter, Suri melihat Giandra berlarian di Koridor dengan tergesa-gesa. "Mas Ian."

Giandra menubruk tubuh kecil Suri ketika pria ber-snelli itu pergi, dan memeluknya dengan erat. Meraup aroma lavender yang tertinggal di tubuh Suri dengan rakus, seakan tidak akan lagi waktu untuk menghirupnya.

"Aku kangen kamu, May. Bisa gila aku kalo nggak ketemu kamu. Aku nggak bisa kita jauh-jauhan sama kamu, aku nggak peduli lagi siapa dia. Asal kamu di sini, di dekapan aku, di sisi aku. Aku nggak peduli apapun lagi." Racauan Giandra mendapatkan kerutan kening dari Suri. Walau wajah pria dengan setelan kemeja dan celana bahan berada di ceruk lehernya, Suri masih bisa mendengarnya.

"Mas kamu kenapa, sih?" tanya Suri mengurai pelukan Giandra, masih disertai kerutan di kening.

"Aku nggak apa-apa," potong Giandra berganti merangkum wajah Suri dengan kedua tangan besarnya. Mendaratkan kecupan bertubi-tubi di wajah Suri.

"Ya ampun, Mas!" pekik Suri yang merasa kegelian mendapati tingkah aneh Giandra. "Kamu kenapa, sih?"

"Kangen kamu," sahut Giandra menatap lekat-lekat wajah Suri yang tampak sayu dan kelelahan secara bersamaan.

Suri mengerjap bingung, mendengar nada manja dalam pengucapan 'kangen kamu', apalagi ketika kecupan dengan durasi cukup lama membuat jantung Suri terkesiap.

Astaga! Hal ini sudah biasa mereka lakukan, tapi Suri agaknya sedikit malu ketika Giandra melakukannya di area terbuka seperti ini.

Ia bukan golongan PDA* yang dengan gampangnya menunjukan kemesraan dengan pasangan di muka umum.

"Mas...ini di rumah sakit."  Suri mendelik sebal dengan memukul lengan Giandra yang justru mendapat kekehan geli dari suaminya itu.

"Aku masih kangen sama kamu." Giandra kembali memeluk Suri dengan perasaan yang tenang. "Ayo masuk, aku juga kangen sama Yona." Giandra melepaskan pelukannya dan menarik Suri memasuki kamar inap putri sambungnya itu.

Sedangkan di balik tembok tak jauh dari kamar inap Keiyona, Pijar berdiri mematung menyaksikan semuanya tanpa ada yang terlewatkan.

Entah kenapa melihat itu semua, Pijar merasakan ada sesuatu yang retak di dalam sana. Bahunya mendadak lemas, tak sebahagia dan seceria saat ia akan berangkat di sini.

Kalau ada Giandra, mana mungkin ia memaksakan diri masuk ke sana. Ia tidak mau mengambil resiko relasinya mengetahui jika Keiyona adalah putrinya.

Jelas saja ia tidak mau dipisahkan lagi dengan Keiyona. Cukup kebrengsekannya dulu yang membuat ia tak tahu menahu perihal tumbuh kembang putrinya. Karena jika Giandra tahu hal yang sebenarnya, bukan tidak mungkin pria itu melarangnya untuk bertemu Keiyona.

Mengembuskaj napas ketidakrelaannya, Pijar memutar tubuhnya. Menatap sendu tentengan snack permintaan Keiyona, dengan terpaksa Pijar meletakkan bungkusan plastik tersebut di atas konter perawat yang tak mau dari tempatnya.

"Sus, bisa minta tolong berikan ke ruang inap anak Keiyona, ya," pinta Pijar langsung pergi tanpa menunggu balasan dari Suster jaga.

Giandra lupa waktu. Langit sudah berubah menjadi gelap, kala ia menyadari kalau dirinya hampir seharian di rumah sakit.

Bersama Suri dan Keiyona adalah hal yang ia benarkan dalam hatinya. Giandra tak mau apa-apa lagi selain mereka berdua ada di hidupnya. Untuk kali ini ia ingin benar-benar memperjuangkan mereka.

Ya! Sudah seharusnya ia memperjuangkan apa yang diyakininya saat ini.

"Hati-hati, Mas," ucap Suri yang dihadiahi kecupan di keningnya.

Suri memaksa mengantar Giandra sampai di parkiran. Melambai dengan wajah berbinar, Suri melepaskan kepergian Giandra.

"Dasar wanita sundal!" Teriakan itu jelas membuat Suri bertingkat.

Tahu-tahu saja ia mendapatkan tamparan keras di pipinya, tak hanya itu saja. Suri merasakan rambutnya dijambak kuat dan ditarik tanpa ampun, membuat kepalanya pening seketika.

Suri hanya bisa pasrah mendapati perilaku bar-bar seorang gadis yang entah dari mana datangnya. Tak puas melakukan hal itu bertubi-tubi, gadis gadis berambut panjang itu kembali melayangkan tendangan ke perut Suri hingga tersungkur di paving block.

"Dasar jalang, pecun, sundal!" Kali ini gadis berkemeja merah mudah itu justru menduduki perut Suri. Kembali melayangkan tamparan dan jambakan. "Lo itu perusak rumah tangga orang lain, tau nggak? Harga diri lo di mana, hah? Emang ya, wanita laknat kayak lo harus dibinasakan. Mampus lo!"

Perut Suri terasa mual dan kram secara bersamaan, dan benturan kepalanya pada paving block semakin menambah kesakitannya yang menjadi-jadi.

Pandangannya sudah berkunang-kunang, dan perutnya semakin terasa kram tak tertahankan.

Ia tak berdaya.

Samar-samar Suri melihat beberapa orang mendatanginya, serta meneriakan namanya. Beradu dengan sumpah serapa yang ditujukan untuknya.

Beban di perutnya terangkat, namun tak mengurangi rasa sakitnya, malah semakin sakit saja.

"Suri...Suri..." Suri tak bisa lagi melihat jelas siapa wanita yang memanggil namanya, dan memangku kepalanya yang terasa basah. "Pa...tolongin, Suri."

🌾🌾🌾🌾🌾

Jeng jeng jeng....

Rajin kan, Nyai. Wkwkwkwkwkwkwk. Fresh baru ngetik. Sori kalo ada typo yang masih berserakan.

Mami Besan awtyaswuri nyoh nyoh nyoh.

Wes ojok nageh. Nyai mau revisi Mantan suami. 😔😔😭😭😭 mimisan nyai revisi naskah itu. Harap bersabar ya...

Surabaya, 10 Nopember 2020
-Dean Akhmad- (00.48)






Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro