🍁 17 🍁
Giandra tak bisa menyembunyikan senyumannya yang kian melebar setiap harinya. Setelah kejadian di mall tempo hari lalu, membuat ia sedikit banyak bisa beradaptasi dengan status barunya sebagai seorang ayah sambung. Meski awalnya ia begitu kaku jika berhadapan dengan Keiyona.
Belum lagi Suri yang semakin hari kian menggemaskan saja. Bagaimana tidak, wanita yang sekarang ia panggil May itu jauh lebih lembut dari pertama kali mereka menikah. Membuat Giandra semakin betah untuk tinggal di rumah, bahkan memilih pulang tepat waktu.
Apalagi kehadiran Keiyona. Meski menyandang tuna rungu dan wicara, tidak membuat kehilangan keceriaannya yang terpantul melalui senyuman dan riak wajah yang semringah. Giandra bisa lebih banyak belajar bahasa isyarat dengan gadis ciliknya, pun kadang menemani belajar.
Ah, dia merasa seperti bukan lagi ayah sambung Keiyona tapi benar-benar seperti ayah kandungnya saja. Gadis cilik berambut panjang itu selalu menunjukkan adat kesopanan pada orang yang lebih tua, termasuk kepada dirinya.
Acap kali Giandra dibuat terkesima tiap kali Keiyona mencium tangannya setiap ia akan berangkat sekolah, pun mencium pipinya. Kebekuan antara ayah sambung dan anak sambung mencair semenjak kejadian ia memegang tangan Keiyona, juga mengendongnya meski tidak dalam waktu yang lama.
Gadis itu tak lagi merasa takut kepadanya, meski terlihat agak sungkan jika berdekatan. Seakan menyadari hal itu, Giandra justru memilih mengalah dengan mendekatinya. Pria berdarah Turki itu bahkan mengantarkan Keiyona ke sekolah, dan untuk pertama kalinya Giandra dibuat tertegun dengan apa yang dilakukan Keiyona.
Rasa haru itu tiba-tiba saja menyeruak tanpa ia minta, membuat Giandra bahagia bukan kepalang. Hanya sebuah kecupan di pipi dan ciuman takzim di punggung tangannya, membuat Giandra tersenyum seharian. Bahkan pria yang sibuk sana-sini memilih menjemput Keiyona ke sekolah dan berakhir makan siang di rumah. Setelahnya hari-hari Giandra akan dilalui seperti keluarga bahagia sesungguhnya yang pernah ia bayangkan dulu.
Mungkin dengan penambahan anggota keluarga baru semakin membuat Giandra terkekeh. Tidak ada salahnya jika Suri kembali hamil, toh umur Keiyona sudah bisa dikategorikan anak yang sudah bisa mandiri.
Giandra tersenyum geli membayangkan hal itu. Bayangan rumahnya akan ramai dengan tangisan bayi dan segala keruwetan di pagi hari, tak ayal membuat hati pria berumur awal tiga puluhan itu seperti bermekaran saja.
Saking bahagianya, Giandra langsung saja menerima panggilan telepon tanpa melihat dulu nama siapa yang terterah di layar.
"Kamu ke mana, Ndra? Kenapa jam segini nggak ada di kantor?" Berondongan pertanyaan dari saluran seberang membuat Giandra menjauhkan ponselnya dari telinga.
Sial! Itu suara Mamanya.
"Ada apa sih, Ma?"
"Mama itu mau ngajak kamu sama Vanilla makan siang, kita udah nunggu di kantormu. Katanya Evi kamu lagi keluar. Keluar ke mana kamu?" Jemput anakku pulang sekolah.
Memberengut kesal, Giandra menhembuskan napasnya kasar.
"Itu urusanku, Ma, aku mau keluar ke mana. Itu terserah aku."
"Balik nggak kamu? Awas kalo nggal balik. Jangan harap kamu bisa menginjakkan kaki ke rumah Mama."
Klik!
Air muka Giandra berubah masam pun geram. Apa-apaan Mamanya? Apa tadi? Makan siang sama Vanila?
Ck! Dia lebih senang makan siang sama Maysuri ketimbang dengan gadis pendiam macam Vanilla.
Ya! Ia tahu kalau dia memang pria terberengsek saat ini, jika ada penghargaan Suami Bajingan. Dialah yang akan jadi pemenangnya. Ia sudah memiliki Vanilla, lalu kenapa bersikeras ingin menikahi Suri?
Salahkan saja ego Giandra yang terluka sekaligus tertantang untuk menaklukan wanita yang sudah menolaknya mentah-mentah. Akan tetapi setelah dua bulan berjalan membuat Giandra mengakui jika ia menikmati peran barunya itu.
Sedangkan Vanilla? Ia tidak tahu harus bersikap seperti apa.
Ia mengenal baik gadis yang berstatus istri pertamanya itu, karena ia adalah sahabat dekat layaknya saudara adik perempuannya. Lalu tiba-tiba saja ia dinikahkan dengan Vanila karena Nyonya Besar Janari sudah kadung kepincut juga karena penyakitnya.
Alasan klise, tapi sanggup membuat Giandra meradang. Ia masih belum ingin menikah pada saat itu. Jadi jangan salahkan dirinya jika masih ingin berpetualang, kalau bukan karena serangan jantung menghantam sang Mama, Giandra takkan pernah mau menikahi Vanilla. Baginya gadis itu tak ubahnya seperti Sherin, adik kandungnya.
Bisa dipastikan betapa awkward-nya situasi saat itu, belum lagi Giandra yang tak memiliki perasaan apapun dipaksa terikat dengan pernikahan. Rasanya benar-benar mengerikan.
Sesekali Giandra memang pulang ke rumah yang dihadiahkan orang tuanya sebagai kado pernikahan, tapi ia lebih memilih untuk tidur di kamar terpisah. Giandra tak mau menyentuh Vanilla, karena kelak saat ia menceraikannya, gadis itu akan tetap tak tersentuh.
Dan kehadiran Maysuri bagaikan oase di padang pasir baginya. Wanita itu mampu membuat darahnya menggelegak sekaligus mendesir hebat. Giandra seakan terhipnotis hanya dengan tatapan dingin dan angkuh yang menghunus tanpa pandang bulu.
Mendesah panjang, Giandra mendial nomer seseorang. Tak ada yang mengangkatnya. Kemudian beralih mengirimkan chat WA agar segera menjemput Keiyona karena ia harus kembali ke kantor.
Setelah memastikan jawaban dari lawannya, Giandra mengemudikan mobilnya kembali menuju kantornya.
✩✩✩✩✩✩✩✩
Pijar berdecap begitu sesloki Rum Bacardi Light menyentuh lidahnya dalam sekali tenggak. Ia hanya ingin mabuk malam ini. Mungkin dengan menenggak habis alkohol hasil sulingan sari tebu dan molase tebu bisa meringankan beban pikirannya, meski ia sendiri tak yakin akan hal itu.
Dirinya benar-benar gusar saat mendapati Keiyona dan Suri berada di mall GI bersama seorang pria, apalagi keakraban ketiganya membuat siapa saja beranggapan mereka adalah keluarga bahagia. Hal itu sukses menghancurkan mood Pijar seminggu ini.
Banyak pertanyaan mengelilingi otak Pijar, layaknya Bumi yang mengorbit pada sang matahari. Siapa pria itu? Yang sayangnya Pijar hanya melihat punggungnya saja. Lalu bagaimana bisa Suri dan Keiyona bisa ada di Jakarta? Apa mungkin keluara Sapta menemukan keberadaan putrinya, dan memaksa mantan istri yang sudah ia ceraikan semena-mena itu untuk pulang ke Jakarta.
Argh! Banyak kemungkinan-kemungkinan yang berseliweran di otak Pijar. Belum lagi bayangan jika pria yang mengendong Keiyona—meski sebentar—adalah ayah sambung anaknya membuat pria itu tak tahu harus berbuat apa.
Sialnya lagi, ia buntu harus melakukan apa untuk bisa mengakui keberadaan Keiyona sebagai darah dagingnya.
Pening mulai menyerang Pijar, ketika kembali ia mencecap rasa manis caramel beraroma kayu hangus. Sepertinya ia mulai mabuk.
Menumpuhkan kepala pada tangan kiri, Pijar masih ingin berlama-lama di sini. Bila perlu teler sekalian.
Kepala Pijar tertoleh mendapati namanya di panggil. Ia masih memainkan pinggiran gelas one shoot-nya dengan jari telunjuk, saat orang yang menyapanya itu duduk di sebelahnya.
"Pak Aksa sendirian di sini?"
Sayangnya pertanyaan itu hanya dibalas dengan racauan Pijar yang rupanya sudah diambang batas kesadaran. Sedangkan pria yang menyapanya tadi, hanya menghela napas panjang karena ternyata koleganya ini sudah mabuk.
Lounge The Sultan Jakarta tak terlalu ramai malam ini, dia tak sengaja melihat koleganya itu duduk sendirian di bar stool yang di temani oleh salah satu bartender.
Berniat menyapa untuk sekedar basa-basi tapi pada akhirnya, dia hanya bisa tersenyum kecut mendapati keterangan dari bartender jika pijar menghabis satu botol Rum.
Tak setega itu meninggalkan Pijar, pria yang menanggalkan jasnya itu merogoh jas Pijar yang tersampir di pinggiran besi kursi bar. Meraih ponsel dan bermaksud memberi tahu orang rumah, jika pemiliknya sedang mabuk malah mendapati jika benda persegi panjang itu mati total.
Akhirnya pria dengan dasi yang tak lagi ada di tempatnya itu membayar tagihan minuman Pijar dan membawanya pulang ke rumah.
Pengar langsung mendominasi Pijar begitu ia membuka matanya di pagi hari. Pemandangan plafon putih yang pertama kali ia liat.
Memijat pelan keningnya, Pijar berharap bisa mengurangi sakit kepala yang menyerang. Bukannya berkurang, kini perut Pijar malah bergejolak tak mengenakan. Sedikit terseok-seok, Pijar menguatkan kakinya memasuki kamar mandi dan memuntahkan isi perutnya yang mayoritas berupa cairan.
Bersandar pada dinding kaca pembatas antara shower dan kloset, Pijar merasakan mualnya berkurang pun dengan pening kepalanya. Mengedarkan pandangannya, ia menelisik kamar mandi yang tampak asing baginya. Ini jelas bukan kamar tidurnya, dan kemungkin juga bukan rumahnya.
Ah, Pijar lupa jika semalam ia terlalu teler untuk menyadari jika dia dibawa pulang oleh seseorang.
Membasuh mukanya dengan air dingin, Pijar berharap bisa mengembalikan kewarasannya. Lorong yang sepi menyapa Pijar begitu ia membuka pintu kamar yang ia huni semalam.
Ada tiga ruangan yang pintunya tertutup rapat, enpat dengan kamarnya semalam dengan model pintu dan cat pelitur yang seragam. Pijar ingin segera pergi dari rumah asing ini. Karena tidak menemukan pemilik rumah, Pijar sedikit hati-hati menuruni tangga yang berada di tengah-tengah antara dapur dan ruang keluarga.
Sejenak pijar tertegun mendapati seorang wanita memakai celana piyama dengan kaos oblong yang terlihat kedodoran dipakai oleh seprang wanita. Wanita dengan rambut yang cepol ke atas itu sedang asik berkutat di depan kompor.
Meneguk ludah dengan kasar, mata Pijar justru semakin lancang menatap setiap lekuk tubuh yang ada dibalik kaos dan celana piyama polos tersebut.
Seksi.
Jika wanita itu adalah istrinya, ia takkan segan-segan mengurung tubuh sintal di depan sana dan mencumbunya habis-habisan layaknya pengantin baru.
Sampai pada seorang pria yang tiba memeluk pinggang wanita itu, dan merealisasikan pikirannya barusan membuat Pijar mendengus menyadari pikiran kotornya. Dan merutuki kebodohannya karena membayangkan istri orang lain.
Sialan!
"Eh, Pak Aksa."
Mau tak mau senyum Pijar tersumir menyadari jika ia kini berada di rumah salah satu koleganya. Namun sejurus kemudian senyum itu sirna begitu melihat sosok wanita yang sempat ia fantasikan, dan itu sukses menjungkir balikkan segalanya.
"Duduk, Pak. Kita sarapan. Istri saya udah bikin sup pereda pengar buat Pak Aksa." Penuturan enteng dari pria itu sukses meruntuhkan satu-satunya harapan Pijar.
Ini nggak mungkin, kan?
✩✩✩✩✩✩✩✩
Surabaya, 16 Juli 2020
-Dean Akhmad-
(02.48)
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro