🍁 16 🍁
Senyum Suri surut begitu mendapati sosok wanita paruh baya duduk di samping putrinya. Kenapa ia sampai lupa satu hal penting dari masa lalunya, jika rumah sakit ini milik keluarga Sapta.
Langkah kakinya terhenti, seakan ada yang memaku dan menyuruhnya untuk berdiam diri di sana. Melihat wajah wanita yang keriputnya sudah bertambah berkali-lipat itu membuat pelupuk mata Suri menggenang.
Ada sesak di dada, juga himpitan yang begitu membuat dada Suri kian ngilu melihat wajah kuyu wanita dengan senyum tulusnya. Berapa tahun ia sudah meninggalkan rumah, hingga abai dengan wanita yang berstatus ibu kandungnya itu.
Berdalih ingin menyelamatkan hatinya, ia dengan sisa keegoisannya memilih pergi meninggalkan tanah kelahiran. Sayangnya Suru lupa arti sebuah keluaraga. Seburuk apapun aib yang diberikan olehnya, keluarga akan selalu menerima apapun keadaan dirinya saat itu.
Suri terlampau malu untuk kembali ke rumah. Apalagi setelah ia melemparkan aib yang mencoreng nama keluarganya. Ia hanya berpikir jika ia pergi maka semuanya akan kembali membaik.
Lagi-lagi Suri lupa, jika waktu tak pernah mau menunggu. Gerusan waktu itu pula yang mencekik leher Suri, juga membelengu dirinya tanpa bisa berjalan ke mana-mana. Masih ada masa lalu yang selalu mengikutinya. Termasuk keluarga yang selalu menerima dirinya dengan tangan terbuka.
Tarikan dia ujung kemeja polos Suri kembali membawanya ke realita, mata polos Keiyona langsung menyapa begitu ia melihat asal tarikan tersebut.
Lalu kemudian mata Suri membulat sempurna seiring dengan apa yang ditunjukan oleh Yona. Ibunya tengah melihat ke arahnya dengan mata berkaca-kaca.
Pergi. Larilah. Menjauh.
Sayangnya itu hanya gema di dalam otaknya, tanpa bisa direalisasikan. Kakinya benar-benar terpaku tak bisa ia gerakan dengan mata yang sama berkacanya.
Sekali lagi tubrukan itu dirasakan Suri, kemudian memeluknya erat dengan kehangatan yang ia hapal betul bagaimana rasanya pun yang sangat Suri rindukan.
"Maysuri anak Mama." Suara serak sang Mama mampu membuat pertahanan Suri jebol seketika. Tangisannya tak lagi bisa dibendung, keluar dengan sendirinya diiring dengan isakan yang sama kuat dengan si pemeluknya.
"Mama...."
Hesti-Mama Suri-mengurai pelukannya dan membingkai wajah Suri dengan kedua telapak tangan kurusnya. Airmata masih saja mengalir dengan deras, tapi tak membuat ia berhenti menghujani kecupan di wajah putri kesayangannya yang menghilang bertahun-tahun lalu. Tak pelak hal itu membuat airmata Suri semakin mengucur deras, karena kerinduannya akan sang Ibu akhirnya tumpah ruah.
"Mama kangen sama, Suri. Kamu ke mana aja selama ini? Gimana hidup kamu di luar sana? Hidup sendirian di luaran sana keras, Nak. Kenapa nggak pulang ke rumah?" Tubian pertanyaan Hesti semakin membuat tangisan Suri sesenggukan.
"Maafin Suri, Ma. Maafin, Suri. Suri salah sama Mama, sama Papa, juga sama Mas Naka."
Hesti membelai rambut putrinya dengan penuh kasih sayang, pun menghapus jejak air mata yang masih saja mengalir meski tak sederas di awal-awal tadi.
Tarikan di ujung kemeja Suri kembali membawanya pada suatu hal yang ia lupakan. Mensejajarkan tubuhnya, Suri menatap wajah kebingungan Keiyona.
Melalui bahasa isyaratnya, Suri menjelaskan pada Yona jika wanita paruh baya yang tadi sempat mengobrol dengannya adalah Ibu Suri.
"Jadi ibu itu nenek Keiyona?"
"Iya. Ini nenek Yona juga." Suri menjawab pertanyaan Yona disertai gerakan tangan sebagai bahasa isyarat.
Hesti yang tidak tahu harus berekspresi seperti apa, kembali menitikkan air mata. Ada bahagia, dan haru yang menggumpal di dalam dadanya. Mengikuti Suri yang menekuk lututnya dan ia berjongkok kemudian memeluk cucu satu-satunya ini dengan erat. "Iya. ini nenek Keiyona."
Suri tak pernah menduga akan secepat ini bertemu dengan Mamanya, bukan tidak mungkin ia akan bertemu dengan Janaka dan Papanya. Jujur saja ia belum siap bertatap muka dengan pria berumur enam puluhan itu. Suri malu bertemu dengan keluarganya.
"Kamu pulang ke rumah, kan?" tanya Hesti dengan penuh harap tapi gelengan Suri membuat Hesti semakin dirundung sedih. "Kenapa nggak mau pulang?"
Suri menelan ludahnya kasar. Tidak tahu harus dari mana ia menjelaskan keadaannya. ia tak bisa pulang begitu saja, walau teramat ingin sekali berkumpul dengan keluarganya.
"A-aku...belum siap ketemu sama Papa." Lirih Suri dengan sesenggukan yang masih tersisa.
Hesti memeluk Suri dan kembali menitikkan air mata. Ia tak menyangka jika hal yang ditakutkan putrinya adalah Hendra, suaminya. "Jangan takut, Sayang. Papamu...dia kangen banget sama kamu."
"Ma...Suri masih ada kewajiban lain di luar. Suri nggak bisa pulang sekarang, tapi aku janji bakalan balik lagi ke sini."
"Janji sama Mama, Suri. Kamu harus kembali ke sini. Papa kamu...dia nungguin kamu, Suri. Papamu sakit." Semakin ngilu hati Suri mendapati kabar jika pria cinta pertamanya itu sedang sakit saat ini, yang Suri yakini itu juga karena ulahnya.
Memeluk mamanya sekali lagi, Suri meyakinkan Mamanya jika esok dia akan kembali ke rumah sakit setelah saling bertukar nomer ponsel.
"Hati-hati di jalan. Jangan ragu buat kembali ke rumah. Apapun yang terjadi rumah adalah tempat kamu pulang. Sebesar apapun kesalahanmu, Papa sama Mama selalu nungguin kepulangan Suri."
Suri memutar tubuhnya dan pergi meninggalkan Hesti dengan air mata yang masih saja tak kunjung berhenti.
"Kenapa lama sekali?" tanya Giandra begitu Suri mendekat ke mobilnya dengan Keiyona.
"Maaf, tadi ada ketemu kenalan." Suri meringis, bukan karena tak mau mengakui Mamanya. Hanya saja ia masih belum siap untuk membuka jati dirinya ke Giandra, si Suami siri.
"Kita ke mall dulu, ya. Ada yang mau aku beli." Putus Giandra yang diangguki kecil oleh Suri.
Keiyona tak bisa menyembunyikan senyumannya begitu menginjakkan kaki kecilnya di mall.
Suri sendiri agak sungkan kembali memasuki mall setinggi tujuh lantai ini. Meski dirinya hidup di kota, mengunjungi mall adalah sesuatu hal yang mahal. Hanya sesekali Suri mendatangi tempat seperti ini Malang, jika ingin menyenangkan putrinya.
Langkah kecil Keiyona terhenti begitu melihat boneka beruang cokelat yang begitu besar. Binaran bahagia yang terpancar dari mata Keiyona tak luput dari pandangan Giandra.
Mengikuti arah pandang Keiyona, Giandra sekonyong-konyong memegang tangan gadis cilik yang masih saja berdiri kaku di depan toko Toys Kingdom.
"Kamu mau? Ayo ke dalam." Bukannya menjawab, Keiyona justru mendongak mendapati kedua saling bertatapan.
"Mas...itu bonekanya mahal," timpal Suri sedikit meringis. Boneka itu besarnya hampir menyamai tubuh Keiyona sendiri, atau bahkan lebih besar bonekanya dan bukan tidak mungkin harganya bisa dipastikan sangat mahal.
Mendengar hal itu membuat Giandra mendengus sebal. Memangnya ia bakalan miskin hanya karena membelikan sebuah boneka, yang dipajang dengan beberapa boneka beragam ukuran lainnya itu. "Ayo masuk." Ajak Giandra tanpa persetujuan Suri pun dengan Keiyona.
Melihat betapa semringahnya Keiyona memeluk boneka tersebut tak urung membuat hati Giandra menghangat. Pria itu bahkan tak sungkan-sungkan lagi berinteraksi dengan anak bawaan dari Istri sirinya itu.
Mungkin bagi Giandra membelikan boneka takkan pernah mengurangi isi saldo ATM-nya, tapi bagi Keiyona dan Suri yang hidup serba pas-pasan menjadi suatu hal yang mewah.
"Andai saja ia yang berada di sana, betapa bahagianya hidupnya kini."
Sayangnya itu hanya perandaian bagi seseorang yang berdiri di toko seberang, karena kenyataannya tawa bahagia yang tersemat pada tiga orang di sana membuat hatinya semakin terasa sesak.
🍒🍒🍒🍒🍒
-Dean Akhmad-
09 Juli 2020 (01.58)
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro