🍁 2 🍁
Kesunyian jelas mendera empat orang yang sekarang duduk bersama di dalam mobil SUV, entah milik siapa. Suri pun tak mau repot-repot ingin tahu.
Ia memang duduk di jok belakang, ditemani oleh Kanigara, sedangkan pria itu duduk di samping supir.
Sesekali Suri mencuri lirik ke arah Pijar yang duduk bersandar pada jok mobil, dengan tangan kiri yang menumpuh berat kepalanya.
Jujur saja, Suri tak pernah siap bertemu lagi dengan Pijar. Delapan tahun ia habiskan untuk memperbaiki diri, bersamaan dengan luka yang ditorehkan oleh lelaki itu. Nyatanya takdir selalu bermain-main di hidupnya.
Rara sendiri tak banyak bicara selama perjalanan. Suri sesekali memberitahukan rute jalan yang akan mengantarkannya pulang ke rumah.
Menatap sisi punggung Pijar membuat Suri tak bisa untuk tidak kembali pada memori dirinya jatuh cinta pada lelaki itu.
Keluarga Sapta dan Mahameru Danuarta jelas berteman dengan baik, sedari orangtua mereka berseragam putih bitu. Pijar yang terlahir lima tahun dari Suri, membuat wanita itu begitu menyukai Pijar.
Sifat Pijar yang memposisikan diri sebagai kakak dan teman, membuat Suri lupa berpijak. Perasaan yang awalnya hanya berupa kasih sayang adik, berubah menjadi cinta.
Pijar Cinta pertama Maysuri. Sayangnya itu tidak berlaku bagi Pijar.
Lelaki yang kini berusia tiga puluh empat tahun itu, tak beranggapan sama seperti Suri. karena kenyataannya Pijar mempunyai tambatan hati sendiri.
Berdalih sebagai seorang adik, Suri kerap kali membuat Pijar dan Bunga terkadang harus merelakan hari kencan mereka demi menemaninya.
Suri begitu terobsesi pada Pijar, kala mengetahui jika cinta pertamanya itu memilih menikahi Bunga. Daripada memandang dirinya sebagai wanita, bukan selayaknya adik.
Obesesi memiliki Pijar menjadi tujuan hidupnya, apalagi kalau bukan menikahi lelaki itu. Sedikit demi sedikit Suri mulai melancarkan aksinya, meski tak secara terang-terangan. Suri sukses mendepak Bunga dari hidup Pijar dan mengantikan posisi Bunga.
Sayangnya, obsesi Suri membawanya pada neraka yang sudah ia ciptakan sendiri. Ia kehilangan sosok Pijar yang hangat, tergantikan dengan aura dingin tanpa bisa dicairkan.
Apalagi setelah Suri di depak dari rumah, membuatnya semakin terbenam dalam nestapa tak berujung.
"Bu, ini rumahnya sebelah mana?" Pertanyaan sang supir membuat Suri tersadar dari lamunannya.
"Eh...anu, itu pak. Bapak berhenti di depan gang aja, mobil gak bisa masuk soalnya. Berhenti di situ ya, Pak." Tunjuk Suri pada sebuah pertigaan yang cukup besar dan bisa dilalui dua mobil bersisipan, tapi tidak untuk memasuki gang perkampungan.
Kanigara turun terlebih dahulu dan menuntun Suri yang kini jalannya agak pincang. Setelah beberapa menit mereka berjalan, langkah Suri berhenti tepat di depan rumah petak dengan cat dinding yang mulai memudar, bahkan tak jarang ada beberapa bagian atap rumah yang mengelupas.
Kanigara tak bisa menyembunyikan keterkejutannya, begitu juga dengan pijar. Pria itu bahkan cukup lama memindai sekitar rumah yang dihuni mantan istrinya itu.
Kaget. Karena tak pernah menyangka, seorang Maysuri Sheallegra Sapta hidup di lingkungan kumuh seperti ini. Dulu ia pikir, setelah mentalak Suri wanita itu akan kembali pada keluarganya. Karena ternyata wanita itu malah pergi ke kota yang bahkan tak pernah terpikirkan oleh Pijar.
Pijar memang menyangsikan hidup Suri yang sekarang, karena berpikir jika gadis manja dan egois ini mana bisa hidup mandiri. Lalu kini, ketika melihat kondisi tempat tinggalnya sekarang Pijar tak tahu lagi harus menilai Suri setelah tujuh tahun perpisahan mereka.
Ia begitu membenci Suri, tentang apa saja yang wanita itu lakukan terhadap rumah tangganya dulu bersama Bunga. Apalagi kelicikan yang Suri buat, semakin membuat Pijar membenci sosok Suri yang sudah ia anggap adik sendiri.
"Aksa! Ayo." Ajak Kanigara membuat Pijar kembali ke realita.
Mendengus tak suka, mau tak mau Pijar mengikuti langkah terseok Suri yang di papah oleh wanita yang kini menjadi istrinya lima tahun lamanya.
Jujur saja Pijar tak menyukai situasi ini. Bertemu Suri di Kota Apel jelas tak ada dalam agenda kunjungan Pijar. Ia hanya seminggu di sini. Selain karena pernikahan sanak saudara Kanigara, kebetulan ia akan bernegosiasi dengan pemilik hotel di Malang untuk kerja sama suplai barang-barang perhotelan.
Setelah mentalak dan mengusir Suri, ia pun tak mau tahu apapun mengenai wanita perusak rumah tangganya dulu. Pijar tahu dirinya terlalu arogan, membiarkan Suri pergi dari rumah dalam keadaan tak layak. Seharusnya ia langsung mengantarkan wanita itu ke orangtuanya, namun ego kelaki-lakiannya menolak melakukan hal itu.
Mengusir Suri begitu saja, ia anggap sebagai salah satu pembalasan setimpal akan semua kelicikan yang Suri lakukan untuk menghancurkan hidupnya.
Pijar kembali memindai keadaan rumah Suri. Benar-benar perkampungan biasa, tapi terkesan kumuh. Sepanjang jalan mereka berjalan tadi Pijar enggan untuk menatap punggung kecil itu, punggung yang pernah mengisi hari-hari remajanya.
Dua buah kursi plastik dengan warna memudar semakin membuat Pijar ingin sekali beranjak dari tempat ini.
Tak ada respon ketika pemilik rumah ini mengetuk pintunya, hingga akhirnya terdengar suara derit pintu triplek yang beberapa bagian mengelupas.
Seorang gadis kecil berdiri tepat di tengah-tengah pintu terbuka tersebut, memberikan senyuman tulus kepada Kanigara juga Suri.
Tak ada sapaan khas anak kecil seperti biasanya, Kanigara dan Suri disambut dengan pergerakan tangan gadis itu.
"Ibuk sudah pulang?"
Suri tersenyum semringah dan mengangguk. "Maaf! Ibu telat balik kerumahnya, ada insiden kecil tadi."
Gadis itu lagi-lagi menggerakan tangannya. "Tangan Ibuk kenapa?"
Suri meringis mendapat pertanyaan putrinya. "Kecelakaan kecil. Ibuk meleng tadi jalannya, jadi nabrak mobil tante itu." Suri menggerakan jemarinya, meski sedikit memaksakan diri guna menjawab pertanyaan putrinya.
Gadis itu langsung memeluk leher Suri, yang sedari tadi menyejajarkan tubuhnya dengan sang putri.
"Ibuk nggak apa-apa, kok. Cuma luka kecil. Nanti juga sembuh."
Gadis itu mengendurkan pelukannya, dan memandang ke arah Kanigara yang ikut menyejajarkan tubuhnya. Wanita itu sekarang paham akan kondisi gadis cilik dengan lesung pipit itu.
"Hai...kenalin, tante namanya Kanigara. Namamu siapa gadis manis?" Gadis itu menoleh ke arah Suri, yang kemudian di angguki oleh Suri.
Seperti tahu, bahwa wanita di depannya tadi tak mengerti bahasa isyaratnya. Ia berlari kedalam kamar, lalu kembali dengan membawa buku catatan dan sebuah pensil.
"Halo, Tante Kanigara. Aku Keiyona, panggil aja Yona."
Kanigara tersenyum simpul, dan mengacak rambut Yona dengan gemas. Lima tahun menikah dengan Aksa, ia bermimpi bisa mempunyai momongan sendiri. Hingga sekarang ia belum dikarunia seorang anak.
Betapa ia menginginkan keturunan yang lahir dari rahimnya, tapi Tuhan sepertinya belum berkeinginan untuk mewujudkan mimpi dan doanya.
Kali ini Yona menggerakan matanya sedikit ke atas, dan menatap lurus ke arah Pijar yang berdiri kaku di tempatnya.
Ada sesuatu yang menusuk relung hatinya, begitu tatapan mereka bersinggungan sesaat. Melihat bagaimana rupa gadis cilik bernama Yona, Pijar jelas tahu bahwa ia adalah ayahnya. Tak perlu tes DNA pun, Pijar meyakini hal tersebut.
Mata tajam Yona jelas menunjukan dari siapa ia mendapatkannya, bahkan keseluruhan wajah yona meng-copy paste miliknya.
Ia jelas tahu, ketika dirinya mentalak dan mengusir Suri dalam keadaan hamil. Namun ia mempercayai jika anak dalam kandungan Suri bukanlah anaknya, dan menganggap anak itu adalah hasil perselingkuhan Suri dengan Martin.
Ia tak pernah menyangka jika gadis ini adalah putrinya. Keangkuhan yang ia gadang-gadang selama ini, meluruh begitu saja melalui tatapan polos putrinya.
"Buk, itu kan, Ayah."
🍂🍂🍂🍂🍂
Sidoarjo, 20 Oktober 2019
-Dean Akhmad-
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro