Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

🍁 19 🍁

Paviliun Kenanga A15

Mendadak kegugupan menyergap Suri begitu melihat tulisan tersebut. Tiba-tiba saja perutnya mulas tanpa sebab, belum lagi keringat dingin yang muncul tanpa diundang.

Kepalan tangan Suri menggantung di udara, antara iya atau tidak untuk mengetuk pintu di depannya.

Setelah pertemuannya dengan sang Mama, Suri selalu berkirim pesan dengan wanita yang melahirkannya itu. Mencari tahu bagaimana kabar terkini pada pria cinta pertamanya, yang membuat dirinya berakhir di sini sekarang.

"Dek!" Panggil seorang pria yang justru membuat tubuh Suri membeku.

Menelan ludah kasar, sebisa mungkin Suri menolehkan kepalanya keasal suara. "Mas Naka." Lirih Suri menatap pria yang sudah menanggalkan jas kerjanya.

Mencampakan begitu saja jas tersebut, lelaki dengan kemeja kusut itu langsung meraih tubuh Suri dan mendekapnya erat.

Kehangatan yang menyergap Suri tak urung membuat air mata Suri tumpah ruah tanpa bisa di bendung. Wanita berpenampilan casual itu terhisak di dalam rengkuhan sang Kakak.

Hingga bermenit-menit kemudian, air mata Suri mulai menyusut pun Janaka tak mau melepas adik semata wayangnya ini.

Pria berperawakan tinggi itu bahkan membiarkan Suri menangis dipangkuannya, layaknya anak kecil yang butuh ditenangkan.

Menyelipkan anak rambut Suri yang basah akibat keringat dan air mata, Janaka menatap sang adik dengan penuh kerinduan.

"Mas kangen kamu, Dek. Papa juga kangen kamu. Mama apa lagi, hampir tiap malem mama nangisin kamu sambil meluk foto kamu. Papa kena stroke begitu tau kami diusir dalam keadaan hamil."

Pernyataan Janaka membuat hati Suri seakan disayat ribuan belati tajam dan berkarat, membuat luka tersebut semakin mengangga lebar dan menyakitkan hingga sampai ke tulang belulangnya.

Kembali ia diperlihatkan oleh Tuhan atas karma dan akibat yang sudah ia lakukan di masa lalu. Mengingatkan Suri jika hukumannya tak hanya sampai di situ saja, masih berlanjut dan terus membayangi seumur hidupnya.

"Mas...," Suri menenggelamkan diri di ceruk leher Janaka, kembali terhisak meski tak sekencang tadi membiarkan air mata adiknya membasahi sebagian pundak lehernya.

"Pulang, Dek. Pulang...Papa kangen sama kamu."

Suri merapikan rambutnya yang berantakan, dan menatap sendu sang Kakak kemudian memeluknya erat.

Maafin aku, Mas. Aku belum bisa pulang ke rumah saat ini.

Ceklek.

Suri menoleh pada suara pintu terbuka, tapi bukan dari kamar inap sang Papa melainkan dari ruangan sebelah.

Seorang ibu-ibu paruh baya keluar dari sana, otomatis membuat Suri yang masih berada di pangkuan Janaka langsung berjingkat turun begitu tatapan mereka saling bertubrukan.

Mendadak saja Suri merasa sungkan.

"Bu Ratih, apa kabar?"

"Nak Naka," sapa bu Ratih sembari melirik Suri yang berdiri canggung di samping Naka. "Alhamdulillah, baik. Papamu gimana?"

"Alhamdulillah ada kemajuan, meski nggak banyak. Menantu ibu gimana?"

"Baik juga, lusa boleh pulang." Kembali Bu Ratih melirik ke arah Suri yang kembali saling bersitatap, membuat senyum Suri tersumir canggung.

Berada di lorong yang sama dengan kamar bersebelahan, jelas memperlihatkan jika wanita yang disapa Janaka itu adalah orang kaya. Karena paviliun ini termasuk jenis rawat inap bertipe VVIP dengan harga permalamnya mencapai tiga jutaan lebih.

Tatapan khas orang kaya jelas diperlihatkan bu Ratih, wanita bersanggul tinggi itu melemparkan tatapan mencela begitu melihat tampilan biasa Suri.

Mendengus pelan, akhir ibu-ibu berpenampilan layaknya penjabat itu berpamitan dan berlalu pergi meninggalkan Suri yang mendadak tak nyaman dengan pertemuannya dengan wanita paruh baya tadi.

Mengabaikan perasaan tak nyaman yang tiba-tiba menyusup, Suri lebih memilih menyiapkan mental dan hatinya untuk bertemu dengan sang Papa.

✩✩✩✩★✩✩✩

Suri mendapati Giandra duduk bersantai di gazebo yang ada di taman belakang rumah, di bawahnya ada kolam ikan Koi dengan jumlah yang cukup banyak dengan porsi tubuh yang sudah membesar.

"Tumben, jam segini udah pulang?" tanya Suri yang menghampiri Giandra kemudian meletakkan baki yang berisi teh dengan rematan daun mint di dalamnya.

"Males aja di kantor lama-lama," jawan Giandra yang langsung menyambar pinggang Suri dengan menautkan kesepuluh jemarinya.

"Ck! Gombal deh, Mas."

"Aku beneran kangen kamu, Yank," rajuknya mendongak menatap Suri yang juga menunduk menatap Giandra sembari menyugar rambutnya serampangan.

"Jangan dibiasain begitu, Mas."

Giandra menenggelamkan wajahnya ke perut Suri, dan menghidu aroma green tea yang menenangkan dari istrinya. "Biarin seperti itu, aku suka," gumam Giandra meraih tangan Suri agar terus mebelai kepalanya dan kembali menautkan jemarinya di balik punggung Suri.

Pikirannya semerawut, apalagi setelah kedatangan ayahnya ke kantor hari ini.

Pria yang menyumbangkan DNA pada dirinya itu datang tiba-tiba ke kantor, dan menamparnya setelah melemparkan foto Giandra sewaktu berada di Mall tempo hari.

Ancaman akan melukai Suri juga Keiyona jelas membuat Giandra ketakutan. Bukan tidak mungkin ayahnya akan berbuat nekat, mengingat sifat keras hati dan diktatornya bukan tak mungkin pria yang berusia separuh abad lebih itu melakukan hal-hal yang ditakutkan Giandra.

Hari ini ayahnya berpikir jika dirinya mempunyai simpanan hingga menghasilkan anak di antara mereka.

Demi Tuhan. Ia baru saja berbahagia dengan kehidupan rumah tangganya dengan Suri. Tapi sepertinya badai akan menerjangnya tanpa bisa ia ulur-ulur.

Cepat atau lambat, Ayahnya akan tahu hal ini. Siap atau tidak, Giandra harus bisa mengatasi hal ini.

Ia tidak ingin keluarga besarnya tahu keberadaan Suri. Bukan ia tidak tahu seperti apa perangai keluarganya. Jelas sekali mereka akan mencaci maki Suri dengan sebutan wanita murahan, pelakor, jalang, dan sejenisnya, karena pada kenyataannya Giandra masihlah suami Vanila ketika menikahi Suri.

Mengenyahkan ingatan itu, Giandra justru mendapati Suri menatapnya entah dengan jenis tatapan apa. Karena begitu netra mereka bersirobok, ia mendapati tatapan teduh Suri yang tanpa berbicara malah melarikan telunjuknya ke arah kening Giandra.

"Banyak kerutan. Kamu lagi mikirin apa, Mas?" Bukannya menjawab, Giandra malah memejamkan mata dan menikmati elusan telunjuk Suri di keningnya.

"Ehm...nggak ada. Lelah aja sama kerjaan." Membuka matanya Gianda menangkup bokong Suri, mengangkatnya dan mendudukan di pangkuannya dengan posisi mengangkang.

"Nggak usah aneh-aneh deh, Mas." Suri memukul bahu Giandra yang justru mengungkung tubuh kecil itu dengan kedua lengannya.

"Jangan pergi."

"Pergi ke mana? Kamu peluknya erat banget kayak gini, gimana aku bisa pergi?"

Giandra mengecup sudut bibir Suri dan menatap istri sirimya itu mencebik kesal. "Jangan sembarangan cium-cium." Protes Suri tapi justru dibungkam dengan ciuman Giandra yang mengebu dan menuntut. Seakan memberitahu Suri jika pria dengan status suaminya ini sedang melampiaskan kefrustasiannya.

Giandra hanya ingin mencecap rasa Suru yang akan ia rindukan, karena sedari tadi ia duduk sendirian di gazebo otaknya sedang berpikir langkah apa yang harus diambil guna menyelamatkan Suri.

Mengisi kekosongan paru-paru mereka, pria dengan penampilan casual itu melepas tautan bibirnya, bernapas sembari menempelkan kening masing-masing.

"Tetap di sini, sama aku. Jangan pergi ke manapun, apapun yang terjadi."

"Mas...,"

"Aku sayang kamu, May." Giandra mengecup sudut bibir Suri dan merabanya dengan jempol tangannya perlahan. "Jadi jangan tinggalin aku. Sendirian."

Bolehkah Suri percaya akan hal ini? Atau apa ia sudah diijinkan untuk bahagia?

✩✩✩✩✩★✩✩✩✩✩

Dean Akhmad
Surabaya, 31 Juli 2020
23.24

Sori for typo. Fresh from the oven. Enjoy the story. 😊😊😊

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro