🍁 14 🍁
Giandra tak bisa untuk tidak mengembangkan senyumnya, mendapati sosok Suri yang tengah tertidur saat ia bangun tidur sedikit banyak membuat perut Giandra terasa geli. Debaran halus yang ia rasakan beberapa hari belakangan kembali merayapi ke rongga dadanya, yang justru terasa menyenangkan.
Pukul dua pagi tadi ia terbangun ketika menyadari jika dirinya tengah tertidur di sofa, dengan perut yang kelaparan tak bisa diajak kompromi untuk kembali melesakkan diri di atas tempat tidur. Ia melihat makanan yang tersaji di atas meja makan, semakin membuat perut Giandra keroncongan. Mengurungkan niat untuk naik ke lantai dua, ia memilih memakan makanan yang sudah disiapkan oleh Suri.
Lalu pagi ini mendapati Suri tidur di sebelahnya, membuat senyum Giandra mengembang.
Merasakan pegerakan Suri yang mulai terjaga, Giandra memilih berpura-pura kembali tidur. Seraya menerka-nerka apa yang akan Suri lakukan kalau tahu ia tidur di sebelahnya.
Tak ada apapun yang terjadi.
Tak ada sapuan lembut di wajahnya.
Tak ada kecupan lembut di keningnya.
Sepi sekali.
Memicingkan mata pelan-pelan, Giandra justru mendapati suguhan punggung Suri yang masih memakai kaos usang yang kelihatan kedodoran di tubuh mungilnya.
Menahan kepalanya dengan tangan kanan, Giandra justru menikmati kegiatan Suri yang tengah mengeliat di ujung kasur, kemudian mencepol rambutnya secara serampangan dan meninggalkan beberapa anak rambut yang tak ikut terikat.
Demi apa, leher jenjang itu terlihat menggiurkan sekali untuk di cecap. Sedikit meninggalkan bekas merah sepertinya menarik.
"Apa menggodaku menjadi rutinitasmu setiap pagi?" Mendengar suara serak pria khas bangun tidur membuat Suri terlonjak kaget.
Mata Suri membulat mendapati Giandra sudah terbangun dengan menopang kepalanya. "Siapa yang godain kamu, Mas?" Suri mendengus sebal.
Kini giliran mata Giandra yang membulat, mendapati Suri hanya memakai kaos oblong tanpa bawahan alias hanya memakai celana dalam dan tanpa bra.
Fuvk! Godaan berat.
Tanpa menghiraukan tatapan lapar Giandra, Suri berjalan memutari ranjang dan masuk ke kamar mandi. Sedangkan pria yang bertelanjang dada itu kembali menghempaskan tubuhnya ke kasur.
Ia tak mungkin melampiaskan hasratnya sekarang, karena setelah ini harus kembali ke rumah sakit.
Kalau menuruti kemauannya, ia sendiri sebenarnya malas kembali ke sana. Buang-buang waktu saja. Tapi titah sang ibu lah yang mengharuskan dirinya menurut. Mungkin ia pemain wanita, tapi tetap saja ia menghormati wanita yang sudah melahirkannya.
"Aaargh! Sialan!"
.
.
"Andra! Akhirnya kamu dateng juga, siang banget, sih?" Keluh seorang wanita paruh baya yang langsung berdiri menyongsong sosok putra sulungnya itu.
"Capek, Ma." Singkat Giandra yang menghempaskan diri di sofa yang ada di ruangan inap berkelas VVIP tersebut.
"Vanila masih belum sadar, Ndra."
"Hmmm!"
"Kalo aja kamu cepetan pulang, Vanila gak akan jadi begini."
Mendongakkan kepala, Giandra menatap mamanya dengan wajah datar. "Aku sibuk, Ma. Kalo mama lupa."
"Iya tapi gak sebulan juga nggak pulang-pulang. Kamu lupa, Ndra. Kalo Vanila nungguin kamu terus."
"Ma, Ada kendala di sana. Harus Andra sendiri yang turun tangan."
"Kamu itu, udah kek papamu aja. Kalo urusan kerjaan nomer satu, sampe lupa punya keluarga yang nunggu di rumah."
Giandra mendengus. "Like father like son, Ma," seloroh Giandra yang kembali memasukan ponselnya.
"Ck! Dasar!"
Baru saja dia mendapat chat dari Suri yang meminta ijinnya untuk pergi ke supermarket terdekat, guna membeli beberapa kebutuhannya juga rumah.
Astaga, untuk hal sepele seperti ini saja wanita itu meminta ijinnya. Giandra jadi merasa diharagai sebagai sebagai seorang pria.
Ia tak mungkin mengatakan perihal pernikahan sirinya dengan Suri kepada keluarga besar. Kalau mereka tahu, mungkin saja ia akan di depak dari keluarga meskipun statusnya adalah sulung Basukiharja. Bukan berarti ia bisa bebas berbuat kesalahan seenak jidat.
Dan Giandra tahu, jika menikah diam-diam dengan Suri bisa menjadi malapetaka bagi hidupnya kelak.
"Kamu nggak kasihan sama Vanila?" Pertanyaan sang ibu sontak membuat Giandra memandang ke arah brangkar rumah sakit.
"Maksud mama apa, sih?"
"Kamu selalu sibuk sama kerjaanmu, sampe lupa kalo ada Vanila di rumah. Dia emang nggak ngeluh, Ndra. Tapi mama tahu, kalo dia selalu nungguin kamu pulang. Sampe kapan kamu bersikap seperti ini terus?" Giandra hanya bergeming mendengar penuturan mama mengenai Vanila.
Sejujurnya ada perasaan bersalah karena mengabaikannya, hanya saja ia tak bisa berpura-pura. Mungkin hanya sekedar peduli ia masih mampu memberikan, tapi untuk yang lain ia tak yakin bisa memberikan hal itu.
Ia bukan tipe pria yang percaya akan cinta, baginya itu sesuatu hal yang mustahil ia rasakan. Sedari kecil ia dididik dengan keras oleh ayahnya, agar tak mudah percaya dengan orang lain. Baik itu mempercayakan hatinya maupun yang lainnya.
Dan Giandra belum pernah memberikan kepercayaan untuk memegang hatinya pada wanita manapun. Jika berurusan dengan wanita, itu hanyalah sebuah simbiosis mutualisme semata, jika sudah tak menguntungkan maka ia dengan senang hati akan melepaskan hal tersebut.
Dering gawai Giandra berdering dari dalam saku celana bahannya, sedikit banyak membuat pria bersetelan itu menghembuskan napas lega karena merasa terselamatkan dari pembicaraan seperti barusan.
"Aku angkat telepon dulu, Ma." Giandra meminta ijin dan langsung keluar dari kamar inap tersebut.
Sejenak matanya melirik ke arah brankar. Dia tergolek di sana, dengan luka baret yang menghiasi hampir di tangan dan kakinya. Selang pernapasan terpasang di sana, menandakan bahwa dia sempat berada di fase kritis akibat tabrakan dua mobil yang begitu keras.
Giandra memantap hatinya, untuk sedikit tak peduli padanya. Ia tahu jika sedikit saja ia lengah, maka wanita itu akan selalu menuntut lebih dari apa yang sudah ia berikan.
Jadi, jangan salahkan ia yang bersikap egois.
.
.
.
Suri memilih mengajak Yona dan Bu Santi ke Mall terdekat dari rumah mereka, semestinya memang bukan mall karena hanya berupa bangunan besar dengan supermarket di dalamnya juga beberapa stand penjual makanan dan barang-barang lainnya.
Saat ini mereka bertiga tengah berada di food court yang tersedia di sana, memilih menikmati jajanan juga es krim. Yona tak bisa menyembunyikan raut bahagianya kala suapan es krim memasuki mulutnya dan meleleh memasuki tenggorokannya.
Saat di Malang Suri memang jarang membawa Yona jalan-jalan di Mall, dikarenakan pekerjaan dobelnya. Hanya sesekali mereka melakukan hal itu, tapi sekarang tak ada alasan untuk tidak membahagiakan putrinya juga Bu Santi.
Semenjak pindah ke Jakarta, Suri tak lagi melakoni dua pekerjaannya sekaligus. Sekarang dirinya murni berprofesi sebagai ibu rumah tangga pada umumnya. Suri jelas bahagia, walau jauh di lubuk hatinya ia teramat ingin mendengar celotehan anaknya. Tapi Tuhan memang menginginkan ia selalu mengingat semua kesalahannya dalam bentuk Keiyona.
Acap kali perasaan bersalah itu kembali kepermukaan melihat betapa bahagianya Yona, meski ia hidup di tengah kekurangannya. Andai saja ia bisa memutar waktu, ia takkan mau menuruti kegoisannya.
Tepukan di punggung tangan Suri membuyarkan lamunannya, dan menatap Yona.
"Boleh nambah es krim lagi, nggak, Buk?" Suri hanya mengangguk dan tersenyum lebar.
Mulai hari ini waktunya hanya untuk mencurahkan kasih sayang sepenuhnya untuk Keiyona.
Hingga sebuah suara membuat Suri membeku di tempatnya. "Wah ... wah ... lama tak berjumpa, Maysuri."
🍁🍁🍁🍁
Buat temenin malam taun baruan kalian, bagi yang zomblo kek authornya. Ngahahahahaahahaha...
Sori for typo.
Author lg rebahan, sambil nyamil, sambil ngetik, sambil liat transformer. Wkwkwwkwkwk...
Selamat membaca gaes.
Dean akhmad
31/12/2019
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro