Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

🍁 18 🍁

Kaki Pijar seakan tak menapak bumi, apalagi kalau bukan karena realita yang menyapa penglihatannya. Pagi yang suram. Batin Pijar berteriak.

Di dapur sana ia bisa melihat Suri dengan wajah tercenung dan sama kagetnya seperti Pijar. Sedangankan Giandra-kolega bisnisnya-justru terlihat semringah tengah menikmati secangkir kopi, membuat Pijar mampu mengendalikan riak wajahnya berubah sedatar mungkin.

Kejutan yang sangat wow sekali, pikir Pijar. Ia pikir mantan istrinya ini memilih kembali pada keluarga Sapta yang memang masih mencari keberadaannya, tapi...mendapati Suri berdiri di rumah ini dengan status nyonya Basukiharja membuat pening Pijar kembali menerjang.

"Pak Aksa, mari sarapan. Istri saya udah masak sup khusus buat ngilangin pengar."

Dengan gerakan kaku Pijar menarik kursi dan duduk tepat di baris kedua di sisi kiri Giandra. Melirik sebentar ke arah Andra-nama kecil Giandra-Pijar kembali melarikan matanya melihat Suri yang memilih berkutat di depan kompor, sesekali ia melirik ke arah Giandra dan menyesap kopi yang dihidangkan.

Sulit sekali menelan cairan pekat pahit tersebut, seperti ada duri yang seolah-olah tumbuh subur di tenggorokannya. Membuat Pijar sedikit kelimpungan bagaimana harus menempatkan diri dan bersandiwara.

Meletakkan cangkir kopi yang isinya disesap sedikit, Pijar melarikan matanya ke seberang meja makan, begitu ia mendengar deritan kursi yang ditarik.

Rasa nyaman itu kembali menjalari tiap-tiap sendi tubuhnya. Di seberang sana, Keiyona duduk anteng. Putrinya ada di sana.

Menyadari ada orang lain di meja makan, Keiyona membulatkan matanya dengan sedikit melongo. Sama tak percayanya dengan reaksi yang ditunjukkan Suri tadi.

Menoleh ke belakang, Keiyona mendapati ibunya tersenyum canggung. Seakan memberi kode bahwa wanita berambut cepol tinggi itu juga tak tahu menahu tentang hal ini.

Menatap Pijar sebentar, gadis ciliknya itu meraih segelas susu berperisa vanila dan meminumnya perlahan. Hal itupun tak luput dari penglihatan Pijar.

Ternyata mereka sama-sama penyuka susu rasa vanila.

Agaknya Pijar sedikit bersyukur, karena Keiyona tak memekik kaget melihat dirinya ada di sini. Jika itu terjadi, Pijar tidak tahu lagi harus bereaksi seperti apa?

Berada dalam satu rumah dengan mantan istri yang ternyata menikahi kolega bisnisnya, membuat Pijar terkekeh geli menyadari satu hal. Pikirannya barusan seperti salah satu judul sinetron yang sering ditonton si Bibi saat sedang rehat bekerja.

"Kenapa, Pak Aksa?" tanya Giandra meletakkan tablet di samping kirinya dan menyesap kopi yang tinggal separuh.

"Ah, enggak, Pak. Kopinya enak. Rasanya sama seperti yang mantan istri saya dulu bikinin." Pijar ingin sekali mengigit lidahnya sendiri.

Bagaimana bisa ia berkata seperti itu? Meski kenyataannya kopi buatan Suri memanglah enak. Entah racikan apa yang dibuat mantan istrinya itu, tapi yang jelas rasanya benar-benar pas di lidah.

Kali ini kekehan Giandra membuat Pijar menoleh, dan melirik ke arah Suri yang berjalan mendekat dengan membawa wadah kaca. "Bener banget, Pak. Kopi buatan istri saya emang paling enak. Sekalipun beli di Starbucks atau Excellso, tapi kopi istri saya yang paling pas di lidah."

"Dimakan, Pak Aksa." Tawar Suri yang duduk di samping Keiyona. Sedangkan gadis cilik itu lebih asyik mencocol roti bakarnya dengan selai Nutella.

Bolehkah ia berbahagia untuk hari ini? Karena bisa sarapan dengan putrinya, meski dalam angan-angan ia adalah kepala rumah tangga bukan sebagai tamu. Setidaknya ia masih diberi kesempatan.

"Enak. Sama seperti dulu." Lirih Pijar kembali menyuapkan sesendok daging supnya dan mengunyahnya lamat-lamat.

Pijar masih ingat betul bagaimana rasa sup ini. Sup yang di masak dengan tulang iga sapi beserta dagingnya secara bersamaan, hingga menciptakan rasa kaldu yang pekat. Juga aroma daun bawang yang di taburkan di atasnya, membuat siapa saja kelaparan hanya dengan mencium aromanya.

Pijar bahkan memejamkan matanya setelah menelan satu suapan daging sapi yang benar-benar terurai dalam sekali kunyahan.

Saking enaknya, Pijar bahkan tak menyadari jika matanya berkaca-kaca. Ketika memori sebelum semuanya hancur seperti sekarang memenuhi kepala Pijar. Suri selalu saja mengomel saat mengetahui dirinya hangover, dan gadis itu tetap memasakan sup iga sapi seperti sekarang yang ia makan.

"Sup Iga khusus buat Mas Pijar. Aku udah ikutan kursus masak lho, Mas. Biar nanti kalo jadi istrinya Mas Pijar nggak malu-maluin. Biar Mas Pijar bangga punya istri pinter masak."

Gelembung memori itu pecahq seketika, membuat Pijar tak bisa menyembunyikan buncahan rasa yang tak bisa ia jabarkan dalam hatinya. Ada kerinduan terselip di sana. Ia tak bisa membohongi hatinya, jika sisi lain dirinya merindukan Suri.

Ia merindukan gadis centilnya itu.

Bukan ia tak tahu jika Suri menaruh perasaan kepadanya. Akan tetapi Pijar hanya bisa menganggap keberadaan Suri selayaknya Mirah, Adiknya. Lalu semua perlahan-lahan hancur karena perasaan Suri yang berubah menjadi obsesi.

Tanpa sadar Pijar membersit ingusnya yang tiba-tiba saja ingin keluar, bersamaan dia menyuapkan kembali sup tersebut.

Jika boleh kembali ke masa lalu, pijar ingin sekali keadaan mereka baik-baik saja. Mungkin Pijar akan mempertimbangkan perasaan Suri, dan mungkin kisah hidup mereka takkan sehancur sekarang ini.

✩✩✩✩✩✩✩✩

Jika boleh Pijar bertukar tempat, ia teramat ingin berada di posisi Giandra saat ini. Mengantarkan Keiyona berangkat ke sekolah, pun bermanja-manja dengan putrinya tersebut.

Lalu kini berada di dalam satu mobil dengan Keiyona yang berada di bangku depan, Pijar memuaskan matanya guna memandang wajah ayu putrinya. Keseluruhan pondasi wajah Keiyona memang menyerupai dirinya, tapi mata Yona menurun dari Suri namun tidak meninggalkan kesan tatapan tajam khas dirinya. Mata belok sebening lautan' mampu membuat Pijar berlama-lama menatapnya.

Pijar mengekori Giandra dan Keiyona bergandengan tangan menyusuri trotoar tak jauh dari gerbang sekolah. Terlihat biasa tapi sungguh mencabik-cabik hati Pijar.

Hatinya benar-benar nelangsa. Ia ayah kandungnya, tapi seperti orang asing. Sedangkan Giandra seperti ayah Keiyona. Ia ingin berada di posisi koleganya itu. Teramat ingin malah.

Tapi semua itu hanyalah harapan palsu yang sayangnya tetap ia pupuk, meski tahu tidak akan pernah terwujud.

Kembali Pijar menatap nanar pemandangan di depannya. Benar-benar menyesakkan dada.

"Kei, salim sama Omnya." Ucapan Giandra memukul telak ulu hatinya. Aku Ayahnya.

Sakit tapi tak berdarah.

Menekuk lututnya untuk menyetarakan posisi di depan Keiyona, Pijar menyelipkan anak rambut gadis itu ke belakang telinga dan menatapnya lekat.

"Ayah kangen sama Keiyona," bisik Pijar seraya mencium pipi Keiyona.

"Aku juga kangen sama Ayah." Hati Pijar semakin teremat kuat membaca tulisan Keiyona.

"Ayah harus baik-baik saja, biar kita bisa bertemu lagi." Mata Pijar berkaca-kaca tanpa bisa disembunyikan lagi. Beruntung Giandra sedang mengangkat telepon agak menjauh dari mereka.

"Ya, ayah selalu baik-baik saja. Jangan khawatirin ayah. Putri ayah yang cantik." Keiyona mencium pipi Pijar singkat pun tersenyum.

"Kamu nggak cium Papa, Kei?" tanya Giandra yang juga berjongkok di samping Pijar.

Keiyona mencium pipi Giandra kemudian Pijar, tersenyum singkat gadis ciliknya itu mencium takzim punggung tangan dua pria itu bergantian. Melambaikan tangannya, Keiyona memasuki gedung sekolahnya.

Pijar tergesa berdiri dan berbalik memunggungi Giandra guna menghapus embunan air mata di sudut matanya.

Rasanya benar-benar miris, harus berpura-pura jika mereka berdua adalah orang asing.

★✩✩✩✩✩★

Papa Giandra yang gantengnya paripurna. Padahal cuma nganterin ke sekolah, apalagi pas ntar nikahin Nyai? #eh


Anaknya pun paripurna. Gimana emaknya? Duuuh, Nyai belom dapet nih yg cocok buat cast Emak sama Babehnya, Keiyona.

Ada saran?

Dean Akhmad
20 Juli 2020 (02.45)

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro