🍁 12 🍁
"Gimana keadaan papa?" tanya seorang pria dengan setelan jas mahalnya.
Pria berpenampilan necis itu hanya bisa bersandar di kusen pintu kamar orang tuanya, tanpa berbuat apapun melihat sang Mama tengah menyelimuti Papanya
"Ya seperti itu-itu aja. Stroke papamu memang ringan, tapi juga nggak menjamin bakalan cepet sembuhnya. Butuh waktu, Naka."
Wanita paruh baya itu hanya bisa mendesah, memandang ke arah suaminya yang tengah tertidur di ranjang tanpa bisa melakukan aktivitas selayaknya.
Sedangkan pria muda itu menyugar rambutnya hingga terlihat lebih berantakan. "Sampe kapan papa seperti ini terus, Ma?"
Wanita yang dipanggil mama hanya bisa menggelang putus asa, wajahnya berubah sendu jika mengingat semua kejadian yang menyebabkan semua ini terjadi. "Mama nggak tau, Ka. Mama nggak tau!"
Janaka meraih sang Ibunda dan meraupnya dalam dekapan. Dalam hati ia tak bisa menyangkal jika kepergian adik perempuannya membuat keluarga ini kehilangan gairah dalam menjalani hidup. Apalagi papa mereka yang tiba-tiba mengalami stroke, kala mengetahui putri satu-satunya telah pergi meninggalkan keluarga ini tanpa jejak.
Sekalipun kesalahan demi kesalahan yang gadis muda itu lakukan, tetap saja keluarga akan selalu mencintainya. Naka pernah murka dengan keputusan adik semata wayangnya tersebut, selain merusak nama baiknya sendiri gadis itu juga telah merusak nama dan harga diri keluarganya.
Seharusnya dulu ia mau menurunkan ego dan keras kepalanya. Bagaimanapun juga dia tetaplah adik kesayangannya, ia hanya tak mengira jika Cinta membuat adik satu-satunya menjadi buta akan nurani. Dan menghalalkan segala cara untuk mendapatkan cinta tersebut.
Semengerikan itulah jika menjadikan cinta sebagai obsesi untuk memiliki.
"Temukan adikmu, Naka. Mama kangen sama adikmu." Lirih sang wanita paruh baya itu.
Janaka semakin mengeratkan pelukannya pada sang Mama, ia hanya bisa bergeming tanpa tahu harus bagaimana.
Delapan tahun sudah ia mencari keberadaan adiknya, tapi hasilnya nihil. Ia terlambat menyadari jika gadis kesayangannya itu terusir dari rumah suaminya sendiri dalam keadaan hamil besar.
"Mas kangen sama kamu, Dek."
🍁🍁🍁🍁🍁
"Astaga!" Pekikan Suri tertahan di tengorokan, begitu melihat seorang pria tidur tengkurap dengan wajah menghadap dirinya.
Hampir saja ia terjengkang ke lantai, karena terbangun dari posisinya secara tiba-tiba. Meraih selimut sebanyak mungkin untuk menutupi tubuh telanjangnya, Suri yang tadinya ia linglung berangsur tersadar jika pria di sampingnya ini adalah Giandra.
Terbiasa tidur ditemani Keiyona, Suri tak hanya linglung tapi juga merasa aneh. Delapan tahun ia hidup bertiga dengan putrinya dan ibu Santi, membuat ketidaknyamanan tersendiri.
Apalagi mengingat bagaimana panasnya aktifitas yang mereka lakukan semalam, semakin membuat Suri merasakan suatu keanehan dalam rongga dadanya, juga selangkangannya.
Ia memang sudah bukan perawan lagi, tapi tetap saja nyeri itu menerjangnya pagi ini. Seperti pertama kali saat ia melakukannya dengan Pijar, walau kali ini Giandra melakukannya penuh kelembutan dan berakhir dengan gulungan orgasme yang hebat bagi keduanya.
"Kamu kenapa?"
Suri sedikit berjengkit kaget mendengar suara serak khas pria ketika bangun tidur, apalagi melihat posisi mereka yang benar-benar terlihat intim membuat Suri sedikit salah tingkah.
"Errr ...nggak apa-apa, cuma kaget aja. Aku masih belum terbiasa bangun tidur ada kamu di sampingku," ujar Suri yang memilih beranjak dari posisi duduknya.
Membiarkan selimut itu terongok di atas kasur, Suri memilih masuk ke dalam kamar mandi tanpa mengindahkan pandangan Giandra yang sudah bisa Suri tebak apa artinya. Untuk apa ia merasa malu-malu kucing layaknya gadis perawan yang baru saja kehilangan mahkotanya, toh pria itu sudah melihat setiap inci tubuhnya. Jadi...biarkan saja.
Sedangkan pria itu menggeram tak percaya melihat ulah Suri yang sudah memicu kembali libidonya.
Wanita ini benar-benar.
Membuang selimutnya sembarangan. Giandra memilih mengikuti Suri memasuki kamar mandi. Tak ada salahnya menikmati morning sex dengan wanita halalnya, itu terdengar mengairahkan. Ia akan pastikan jika pagi ini wanita itu akan kembali meneriakan namanya.
Mari kita melakukan serangan fajar, brother.
.
.
.
"Biasanya wanita suka banget pake kemeja prianya setelah morning sex," ujar Giandra yang menyesap kopinya di atas kursi bar stool.
Suri mendengus sebal mendengar penuturan Giandra. Apa pria itu menginginkan dirinya memakai kemejanya tanpa mengenakan dalamannya, pun dengan rambut yang dikuncir berantakan hingga menunjukan leher putihnya.
Hell, no! Jangan harap!
Setelah serangan tiba-tiba saat ia tengah menikmati mandi air hangat di bawah kucuran shower, yang ada Suri semakin sebal dengan pria ini. Enak saja. Jangan harap hal itu akan terjadi.
"Mimpinya ketinggian, Mas." Balas Suri kembali mengigit beef burger pesanannya melalui room service.
"Nggak ada salahnya ngabulin harapan suami, Yank." Giandra mengerling pada Suri yang mengunyah makanannya.
Ditelisik dari segi manapun, Suri bukanlah jenis wanita anggun dan glamor seperti yang banyak ia temukan. Selama ini para wanita yang pernah mampir di hidupnya, selalu bertingkah laku anggun dengan menunjukkan table manner yang baik dan benar.
Akan tetapi wanita yang hanya memakai kaos oblong beserta celana boxernya itu malah mengunyah burgernya yang ia gigit besar-besar tanpa menggunakan garpu dan pisau.
Giandra berdecak mendapati Suri lagi-lagi melakukan sesuatu hal yang kembali membuat darah mendesir. Melihat istri sirinya itu tengah mengemut satu persatu jarinya guna membersihkan sisa saus yang menempel, membuat pikiran mesum Giandra mengelana. Berandai-andai bagaimana jika mulut berbibir tipis itu tengah mengulum miliknya.
"Stop lakuin itu, Yank!" seru Giandra menghentakan tabletnya ke atas meja.
"Apa?" tanya Suri yang melongo mendapat seruan Giandra.
Giandra mengeram melihat wajah bodoh Suri. Benar-benar wanita tidak peka! "Liat kamu ngulum jarimu, jadi bayangin kamu ngulum punyaku, Yank."
"Giandra...mesum!" pekik Suri melemparkan gumpalan tisu tepat mengenai wajah suami sirinya itu, dan meneguk jus jeruknya hingga tandas. "Gila!" Bukannya tersinggung dikatai gila, Giandra malah terkekeh geli.
"Kan wajar, Yank, aku bayangin hal itu. Udah sah juga." Suri begidik geli.
"Stop manggil aku, Yank. Geli tau!"
"Terus aku manggilnya apa? Adek? Babe? Sugar? Sweatheart?"
"Ogah! Lainnya. Asal nggak itu. Aku geli dengernya."
Giandra semakin tertawa, mendengar Suri misuh-misuh seraya masuk ke dalam kamar. Ia pun merasa geli mendengar mulutnya mengucapkan kata-kata Yank yang berarti Sayang.
Bisa-bisanya ia melakukan hal itu.
Masih terkekeh geli, Giandra kembali pada tablet yang sempat ia hempaskan ke atas meja bar. Namun fokusnya terpecah mendapati telepon genggamnya bergetar, hingga menimbulka bunyi yang cukup membuat Giandra sebal. Siapa pagi-pagi yang sudah menganggunya ini.
"Halo!"
"Kamu cepetan pulang ke Jakarta, Ndra. Vanila masuk rumah sakit."
Giandra menggeram tertahan, mendengar penuturan lawan bicaranya di seberang.
Sialan! Kenapa ia bisa lupa akan satu sosok ini. Kenapa ia kembali diingatkan akan hal ini.
🍁🍁🍁🍁🍁🍁
Sidoarjo, 19 Desember 2019
-Dean Akhmad-
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro