Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

🍁 28 🍁

Mendapat telepon dari Suri di pagi buta jelas membuat Pijar kalang kabut. Apalagi kalau bukan tentang kondisi putrinya yang tiba-tiba kolaps.

Ini pertama kalinya Pijar merasakan syok terapi yang tak main-main. Dalam perjalanan ke rumah sakit Pijar tak henti-hentinya berdoa, berharap agak Keiyona baik-baik saja.

Ia masih ingin membersamai Keiyona, menebus delapan tahun kealpaan dirinya dalam kehidupan sang Putri.

Seharusnya ia bisa mengantisipasi, juga menyiapkan diri jika hal ini terjadi kapan saja. Tetap saja Pijar merasa kecewa, sedih, dan kalah secara bersamaan.

Lalu apa kabar dengan Suri? Delapan tahun mantan istrinya harus mempersiapkan mental dan fisik untuk saat-saat seperti sekarang. Kembali ia mengutuk kebejatannya dulu.

Banyak pengandaian yang hinggap di kepala Pijar, tapi sayangnya hal itu tidak akan pernah mengubah apapun di masa sekarang. Nasi sudah menjadi bubur, tapi bukankah tidak ada kata terlambat dalam memperbaiki apa yang sudah rusak. Meski tak akan kembali seperti semula, paling tidak Pijar masih bisa memperbaiki kepingan yang tersisa.

Menatap tubuh lemas Keiyona dengan berbagai macam selang membuat dadaa Pijar bergemuruh hebat. Ada sesak dan nyeri sekaligus menghantam dadanya membuat Pijar tak berdaya.

Mengusap lembut jemari putrinya yang bebas dari jarum infus, Pijar tak kuasa menahan laju air matanya yang tiba-tiba berlinang tanpa ijin. 

Hatinya benar-benar remuk.

Menangkup tangan Keiyona, Pijar membawanya mendekat ke pipi, dan merasai telapak tangan yang terlihat ringkih membuat Pijar semakin nelangsa.

Pijar ganti melabuhkan kecupan-kecupan kecil di telapak tangan Keiyona, tanpa peduli jika si pemilik tangan akan terganggu. Pijar hanya ingin Keiyona tahu, jika ia sangat menyanyanginya dan berharap masih diberi kesempatan untuk terus bertumbuh menjadi dewasa.

"Ayah sayang, Kei. Cepet sembuh, Sayang. Ayah janji bakalan sering-sering bawa kamu jalan-jalan. Kei mau ke mana? Ke Dufan, ke Kebun Raya Bogor, atau mau ke Ragunan. Kita pergi ke sana sama Ibuk, ya, mau, kan, Nak. Ayah—" Ucapan Pijar tertelan di tenggorokan, seakan mencekik habis suaranya.

Rasa-rasanya ia memang tidak pantas mengatakan hal itu.

Kembali lagi pengandaian itu menghampiri benaknya. Jika dulu ia lebih bisa menahan emosi, mungkin mereka akan menjadi keluarga kecil yang bahagia. Keiyona akan menjadi bocah yang periang dengan segala celotehannya, gadis kecilnya bisa bebas berlarian mengejar layang-layang pun bermain bola dan berkejaran dengan teman sebayanya.

Impian itu kembali Pijar telan bulat-bulat, karena semua itu menjadi omong kosong yang tidak akan pernah terwujud. Hanya akan menjadi ilusi.

"Kei harus sembuh, ya, Ayah sayang sama Keiyona."

Pijar menelan semua emosinya, hanya agar Keiyona bisa segera pulih dan kembali menjadi putrinya yang periang. Ia ingin gadis kecil kesayangannya hidup normal seperti anak-anak lainnya, bukan seperti saat ini yang selalu dihantui oleh penyakit jantungnya.

Pintu kamar inap terbuka, menampakkan sosok Suri dan Janaka—mantan kakak ipar sekaligus sahabatnya.

"Jar, lo bisa anterin Suri pulang? Dia butuh istirahat, juga ganti baju."

"Mas—"

"Jangan repotin Bu Santi, Ri. Kamu harus pulang! Ke rumah, juga istrahat yang cukup." Janaka meraih kedua bahu Suri dan meremasnya pelan. "Yona butuh Ibunya yang sehat. Dia bakalan sedih kalo liat Ibunya sakit. Kalo kamu sakit siapa yang akan support dia?" Ucapan Janaka jelas membungkam Suri. "Nggak usah khawatir, Mas yang jagain Yona. Kamu pulang dulu sama Pijar
."

Tidak ada obrolan sepanjang perjalanan mereka menuju rumah yang ditempati Suri saat ini.

"Maaf...," ucap Pijar pelan. "Aku yang harusnya minta maaf sama kamu."

"Untuk apa?" tanya Suri menoleh cepat dan menatap Pijar. Mata pria yang hanya memakai kaus oblong berwarna biru pudar masih fokus ke jalanan.

Sepintas Suri memindai penampilan Pijar yang jauh dari kata sempurna seperti biasanya. Dulu sekali ... hampir setiap hari ia melihat Pijar seperti ini, tidak ada yang aneh menurutnya. Dia terlihat layaknya pria kebanyakan yang berpenampilan casual dan simple, karena Suri lebih banyak melihat Pijar dalam balutan kemeja dan celana bahan rapi setelah mereka berpisah.

Mantan suaminya ini bahkan hanya menggunakan celana training dan kaus oblong yang warnanya sudah pudar.

Suri meringis dalam hati kala mengingat jika ialah yang menelepon Pijar di pagi buta, jelas sekali kalau pria ini terburu-buru untuk menyusulnya ke rumah sakit. Kalau bukan karena panik, Suri terlalu sungkan menghubunginya.

Ikatan di antara mereka sudah putus, tapi ikatan ayah dan anak tidak akan terputus. Setidaknya Pijar harus mengetahui apa yang terjadi pada Keiyona saat itu.

Bayangan Keiyona tidak akan kembali ke pelukannya berada di pelupuk mata, bayang-bayang yang selalu menghantuinya selama delapan tahun ini.

Pijar menghela napas berat kala melihat tatapan kosong Suri. Sekelam apapun masa lalu mereka, Pijar tidak pernah bisa sepenuhnya membenci Suri. Wanita berwajah kuyu ini mempunyai porsi cerita yang berbeda dalam hidupnya.

"Maaf kalo aku ngerepotin kamu, Mas."

Pijar menoleh cepat mendapati Suri kembali memanggilnya dengan sebutan Mas. Tak urung hal itu membuat hati Pijar mendadak berdesir lembut.

"Keiyona juga putriku, Ri, kalo-kalo kamu lupa." Suri menggeleng, masih dengan 0andangan kosong.

"Aku inget...," Suri menunduk dan memainkan jari kukunya. "Tapi kondisi kita udah beda, Mas."

Menyugar kasar rambutnya, Pijar menumpuhkan kedua sikunya di atas kemudian dan kembali menatap lurus ke depan. Hanya suara desingan AC mobil yang mengisi keheningan mereka.

"Keiyona satu-satunya yang aku punya setelah kamu nalak dan ngusir aku malam itu. Dia anugerah buatku, Mas. Meskipun dia hadir karena jebakan dan ketidak ikhlasanmu, bagiku Keiyona tetap buah cintaku, karena aku begitu mencintaimu, Mas.

Dia pengharapanku untuk selalu bertahan hidup, nggak ada setitik niat pun buat lenyapinnya walau aku tau kelahirannya nggak sempurna. Bagiku putriku adalah anak yang sempurna. Dia anugerah sekaligus hukumanku karena ngerusak hidupmu, Mas. Aku...mencintainya sebanyak aku mencintaimu, bahkan lebih besar lagi. Seberat apapun cobaannya, dia putriku. Aku akan selalu mengusahakan yang terbaik buat dia, meski harus menjual harga diri sekalipun."

Cukup! Raung Pijar dalam hati. Ia tahu itu. Seberapa besar usaha Suri membesarkan Keiyona di antara keterbatasan ekonomi yang mencekik. Pengobatan Putrinya tidaklah murah, belum lagi kebutuhan Keiyona yang lainnya. Iya tahu semuanya.

"Maaf dan terima kasih, Ri, karena udah ngelahirin Keiyona dan merawatnya hingga sekarang ini. Aku...berhutang sama kamu juga berdosa sama kalian, aku...." Pijar membuang semua egonya dengan menangis di hadapan Suri.

Mereka berdua sama-sama terluka, hanya saja tidak ada lagi yang harus dilakukan selain dengan menyembuhkan luka masing-masing dengan jalan yang tentu berbeda.

Bisa saja dua orang yang saling terluka ber sama-sama untuk saling menyenbuhkan, sayangnya Suri bukan pain killer untuk Pijar, karena justru ialah si pemberi luka.

"Begini saja udah cukup, Mas. Kamu tetaplah Ayah kandung Keiyona, darahmu mengalir di tubuhnya. Kita bersama karena ada Keiyona yang jadi tanggung jawab bersama."

Memberanikan diri, Pijar meraih tangan Suri dan menggenggamnya erat. "Makasih, udah ngasih kesempatan turut serta tanggung jawab buat Keiyona. Makasih, Ri, makasih."

🍃🍃🍃🍃

Muehehehehehe, mian. Lama update nya. Semoga syuka yes. Sorry for typo, gaes.

Oke, bay. Nyai mau masak mie instan dulu, lapar soalnya.

Khusus yang minta dikodein kalo Suri Up. Mamak Besan awtyaswuri 🤣🤣🤣🤣 nyoh.... Nyoh.... Nyoh....

Surabaya, 7 Nopember 2020
-Dean Akhmad- (22.29)


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro