🍁 20 🍁
"Rara udah isi belum?" Pertanyaan singkat itu membuat keadaan langsung hening sesaat, tapi kembali riuh meski beberapa pasang matang tengah menatap dirinya.
Sebagai menantu dari Sulung Mahameru Danuarta, Kanigara jelas menjadi sorotan dalam keluarga besar Danuarta. Apalagi kalau bukan soal momongan.
"Belom rejekinya, Bude. Toh aku sama Rara nggak buru-buru punya momongan." Pijar menjawabnya dengan nada santai, namun terselip kegeraman samar di antara pembelaannya pada sang istri.
Ia tahu jika selamanya rongrongan atas kehadiran cucu akan menerornya seumur hidup. Bohong rasanya jika ia merasa baik-baik saja setelah pertanyaan dari Kakak tertua sang Ayah mertua.
Wanita mana yang tidak ingin hamil dan memberikan keturunan untuk sang Suami? Tak terkecuali dirinya. Andai saja ia baik-baik saja, tapi sayang di balik kesempurnaan rumah tangga Kanigara dan Pijar terselip kegetiran yang tak bisa disingkirkan begitu saja.
Seharusnya ia tahu resiko ini sebelum mengambil keputusan untuk menerima perjodohan mereka dulu. Meski di awal perkenalannya, ia sudah mengaku tak kan mungkin memberi Pijar keturunan karena rahimnya sudah di angkat. Dan kesalahan remajanya dulu membuat ia menerima balasan yang begitu hebat mengguncang dunia Kanigara, hingga melindapkan harapannya akan seorang anak yang akan memanggilnya Mama.
Sepulangnya dari rumah orang tua Pijar, Kanigara memilih pergi ke kamar untuk mandi dan bersih-bersih, meninggalkan lelaki yang menikahinya karena perjodohan dan bisnis sendirian di bawah.
Pijar sendiri memilih ke dapur dan membuat kopi hitam yang akhir-akhir ini menjadi candunya, bersamaan dengan batangan nikotin yang sedikit mampu menghempaskan masalah yang menghampiri.
Mengembuskan asap rokoknya, Pijar merasakan pikiran sedikit mengendur. Pertanyaan Bude Ratmi jelas membuat angan-angan Pijar berkelana, namun lagi-lagi harus melindap karena kenyataan yang terpampang jelas.
Kembali mengembuskan asap nikotinnya, Pijar menatap langit malam tanpa bintang. Meski ia tak bisa memiliki keturunan dengan Kanigara setidaknya ia sudah mempunyai Keiyona. Gadis kecil yang mengaliri DNA dan darahnya, anak yang dulu ia buang karena beranggapan hasil perselingkuhan. Namun kini begitu ia inginkan.
Ingin rasanya ia menutup mata pada kenyataan, kalau kini putrinya sudah memiliki figur seorang ayah. Sedangkan ia merana sendirian dengan dihinggapi ribuan penyesalan dan perasaan bersalah yang tak berkesudahan.
Pijar ingin hanya dialah yang dipanggil Ayah oleh Keiyona, bukan Giandra ataupun pria manapun. Ada ketidakrelaan bercokol dalam dada Pijar, apalagi melihat kedekatan Giandra dengan Keiyona benar-benar menghempaskan harapan Pijar.
Kembali mengembuskan asap rokoknya, Pijar menikmati langit malam ditemani angan-angan akan kehidupan rumah tangganya yang diisi dengam gelak tawa Keiyona dan Suri yang ikut menemani sang putri bermain.
Bah. Pikiranmu ngelantur ke mana-mana.
.
.
.
Kanigara hanya bisa memandang punggung Pijar dari kejauhan. Pria yang sudah menjabat sebagai suaminya tiba-tiba saja lebih pendiam, meski memang sifat dasarnya tak banyak bicara. Tetap saja ia merasakan perubahan itu.
Pijar selalu menyendiri di teras belakang, ditemani berbatang-batang nikotin dan secangkir kopi. Tiap kali bertanya apa yang dipikirkannya, Pijar selalu menjawab bukan apa-apa. Namun tatapan matanya tak bisa berbohong, jika di dalam sana ada sebuah rahasia yang belum bisa diungkapkan.
Sama halnya dengan malam-malam yang lalu, Kanigara kembali melihat Pijar sedang terduduk di teras belakang. Dengan segenap keberanian Kanigara menghampiri suaminya, berharap ia akan menjawab semua pertanyaan yang sudah bercokol di otaknya selama ini.
"Aksa, bisa kita bicara?" tanya Rara—nama kecil Kanigara—begitu duduk di samping Pijar.
"Apa yang mau kamu tanyain, Ra?" Pijar membenamkan batangan tersebut ke dalam asbak, kemudian meneguk sisa kopi yang ada.
"Semenjak pulang dari Malang, kamu berubah. Lebih pendiam dan penyendiri sekarang. Ada apa? Apa soal pertanyaan Bude Ratmi tempo hari?" Pijar menggelang lemah, kemudian menghela napas panjang, tapi tatapannya kosong. Seakaan pikirannya berkelana. Sedangkan Kanigara hanya duduk diam sembari menatap suaminya, dan menerka-nerka rahasia apa yang Pijar simpan.
"Aku pernah nikah."
"Aku tau."
"Dua kali." Kanigara menoleh cepat. Menatap Pijar lekat-lekat, tapi pria itu seakan asik dengan dunianya.
"Pernikahan kita...bukannya yang kedua kalinya buat kamu?"
Menatap wanita berparas manis itu sejenak, Pijar menghela napas panjang dan beranjak dari duduknya. Memilih berdiri membelakangi, ia masihlah tak siap mengungkap segalanya ke permukaan.
Menelusupkan kedua tangannya ke dalam saku celana kargo, Pijar menengadah menatap langit malam yang pekat tanpa bintang.
"Aku pernah nikah dua kali, sebelum nikah sama kamu." Meski diucapkan dengan nada datar tanpa emosi, tapi hal itu justru membuat jantung Kanigara dihantam batu besar.
"A—apa?"
"Pernikahan keduaku nggak terdaftar di negara, karena kami hanya nikah siri." Kanigara menelan ludahnya susah payah.
"Kenapa?"
"Semua berawal dari obsesi."
"Obsesi?"
"Keluarga kami dekat layaknya saudara. Membuat kami para anak-anak juga dekat satu sama lain. Dia selayaknya Mirah bagiku, tapi sayangnya enggak sama dia. Aku pikir hanya sekedar cinta monyet, jadi aku mengabaikannya. Sayangnya pengabaianku dijadikan obesesi untuk memiliki.
Mengahalalkan segala cara buat misahin aku sama Bunga. Mulai dari yang biasa dan paling ekstrim sekalipun dia lakukan." Kanigara hanya bergeming. Menatap rerumputan yang ikut bercahaya ditimpa sinar rembulan.
"Pada akhirnya dia berhasil menjebakku untuk nikahin dia dan sukses misahin aku sama Bunga, juga membunuh calon buah hati kami dengan mendorongnya dari atas tangga." Pijar mengetuk-ketukan ujung sandal rumahnya ke lantai.
Pijar murka saat mengetahui hal itu, hingga tega melayangkan tendangan ke perut Suri saat itu. Akan tetapi semuanya berubah menjadi perasaan bersalah begitu bertatap muka dengan Keiyona dan tanpa sengaja bertemu dengan Bunga saat berada di Malang.
Bunga sendiri mengakui jika jatuhnya ia dari tangga adalah murni kesalahannya. Tidak ada campur tangan Suri yang mendorong dirinya seperti yang dituduhkan dulu. Suri berusaha menolong, tapi sialnya saksi mata yang melihat justru beranggapan jika Suri yang mendorongnya. Mereka memang sempat cekcok mulut, tapi saat ia ingin melangkah Suri berusaha menahan Bunga agar tidak terpeleset.
"Lalu di mana dia sekarang? Maksudku mantan istrimu itu."
"Delapan tahun lalu aku menalaknya, dan mengusirnya dalam keadaan hamil besar. Apalagi aku mengetahui semua rencana busuknya dalam menyingkirkan Bunga dari hidupku, aku sempat murka dan sempat menganiaya dirinya." Pijar mengusap wajahnya secara kasar.
Bayangan ia menendang Suri kembali hadir, menyisahkan penyesalan dan kegetiran yang tidak ada habisnya dimakan waktu. Apalagi begitu ia melihat Keiyona, semakin membuat perasaan itu semakin membumbung tinggi.
Gelembung ingatan Pijar pecah menyadari kalau semua adalah kesalahannya. Sedari awal dia juga turut andil dalam semua polemik kehidupannya sendiri.
Tidak perlu menyalahkan orang lain, karena nyatanya semua hal yang terjadi adalah buah dari keputusannya di masa lalu.
"Di mana dia sekarang, Sa?" Desak Kanigara tak sabaran.
"Di Jakarta. Sebelumnya dia tinggal di Malang. Kamu pernah ketemu sama dia di sana."
"Dia putriku, Ra. Anak yang dulu kuanggap hasil perselingkuhan dengan pria lain, bikin aku kalap. Gara-gara aku dia...," suara Pijar tersekat menyakitkan di tenggorokan. "Dia mengalami kelaina bicara dan mendengar."
Deg!
Jantung Kanigara langsung mencelus, seakan copot dari tulang penahannya dan bergumul menjadi satu di perutnya. Jawaban Pijar berdengung di telinga Kanigara, wanita itu mencoba merangkai kepingan ingatannya begitu Pijar mengatakan jika mereka pernah bertemu.
"Maksudmu? A—aku pernah ketemu?"
"Ya! Kamu yang nabrak ibunya waktu di Malang." Kanigara memejamkan matanya.
Jadi ... wanita itu mantan istri Aksa, dan anak itu anaknya Aksa. Tuhan ini cobaan apalagi?
🍁🍁🍁🍁🍁
Mood berantakan. Entah apa yg aku tulis. Semoga kalian suka, maaf mengecewakan.
Tolong tanday typo. Oh, iya. Aku lupa itu Suri dan Pijar udah pisah berapa tahun lamanya, karena aku udah ngantuk ini. Wkwkwkwwkwk.
Makasih ya udah nungguin.
Makasih juga buat vote and komen. Maap aku belum bisa bales satu2, tapi aku tetep baca semuanya mesku lewat notif email. Percayalah, Nyai juga mempertimbangkan apa yang kalian pengeni utk cerita ini kedepannya.
So, jangan lupa follow bg ya mau follow. Aku ada akun IG juga nih, kali aja mau follow juga. Wkwkwkwkwk #plak #sokiyabanget
-Dean Akhmad-
Sidoarjo, 8 agustus 2020 (01.28)
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro