Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

🍁 15 🍁

"Mirah...." Suri kehilangan kinerja paru-parunya begitu menyebutkan nama wanita yang menyapanya. Ia tak bisa bernapas sebagaimana mestinya, mendapati salah seorang wanita dari masa lalu sekarang ada di depan matanya.

Haruskah ia mengutuk takdir? Jakarta begitu luas, tapi kenapa rasanya begitu sempit sekali bagi Suri.

"Lama nggak ketemu, mantan Kakak Ipar," sapa wanita yang bernama Mirah dengan nada mengejek. "Gue pikir lo udah mati, nggak taunya masih idup aja."

Mendengar tawa sumbang Mirah, membuat wajah Suri memucat. Kembali lagi ia diingatkan akan dosa-dosanya yang coba ia kubur, tapi semua terasa sia-sia saja. Sejauh apapun ia berlari Suri akan selalu kembali ke titik awal.

Mirah-adik semata wayang Pijar-menjadi musuh terbesarnya, kala ia merebut kakaknya dari sang istri sah dengan cara licik. Mereka seumuran, pernah dekat, pernah bersahabat dekat layaknya saudara, tapi semuanya sirna karena mendapati kelakuan licik Suri demi menggusur posisi Bunga.

Ekor mata Suri melirik ke arah Yona dan ibu Santi yang masih mengantri di kedai es krim, membuat wanita itu sedikit bernapas lega karena ia tak menginginkan cercaan dan hinaan akan kondisi putrinya.

"Gue pikir lo nggak bakalan berani balik ke sini. Ternyata lo punya nyali juga buat menginjakkan kaki di Jakarta lagi, kira-kira gimana reaksi abang kalo tau lo balik lagi ke sini?" Sarkas Mirah dengan posisi masih berdiri bersendekap, menonjolkan sisi arogansinya.

Suri hanya diam dan kembali menyuapkan sesendok es krim pesanannya, tanpa mau menyahuti omongan sarkas Mirah. Ia hanya tak ingin terjadi kegaduhan yang berujung melakukan hal yang akan mempermalukan dirinya pun Mirah.

"Urusan kita sudah selesai, Mir."

"Selesai lo bilang?" Mirah kembali tertawa pelan dengan nada sumbang. "Lo udah bikin abang gue menderita, tapi lo nggak ngerasa bersalah sama sekali. Wah...hebat sekali, ya, lo!"

Menderita?

Sejak kapan seorang Aksadaru Pijar Mahameru menderita? Ia memang salah karena memisahkan jalinan sakral di antara mereka, tapi ia pun juga menderita karena keputusan egoisnya di masa mudanya dulu. Bahkan hingga kini hasil keegoisannya menjadi bagian dari hidupnya.

Kurang menderita seperti apa lagi dirinya?

"Gue minta maaf, Mir. Kalo keberadaan gue bikin lo muak."

"Bagus lo nyadar. Jangan sampe kehadiran lo kembali ngancurin rumah tangga bang Pijar lagi."

Suri mendesah lelah. Ia bahkan tak ada pikiran untuk ke sana. Obesesinya akan Pijar sudah menghilang, bahkan mungkin rasa cintanya pun telah menguap. Menyisakan perasaan bersalah dan penyesalan yang masih menggunung.

"Lo tenang aja, Mir. Gue nggak bakalan ngeganggu abang lo, juga keluarga lo. Urusan gue udah selesai saat abang lo nalak gue." Tanpa menunggu sahutan Mirah, Suri memilih untuk pergi dari tempat itu dan menyusul Keiyona dan bu Santi.

Mirah berdecak tak suka, mendapati mantan sahabatnya melengos begitu saja. Ia bahkan belum selesai bicara tadi, tapi sudah main pergi saja Suri.

Ada letupan bahagia dalam dadanya kala ia tanpa sengaja melihat Suri di foodcourt yang sama, melihat mantan sahabatnya yang sudah lama menghilang membuat dada Mirah sesak saking senangnya. Terlebih ia tahu, saat pengusiran dan talak itu terjadi Suri tengah berbadan dua. Ia tak pernah meragukan siapa ayah bayi Suri, karena Mirah tahu secinta apa mantan sahabatnya itu pada pijar.

Namun mulut tajamnya sekali lagi tak bisa di ajak berkompromi, terbiasa melontarkan perkataan sarkas dan tajam membuat Mirah tak kuasa menahan mulutnya sendiri. Alih-alih memeluk Suri, justru ia melemparkan ucapan yang jelas-jelas membuat wanita berstatus janda itu sedih. Bukan Mirah tak tahu reaksi yang ditunjukkan Suri padanya, hanya saja gadis itu bingung harus bersikap bagaimana.

"Udah pesennya, Mir?" Tepukan di bahunya membuat lamunan gadis itu buyar.

"Eh, anu...belum, Mbak. Bentar aku pesan dulu." Mirah langsung saja melesat pergi ke salah satu konter makanan dan meninggalkan wanita yang sedikit kebingungan menatap tingkah aneh adik iparnya tersebut.
.
.
.
Kapan terakhir kali dirinya melihat sosok Giandra tersenyum semringah, menandakan jika sang pemilik senyum itu tengah bahagia.

Ia tak lagi melihat senyum tulus yang bahkan menjalar hingga ke mata, semenjak kata sah menggema dari para saksi. Sejak saat itu pula, ia kehilangan senyuman Giandra untuknya. Berganti dengan raut wajah dingin dan semakin pendiam.

Lalu kini ketika ia sadar dari efek obat bius, diberikan pemandangan Giandra yang sedang menunduk menatap gawainya dengan senyum-senyum malu dan nampak bahagial
Seakan ada yang meremas dadanya kuat-kuat, ia tahu betul reaksi yang diperlihatkan lelaki yang hatinya coba ia raih. Dan itu bukan ditujukan untuk dirinya.

Kemudian ia mulai menerka-nerka, seperti apa wujud wanita yang sudah mengambil hati suaminya itu. Seperti apa sifatnya? Apa dia wanita dewasa dengan tubuh sintal? Apa dia wanita dewasa dengan perangai lembut dan sifat kalemnya? Dan masih banyak pertanyaan seperti apa wanita itu.

"Kamu udah siuman, Van?" Lamunan Vanilla seketika buyar mendengar pertanyaan dari suaminya.

Memasukkan gawai ke dalam saku celana jin biru dongker, Giandra menghampiri ranjang Vanila dan menekan tombol untuk memanggil dokter agar segera mengecek kondisinya.

Lelaki itu bahkan menaikkan ranjang Vanila agar lebih nyaman dari sebelumnya yang hanya rebahan saja, dan hal itu tak luput dari pandangan Vanila. Tidak ada pelukan ataupun pertanyaan bagaimana keadaannya, bagian mana yang terasa sakit? Hanya sebaris pertanyaan itu saja yang terlontar dari mulut Giandra, karena setelah dokter dan perawat datang suaminya itu justru pergi keluar meninggalkan dirinya.

Apa ia tak sepenting itu bagi Giandra?

Sudah setahun mereka menikah, tapi tak ada secuil pun perhatian yang ditujukan untuknya. Meski tak sekejam suami-suami dalam novel, tetap saja Vanila merasa ia tak dicintai oleh Giandra.

Apa salah ia mengharapkan balasan atas cintanya? Ia hanya ingin Giandra memandangnya sebagai wanita yang patut dicintai, bukan seorang adik yang disayangi oleh kakak laki-lakinya.

Vanila tak mampu mendengarkan apa yang dokter ucapkan mengenai keadaannya pascasiuman, otaknya dipenuhi akan pikiran-pikiran yang sudah menganggunya setahun ini.

Tak lama setelah dokter keluar dari ruangnya, berganti dengan ibu mertuanya yang langsung memeluknya erat seraya membelai rambutnya yang tergerai sepunggung.

Tatapan Vanila menerawang. Bukannya tak bersyukur atas perhatian ibu mertuanya, tapi  Ia hanya menginginkan sedikit perhatian dari Giandra yang memang sama sekali tak jua peka atas keinginan kecil istrinya.

"Abang ke mana, Ma?" Bahkan ibu mertuanya tak tahu ke mana putranya itu pergi. Setelah mengabari jika Vanila siuman, wanita paruh baya itu tak menemukan keberadaan Giandra.

"Mama nggak tau, Van. Mama sampe sini, suamimu juga gak ada di luar. Mungkin dia lagi ke kantin beli sesuatu." Tebak ibu mertuanya.

"Atau mungkin ia pergi ketempat wanita itu berada."

🍁🍁🍁🍁

Susah boo ngumpulin ide, sedangkan isi otak kececeran entah ke mana. Semoga kalian suka. Sory kalo lama update, udah tau yekan alasannya.

Selamat membaca
22/3/2020

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro